28 Mar 2017

[3] Wild Man

Untuk pertama kalinya Emily merasakan udara dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Perlahan matanya menyipit, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang  menguar dari ruangan yang bercat putih pucat.

Emily terbangun dengan tengkuk yang terasa sakit dan panas. Mungkin efek dari benturan ketika ia tak sadarkan diri di taman kota.perlahan ia menelisik setiap penjuru ruangan dengan tatapan matanya yang masih sayu. Dia berasumsi bahwa sersan Liam membawanya ke rumah sakit dan tentunya jenazah April sudah berada di ruang otopsi dengan segala hal yang berkaitan penelitian forensic.

Dimana sersan Liam?

Ada setangkup roti bakar yang tersedia di meja kaca. Oh, berarti hari sudah menjelang pagi. Karena tidak mungkin kan makan malam dengan setangkup roti bakar plus selai strowberi.

Ketika dia hendak mengambil jatah sarapannya, tiba-tiba terdengar suara derap sepatu bot menuju pintu. Ah, seorang dokter pasti datang, atau paling tidak Sersan Liam menengoknya. Entah kenapa, Emily jadi betah dekat dengan Sersan Liam.

“Sersan?!” seru Emily tercekat ketika dilihatnya laki-laki yang memakai kerepus membuka pintu dengan kasar. Lelaki dengan tubuh setinggi kurang lebih 180 centi meter itu berdiri menjulang dengan angkuh. Wajahnya tertutup kerepus hitam sehingga tidak bisa dikenali. Yang jelas dia seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan atletis, bermata tajam dan…oh Tuhan, Emily tercekat. Ia menjadi ketakutan setengah mati dan ingin berteriak sekeras-kerasnya sehingga orang-orang yang ada di ruangan lain mendengarnya, kemudian lari ke ruangan dimana dia berada.  

Di tangannya ada noda darah dan dia menggenggam sebilah pisau bermerk. Yang jelas itu bukan pisau biasa. Ada gerigi di ujungnya. Masih ada tetesan darah yang berjejak di mata pisau tersebut.

“Hai honey.”suara bariton lelaki itu tampak aneh dan asing. Seakan datang dari kedalaman jiwanya yang misterius.

Emily semakin bergetar hebat. Tangannya mencari-cari pegangan, hanya ingin gemetar di tubuhnya tidak sampai membuatnya semakin gugup. Sementara matanya dengan tajam menyapu seluruh ruangan. Mencari celah untuk keluar. Mencari senjata yang bisa ia gunakan untuk sekedar melawan. Lebih baik mati dengan perlawanan daripada mati tanpa berbuat apa pun. Ia tak ingin mati konyol. Setidaknya ia bisa menyusul April dengan keadaan yang lebih baik.
Emily menghela nafas dan beberapa detik kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Memanggil nama sersan Liam dan siapa pun yang ada di sekitar ruangan itu.

Lelaki itu tersenyum licik. Kemudian ia berlalu dari hadapan Emily dan menutup pintu dengan kasar. Emily bernafas lega dan kembali merebahkan kepalanya dengan benak yang penuh tanda Tanya. Siapa orang itu?

Tapi ketenangan itu harus kembali terusik ketika pintu kembali terbuka dan dia melihat lelaki berkerepus itu datang. Dia tidak sendiri, tapi dengan seorang_
Emily terkejut untuk yang kedua kalinya. Lelaki itu membawa sersan Liam dengan keadaan yang mengenaskan. Kepalanya terkulai. Sementara darah terus merembes dari lehernya yang menganga. Bahkan Emily bisa melihat lubang saluran tenggorokkanya yang menyembul keluar. Putus dengan sempurna.

“Jadi polisi payah ini yang kau panggil tadi. Asal kau tau sayang, semua orang di sini telah binasa di tanganku. Termasuk kamu. Ya termasuk dirimu. Karena sekarang giliranmu tiba.” Lelaki itu melemparkan tubuh tak berdaya Liam hingga menimbulkan suara berdebum. Serta merta darah langsung menyebar dan meninggalkan jejak seperti sungai yang menjalar di ubin berwana putih pucat.

Emily hampir dibuat mati karena ketakutan yang luar biasa.

“Apakah kau yang membunuh April?” Tanya Emily dengan lirih. Suaranya terdengar parau. Mulutnya kering karena gugup dan takut yang menderanya.
“Yup.”jawab pembunuh itu pendek. Ia berjalan mondar-mandir sembari mempermainkan pisaunya. Tak pelak, ia ingin meruntuhkan mental Emily.
“Kenapa kau membunuhnya?”


“Oh, untuk masalah ini kau sebagai adiknya tentu harus tahu. Jika kau ingin tahu, maka jawabannya adalah, karena perempuan jalang itu telah mengkhianatiku.”


“Lalu kenapa kau membunuh yang lain juga?”

Mata lelaki itu tampak marah. Jelas ia tidak suka dengan banyak pertanyaan. Lelaki itu mendekati Emily dengan suara langkah yang mengintimidasi. 

Kemudian menekankan ujung mata pisau yang bergerigi ke leher jenjang Emily,”Kau belum merasakan sengatan ujung pisauku sayang.”

Keringat dingin membanjiri darah dan tengkuk. Emily berusaha untuk menenangkan dirinya dan berpikir untuk bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman lelaki pembunuh itu. Tapi tampaknya tak ada jalan. Pikirannya buntu. Nyawanya benar-benar ada di ujung tanduk.

ketika lelaki itu hendak menancapkan pisau di lehernya, Emily berteriak sekencang-kencangnya.

“Nona! Nona!!” Kau baik-baik saja!” Emily tersentak dari tempat tidurnya dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Tidak ada lelaki yang memakai kerepus di sana. Yang ada hanya seorang suster cantik dengan paras amerika latin sedang tersenyum kepadanya. Rambut hitamnya yang bergelombang dan bibir yang merah menandakan bahwa dia suster yang suka bersolek.”Kau mengigau nona. Mimpi apa barusan?”

Sialan! Ternyata hanya mimpi.

Tak berapa lama terdengar suara derap kaki yang terburu-buru dan sersan Liam datang dengan dua orang temannya.”Ada masalah? Tadi aku mendengar teriakan.” Ujarnya sembari menatap Suster berparas latin, dan beberapa saat kemudian Liam menatap Emily.”Kau sudah siuman rupanya.”

Emily mencoba tersenyum.

“Baiklah. Habiskan sarapanmu. Setelah itu kau bisa menemuiku di ruang forensic. Itupun jika kau yakin tidak akan pingsan lagi untuk yang kedua kalinya.”

Emily mengangguk.”Ya, aku siap.”

“Makan dulu sarapanmu.”perintah suster itu sembari menunjuk setangkup roti bakar di sampan tempat tidur dengan dagunya yang tinggi.

Emily menoleh ke meja kaca dan melihat roti bakar yang sama persis seperti di mimpinya tadi.

****
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment