14 Apr 2017

[9] The Wild Man

Emily memasuki rumahnya dengan perasaan was-was ketika ia melihat garasinya yang terbuka. Ada seseorang yang mencongkelnya dengan linggis atau apa pun itu yang membuat gembok itu terbuka. Alih-alih memasuki ruang depan, Emily melangkahkan kakinya menuju bunker. Benar saja, semua brankas sudah terbuka dan menganga. Dan Emily menyusuri satu demi satu brankas yang terbuka tersebut. Tidak ada satu pun yang hilang, dan tentu saja orang tersebut menincar sesuatu yang berharga; bisa jadi naskah kuno tersebut yang dicarinya.

Emily segera berlari kea rah kamarnya. Dia membuka pintunya. Kemudian bernapas lega setelah melihat lemari tempat menyimpan naskah itu masih terkunci.

***

Emily segera membereskan rumah dan segala hal yang membuatnya terlihat berantakan. Setelah itu dia mulai mengambil gunting rumput dan menggunting rumpun tanaman yang sudah panjang di halaman depan. Dia harus mengerjakan semuanya dan mencoba bangkit dari kesedihan.

“Hai.” Tiba-tiba seseorang menyapanya dari arah jalan. Emily menoleh dan melihat sosok seorang pria dengan perawakan tinggi dan atletis. Rambut pirangnya berombak dengan mata berwarna biru laut dan rahang yang kokoh dan senyum lebar. Tipe lelaki sempurna yang bisa membuat wanita berpikir dua kali untuk menolak tawaran kencan.

“Kau sedang sibuk rupanya.” Tambah lelaki itu sembari menghampiri Emily.
“Oh, hai, ya begitulah.”Jawab Emily gugup.

“Aku kehilangan anjingku. Apakah kau melihat seekor anjing di sekitar sini?”
Emily mengangkat bahunya.”Aku tidak melihat seekor anjing pun di pagi ini. Sejak kapan anjingmu hilang?”Tanya Emily lebih lanjut.

“Sejak kemarin sore.” Jawab lelaki itu. kali ini dia dekat dengan Emily dan tampaknya berniat untuk mengobrol panjang.”Anjing dalmatianku memang suka berkeliaran, dan aku lupa menutup pintu rumahku kemarin.”

Emily tersenyum mendengar ceritanya.

“Jadi siapa namanu?”Tanya lelaki itu. ia menyodorkan telapak tangannya yang kokoh dan besar untuk bersalaman.”Aku Griffin.”

Emily menyambut tangannya dan menyebutkan namanya.”Emily.”

“Aku baru tiga hari tinggal di desa ini. Menyewa rumah nyonya Geritsen. Asalku dari Manhattan.” Tanpa diminta lelaki itu dengan tanpa beban menceritakan tentang dirinya.

“Apa yang kau lakukan di desa ini?”Tanya Emily.

“Aku sedang melakukan penelitian untuk bahan tesisku. Kebetulan disini ada situs peninggalan yang menarik perhatianku, dan tampaknya sangat cocok untuk objek penelitian tesisku.”

“Wah, luar biasa. Kau pasti jenius.”

“Jika itu anggapanmu, aku menghargainya.”ujar Griffin dengan tertawa renyah.

Emily sadar, lelaki itu orang asing yang tinggal baru tiga hari di desanya. Dan pembunuhan April kemudian pencurian kemarin terjadi setelah kedatangan lelaki itu. ini bukan tentang buruk sangka yang bukan berdasar. Ini hanya soal kehati-hatian dan kewaspadaan yang timbul dari nalurinya. Jadi, Emily memutuskan untuk berhati-hati terhadap orang yang satu ini.

“Oke, aku harus mencari anjingku. Sekaligus untuk mengetahui setiap sudut desa ini. Tampaknya daerah ini sangat menyenangkan untuk aku jelajahi.”

Emily mengangguk ramah.”Tentu. kau beruntung bisa tinggal di sini.”

“oh ya, kapan-kapan kau bisa mampir ke rumahku dan minum kopi bersama. Kau tentunya tahu dimana letak rumah sewa nyonya geritsen kan?”

“Tentu, itu tawaran yang sangat menyenangkan.”jawab Emily. Tapi ia tidak yakin akan menerima tawaran tersebut.

Lelaki itu  berlalu dengan setengah berlari, setelah dia melambaikan tangannya dan mengucapkan,”See you late.”

---

Pagi itu Emily membeli roti tawar dan selai untuk persediaan dalam seminggu. Seperti biasa, Stephany si penjaga toko roti dan kue menyambutnya dengan senyuman ramah.

“Aku turut berduka cinta perihal kematian April.”ujar Stephany lirih sembari menghitung total jumlah belanjaan dan memasukkannya ke dalam tas kertas.”

Dia gadis yang enerjik dan masih punya masa depan yang panjang.”
Emily mengangguk dan tersenyum.

“Hai Emily.”seseorang dengan suara baritone memanggil Emily dari arah belakang. Emily menoleh dan dilihatnya Griffin dengan senyum lebar. Di tangannya terdapat beberapa roti dan susu kotak dengan jumlah yang lumayan banyak.

“Kau belanja di sini rupanya.”ujar Emily dan membalas senyumnya.

“Yeah.”jawab Griffin. Ia membawa semua belanjaannya ke meja kasir, sementara Emily sudah selesai membayar semua belanjaannya dan mengucapkan terimakasih kepada Stephany.

Stephany mulai menghitung belanjaan griffin dengan sesekali mencuri pandang kepada Griffin, sangat kentara sekali dia menyukai lelaki itu.

“Emily.”

Emily hendak melangkah pergi ketika Griffin memanggilnya untuk yang kedua kalinya.”ya?”

“Kau tidak terburu-buru kan.”ujarnya. dia segera mengemasi barang belanjaannya dan menghampiri Emily.”Bagaimana kabarmu hari ini.”

“Baik.”jawab Emily pendek. Ia keluar setelah Griffin membuka pintu untuknya.
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu nonton film mala mini  jika kau mau. Itu pun jika kau memang benar-benar punya waktu luang.”

Emily berpikir sebentar.”Akan kupikirkan nanti.”

“Jika kau memang ingin, aku yang menjemput ke rumahmu. Dan_”ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompetnya. Kemudian mengeluarkan kartu nama,”Kau bisa hubungi aku.”

Emily hampir tertawa.”Formal sekali.”

Griffin tertawa renyah.”Aku suka dengan semua formalitas dan mungkin saja pada akhirnya kau akan kenal aku bulan tipe lelaki yang suka basa-basi.”

“Apakah tawaran nonton film ini bukan basa-basi?”pancing Emily.

“Ini pengecualian. Ini sikap ramah tamah seorang lelaki.”ujarnya sembari mengedipkan matanya dan berlalu pergi tampa berbicara lagi.

Emily menggeleng lemah dan merasa aneh.

***

Saat itu Emily sedang membersihkan perabotan di dapur ketika ia mendengar suara gerungan mesin mobil yang berhenti di halaman depan. Emily pikir mungkin Amina dan Sara datang untuk mengajaknya menginap lagi.

Ia segera bergegas ke ruang depan, meninggalkan sisa cucian piring yang belum ia bilas dengan sempurna.

Emily mengintip dari jendela, dan dia tahu bahwa Amina tidak datang. Bukan mustang yang berhenti di depan rumahnya. Tapi Mercy berwarna merah. 

Seseorang keluar dari dalam mobil mewah tersebut. Lelaki tinggi dengan baju yang kasual. Griffin!

Emily menggigit bibir bawah dan menatap keluar jendela dengan tatapan sangsi. Dia sama sekali tidak menelpon Griffin dan menyetujui tawarannya untuk menonton film bersama. Tapi laki-laki itu datang dengan sendirinya.
Emily merasa was-was. Tapi dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa griffin bukan tipe laki-laki yang berbahaya. Dia tampak sangat menyenangkan dan enak diajak bicara. Apa salahnya menyambut ‘ramah tamahnya’ sebagai tetangga baru.

Emily segera menuju ruang depan setelah memakai blusnya dan membuka pintu. Seringai lebar ia lihat menghiasi bibir Griffin.

“Kau siap?”tanyanya.

Emily mengerutkan keningya.

“Maaf, aku lancang datang ke sini. tapi jika kau tidak punya waktu aku tidak memaksamu. Aku akan kembali.”

Kedengarannya seperti pemaksaan secara halus. Emily tidak kuasa menolak.”Tentu aku sangat senang. Tunggu sebentar,aku akan mengganti baju dulu. Silakan masuk.”

Griffin melangkahkan kakinya mengikuti Emily. Kemudian duduk di sofa.
“Kau mau minum?”

“Tidak usah.” Dia memutar pandangannya ke seluruh ruangan. Sementara Emily beranjak untuk berbenah diri.


***
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment