Emily
memasuki rumahnya dengan perasaan was-was ketika ia melihat garasinya yang
terbuka. Ada seseorang yang mencongkelnya dengan linggis atau apa pun itu yang
membuat gembok itu terbuka. Alih-alih memasuki ruang depan, Emily melangkahkan
kakinya menuju bunker. Benar saja, semua brankas sudah terbuka dan menganga.
Dan Emily menyusuri satu demi satu brankas yang terbuka tersebut. Tidak ada
satu pun yang hilang, dan tentu saja orang tersebut menincar sesuatu yang
berharga; bisa jadi naskah kuno tersebut yang dicarinya.
Emily segera
berlari kea rah kamarnya. Dia membuka pintunya. Kemudian bernapas lega setelah
melihat lemari tempat menyimpan naskah itu masih terkunci.
***
Emily segera
membereskan rumah dan segala hal yang membuatnya terlihat berantakan. Setelah
itu dia mulai mengambil gunting rumput dan menggunting rumpun tanaman yang
sudah panjang di halaman depan. Dia harus mengerjakan semuanya dan mencoba
bangkit dari kesedihan.
“Hai.”
Tiba-tiba seseorang menyapanya dari arah jalan. Emily menoleh dan melihat sosok
seorang pria dengan perawakan tinggi dan atletis. Rambut pirangnya berombak
dengan mata berwarna biru laut dan rahang yang kokoh dan senyum lebar. Tipe
lelaki sempurna yang bisa membuat wanita berpikir dua kali untuk menolak
tawaran kencan.
“Kau sedang
sibuk rupanya.” Tambah lelaki itu sembari menghampiri Emily.
“Oh, hai, ya
begitulah.”Jawab Emily gugup.
“Aku
kehilangan anjingku. Apakah kau melihat seekor anjing di sekitar sini?”
Emily
mengangkat bahunya.”Aku tidak melihat seekor anjing pun di pagi ini. Sejak
kapan anjingmu hilang?”Tanya Emily lebih lanjut.
“Sejak
kemarin sore.” Jawab lelaki itu. kali ini dia dekat dengan Emily dan tampaknya
berniat untuk mengobrol panjang.”Anjing dalmatianku memang suka berkeliaran,
dan aku lupa menutup pintu rumahku kemarin.”
Emily
tersenyum mendengar ceritanya.
“Jadi siapa
namanu?”Tanya lelaki itu. ia menyodorkan telapak tangannya yang kokoh dan besar
untuk bersalaman.”Aku Griffin.”
Emily
menyambut tangannya dan menyebutkan namanya.”Emily.”
“Aku baru
tiga hari tinggal di desa ini. Menyewa rumah nyonya Geritsen. Asalku dari
Manhattan.” Tanpa diminta lelaki itu dengan tanpa beban menceritakan tentang
dirinya.
“Apa yang
kau lakukan di desa ini?”Tanya Emily.
“Aku sedang
melakukan penelitian untuk bahan tesisku. Kebetulan disini ada situs
peninggalan yang menarik perhatianku, dan tampaknya sangat cocok untuk objek
penelitian tesisku.”
“Wah, luar
biasa. Kau pasti jenius.”
“Jika itu
anggapanmu, aku menghargainya.”ujar Griffin dengan tertawa renyah.
Emily sadar,
lelaki itu orang asing yang tinggal baru tiga hari di desanya. Dan pembunuhan
April kemudian pencurian kemarin terjadi setelah kedatangan lelaki itu. ini
bukan tentang buruk sangka yang bukan berdasar. Ini hanya soal kehati-hatian
dan kewaspadaan yang timbul dari nalurinya. Jadi, Emily memutuskan untuk
berhati-hati terhadap orang yang satu ini.
“Oke, aku harus
mencari anjingku. Sekaligus untuk mengetahui setiap sudut desa ini. Tampaknya
daerah ini sangat menyenangkan untuk aku jelajahi.”
Emily
mengangguk ramah.”Tentu. kau beruntung bisa tinggal di sini.”
“oh ya,
kapan-kapan kau bisa mampir ke rumahku dan minum kopi bersama. Kau tentunya
tahu dimana letak rumah sewa nyonya geritsen kan?”
“Tentu, itu
tawaran yang sangat menyenangkan.”jawab Emily. Tapi ia tidak yakin akan
menerima tawaran tersebut.
Lelaki
itu berlalu dengan setengah berlari,
setelah dia melambaikan tangannya dan mengucapkan,”See you late.”
---
Pagi itu
Emily membeli roti tawar dan selai untuk persediaan dalam seminggu. Seperti
biasa, Stephany si penjaga toko roti dan kue menyambutnya dengan senyuman
ramah.
“Aku turut
berduka cinta perihal kematian April.”ujar Stephany lirih sembari menghitung
total jumlah belanjaan dan memasukkannya ke dalam tas kertas.”
Dia gadis yang
enerjik dan masih punya masa depan yang panjang.”
Emily
mengangguk dan tersenyum.
“Hai
Emily.”seseorang dengan suara baritone memanggil Emily dari arah belakang.
Emily menoleh dan dilihatnya Griffin dengan senyum lebar. Di tangannya terdapat
beberapa roti dan susu kotak dengan jumlah yang lumayan banyak.
“Kau belanja
di sini rupanya.”ujar Emily dan membalas senyumnya.
“Yeah.”jawab
Griffin. Ia membawa semua belanjaannya ke meja kasir, sementara Emily sudah
selesai membayar semua belanjaannya dan mengucapkan terimakasih kepada
Stephany.
Stephany
mulai menghitung belanjaan griffin dengan sesekali mencuri pandang kepada
Griffin, sangat kentara sekali dia menyukai lelaki itu.
“Emily.”
Emily hendak
melangkah pergi ketika Griffin memanggilnya untuk yang kedua kalinya.”ya?”
“Kau tidak
terburu-buru kan.”ujarnya. dia segera mengemasi barang belanjaannya dan
menghampiri Emily.”Bagaimana kabarmu hari ini.”
“Baik.”jawab
Emily pendek. Ia keluar setelah Griffin membuka pintu untuknya.
“Sebenarnya
aku ingin mengajak kamu nonton film mala mini
jika kau mau. Itu pun jika kau memang benar-benar punya waktu luang.”
Emily
berpikir sebentar.”Akan kupikirkan nanti.”
“Jika kau
memang ingin, aku yang menjemput ke rumahmu. Dan_”ia merogoh saku celananya dan
mengeluarkan dompetnya. Kemudian mengeluarkan kartu nama,”Kau bisa hubungi
aku.”
Emily hampir
tertawa.”Formal sekali.”
Griffin
tertawa renyah.”Aku suka dengan semua formalitas dan mungkin saja pada akhirnya
kau akan kenal aku bulan tipe lelaki yang suka basa-basi.”
“Apakah
tawaran nonton film ini bukan basa-basi?”pancing Emily.
“Ini
pengecualian. Ini sikap ramah tamah seorang lelaki.”ujarnya sembari mengedipkan
matanya dan berlalu pergi tampa berbicara lagi.
Emily
menggeleng lemah dan merasa aneh.
***
Saat itu
Emily sedang membersihkan perabotan di dapur ketika ia mendengar suara gerungan
mesin mobil yang berhenti di halaman depan. Emily pikir mungkin Amina dan Sara
datang untuk mengajaknya menginap lagi.
Ia segera
bergegas ke ruang depan, meninggalkan sisa cucian piring yang belum ia bilas
dengan sempurna.
Emily
mengintip dari jendela, dan dia tahu bahwa Amina tidak datang. Bukan mustang
yang berhenti di depan rumahnya. Tapi Mercy berwarna merah.
Seseorang keluar
dari dalam mobil mewah tersebut. Lelaki tinggi dengan baju yang kasual.
Griffin!
Emily
menggigit bibir bawah dan menatap keluar jendela dengan tatapan sangsi. Dia
sama sekali tidak menelpon Griffin dan menyetujui tawarannya untuk menonton
film bersama. Tapi laki-laki itu datang dengan sendirinya.
Emily merasa
was-was. Tapi dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa griffin bukan tipe laki-laki
yang berbahaya. Dia tampak sangat menyenangkan dan enak diajak bicara. Apa
salahnya menyambut ‘ramah tamahnya’ sebagai tetangga baru.
Emily segera
menuju ruang depan setelah memakai blusnya dan membuka pintu. Seringai lebar ia
lihat menghiasi bibir Griffin.
“Kau
siap?”tanyanya.
Emily
mengerutkan keningya.
“Maaf, aku
lancang datang ke sini. tapi jika kau tidak punya waktu aku tidak memaksamu.
Aku akan kembali.”
Kedengarannya
seperti pemaksaan secara halus. Emily tidak kuasa menolak.”Tentu aku sangat
senang. Tunggu sebentar,aku akan mengganti baju dulu. Silakan masuk.”
Griffin
melangkahkan kakinya mengikuti Emily. Kemudian duduk di sofa.
“Kau mau
minum?”
“Tidak
usah.” Dia memutar pandangannya ke seluruh ruangan. Sementara Emily beranjak
untuk berbenah diri.
***
No comments:
Post a Comment