Untuk pertama
kalinya Emily merasakan udara dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Perlahan matanya
menyipit, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang menguar dari ruangan yang bercat putih pucat.
Emily terbangun
dengan tengkuk yang terasa sakit dan panas. Mungkin efek dari benturan ketika
ia tak sadarkan diri di taman kota.perlahan ia menelisik setiap penjuru ruangan
dengan tatapan matanya yang masih sayu. Dia berasumsi bahwa sersan Liam
membawanya ke rumah sakit dan tentunya jenazah April sudah berada di ruang
otopsi dengan segala hal yang berkaitan penelitian forensic.
Dimana sersan
Liam?
Ada setangkup
roti bakar yang tersedia di meja kaca. Oh, berarti hari sudah menjelang pagi. Karena
tidak mungkin kan makan malam dengan setangkup roti bakar plus selai strowberi.
Ketika dia
hendak mengambil jatah sarapannya, tiba-tiba terdengar suara derap sepatu bot
menuju pintu. Ah, seorang dokter pasti datang, atau paling tidak Sersan Liam
menengoknya. Entah kenapa, Emily jadi betah dekat dengan Sersan Liam.
“Sersan?!”
seru Emily tercekat ketika dilihatnya laki-laki yang memakai kerepus membuka
pintu dengan kasar. Lelaki dengan tubuh setinggi kurang lebih 180 centi meter
itu berdiri menjulang dengan angkuh. Wajahnya tertutup kerepus hitam sehingga
tidak bisa dikenali. Yang jelas dia seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan
atletis, bermata tajam dan…oh Tuhan, Emily tercekat. Ia menjadi ketakutan
setengah mati dan ingin berteriak sekeras-kerasnya sehingga orang-orang yang
ada di ruangan lain mendengarnya, kemudian lari ke ruangan dimana dia berada.
Di tangannya
ada noda darah dan dia menggenggam sebilah pisau bermerk. Yang jelas itu bukan
pisau biasa. Ada gerigi di ujungnya. Masih ada tetesan darah yang berjejak di
mata pisau tersebut.
“Hai honey.”suara
bariton lelaki itu tampak aneh dan asing. Seakan datang dari kedalaman jiwanya
yang misterius.
Emily
semakin bergetar hebat. Tangannya mencari-cari pegangan, hanya ingin gemetar di
tubuhnya tidak sampai membuatnya semakin gugup. Sementara matanya dengan tajam
menyapu seluruh ruangan. Mencari celah untuk keluar. Mencari senjata yang bisa
ia gunakan untuk sekedar melawan. Lebih baik mati dengan perlawanan daripada
mati tanpa berbuat apa pun. Ia tak ingin mati konyol. Setidaknya ia bisa
menyusul April dengan keadaan yang lebih baik.
Emily
menghela nafas dan beberapa detik kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Memanggil
nama sersan Liam dan siapa pun yang ada di sekitar ruangan itu.
Lelaki itu
tersenyum licik. Kemudian ia berlalu dari hadapan Emily dan menutup pintu
dengan kasar. Emily bernafas lega dan kembali merebahkan kepalanya dengan benak
yang penuh tanda Tanya. Siapa orang itu?
Tapi ketenangan
itu harus kembali terusik ketika pintu kembali terbuka dan dia melihat lelaki
berkerepus itu datang. Dia tidak sendiri, tapi dengan seorang_
Emily
terkejut untuk yang kedua kalinya. Lelaki itu membawa sersan Liam dengan
keadaan yang mengenaskan. Kepalanya terkulai. Sementara darah terus merembes
dari lehernya yang menganga. Bahkan Emily bisa melihat lubang saluran tenggorokkanya
yang menyembul keluar. Putus dengan sempurna.
“Jadi polisi
payah ini yang kau panggil tadi. Asal kau tau sayang, semua orang di sini telah
binasa di tanganku. Termasuk kamu. Ya termasuk dirimu. Karena sekarang
giliranmu tiba.” Lelaki itu melemparkan tubuh tak berdaya Liam hingga
menimbulkan suara berdebum. Serta merta darah langsung menyebar dan
meninggalkan jejak seperti sungai yang menjalar di ubin berwana putih pucat.
Emily hampir
dibuat mati karena ketakutan yang luar biasa.
“Apakah kau
yang membunuh April?” Tanya Emily dengan lirih. Suaranya terdengar parau. Mulutnya
kering karena gugup dan takut yang menderanya.
“Yup.”jawab
pembunuh itu pendek. Ia berjalan mondar-mandir sembari mempermainkan pisaunya. Tak
pelak, ia ingin meruntuhkan mental Emily.
“Kenapa kau
membunuhnya?”
“Oh, untuk
masalah ini kau sebagai adiknya tentu harus tahu. Jika kau ingin tahu, maka
jawabannya adalah, karena perempuan jalang itu telah mengkhianatiku.”
“Lalu kenapa
kau membunuh yang lain juga?”
Mata lelaki
itu tampak marah. Jelas ia tidak suka dengan banyak pertanyaan. Lelaki itu
mendekati Emily dengan suara langkah yang mengintimidasi.
Kemudian menekankan
ujung mata pisau yang bergerigi ke leher jenjang Emily,”Kau belum merasakan
sengatan ujung pisauku sayang.”
Keringat dingin
membanjiri darah dan tengkuk. Emily berusaha untuk menenangkan dirinya dan
berpikir untuk bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman lelaki pembunuh itu. Tapi
tampaknya tak ada jalan. Pikirannya buntu. Nyawanya benar-benar ada di ujung
tanduk.
ketika
lelaki itu hendak menancapkan pisau di lehernya, Emily berteriak
sekencang-kencangnya.
“Nona! Nona!!”
Kau baik-baik saja!” Emily tersentak dari tempat tidurnya dengan keringat yang
membasahi sekujur tubuhnya. Tidak ada lelaki yang memakai kerepus di sana. Yang
ada hanya seorang suster cantik dengan paras amerika latin sedang tersenyum
kepadanya. Rambut hitamnya yang bergelombang dan bibir yang merah menandakan
bahwa dia suster yang suka bersolek.”Kau mengigau nona. Mimpi apa barusan?”
Sialan! Ternyata
hanya mimpi.
Tak berapa
lama terdengar suara derap kaki yang terburu-buru dan sersan Liam datang dengan
dua orang temannya.”Ada masalah? Tadi aku mendengar teriakan.” Ujarnya sembari
menatap Suster berparas latin, dan beberapa saat kemudian Liam menatap Emily.”Kau
sudah siuman rupanya.”
Emily
mencoba tersenyum.
“Baiklah. Habiskan
sarapanmu. Setelah itu kau bisa menemuiku di ruang forensic. Itupun jika kau
yakin tidak akan pingsan lagi untuk yang kedua kalinya.”
Emily
mengangguk.”Ya, aku siap.”
“Makan dulu
sarapanmu.”perintah suster itu sembari menunjuk setangkup roti bakar di sampan tempat
tidur dengan dagunya yang tinggi.
Emily
menoleh ke meja kaca dan melihat roti bakar yang sama persis seperti di
mimpinya tadi.
****
No comments:
Post a Comment