Emily berhasil menghabiskan sarapannya hanya
dalam beberapa menit. Dia merasakan lapar yang luar biasa. Sejak kemarin dia
tidak memasukan satu suap makanan pun ke dalam lambungnya. Dia tidak akan makan
terlebih dahulu sebelum April pulang, dan kemarin dia menunggu April pulang
dengan menyiapkan satu porsi Pizza Itali yang siang sebelumnya dia beli.
Kemudian telpon dari polisi membuat dia melupakan rasa laparnya. Bagaimana bisa
memikirkan lapar sementara April telah menjadi sosok yang tak lagi bernyawa.
Tapi pagi ini Emily benar-benar harus makan
dan memang dia tidak akan kuat bertahan tanpa makanan. Apalagi sebentar lagi
dia harus menemui Sersan Liam di ruang Forensik.
“Jika telah selesai nona bisa langsung menemui
Sersan Liam di lantai dua.”seru perawat berwajah khas latin itu. Dari tadi dia
memperhatikan Emily dengan mata yang menyiratkan rasa iba.
Emily hanya mengangguk. Kemudian berdiri dan
baru menyadari bahwa tas yang kemarin ia bawa tidak ada di sisinya.”Apakah
kalian menyimpan barang-barangku?”
“Oh yeah, aku hampir lupa.”jawab si perawat
sembari membuka berangkas besi berwarna cokelat. Kemudian mengeluarkan tas
Emily dari dalamnya.”ponselmu ada di dalam tas juga.”
“Terimakasih.” Ia menyambar tas itu kemudian
berlalu dari hadapan suster itu. Emily berlari menuju lantai dua. Dia tidak
menemukan lift di ruangan itu. Jadi dia harus menaiki anak tangga. Tak masalah,
dia perlu melenturkan tubuhnya.
Di lantai dua tampak beberapa ruangan dengan
cat putih. Salah satunya adalah ruang Forensik. Kaca riben menutupi hampir
semua jendelanya. Jadi Emily tidak bisa melihat aktifitas di dalam dari luar.
Hatinya kembali berdegup dengan kencang. Sebentar lagi ia akan melihat April
dengan pandangan yang begitu nyata. Padahal kemarin ia tidak kuat untuk melihatnya.
Tapi sekarang Emily bertekad untuk menguatkan diri. Cukuplah hanya kemarin saja
ia terkejut dengan keadaan April. Sekarang ia harus menguasai diri dan tetap
bersikap normal. Tak ada lagi pingsan yang kedua.
Emily menghentikan langkahnya dan mengetuk pintu
kaca dengan hati-hati. Tampak seseorang mendekati pintu dan membukakan daun
pintu. Seorang perempuan dengan muka tirus dan rambut berwarna perak menatapnya
tajam. Dia mengenakan seragam forensik kepolisian sementara kedua telapak
tangannya tertutup lateks.”Emily?”
“Yup.”Emily mencoba tersenyum dan melawan
kegugupan yang muncul secara tiba-tiba. Di belakanag perempuan berwajah tirus
itu tampak Sersan Liam tersenyum lebar kepadanya.”Silakan masuk nona Emily. Kau
perlu tahu laporan dari Nyonya Agatha mengenai jenazah kakakmu.”
Oh jadi perempuan ini bernama Agatha. Agatha
tersenyum kepada Emily.”Setidaknya aku bisa memberi sedikit informasi yang
penting. Walaupun penelitian forensik tidak bisa membuat kakakmu hidup kembali,
tapi setidaknya cepat atau lambat bisa mengungkap pembunuh itu. Kita berharap
saja semoga pembunuhnya bisa tertangkap.”
“Dan pembunuhnya juga dibunuh karena
dosanya.”timpal Emily.
Agatha tersenyum hambar.”Aku paham kau masih
terguncang dengan kematian kakakmu. Aku turut prihatin.”
Agatha beranjak dari hadapan Emily dan
menghampiri Sersan Liam. Sersan Liam menatap Emily dengan tatapan yang seakan
mengatakan; kau-janji-untuk-tidak-pingsan-lagi.
Emily menghela nafas dan mengangkat kedua
bahunya. Ia mendekati sersan Liam, sementara tangan lentik Agatha membuka kain
penutup yang menutupi sekujur tubuh April.
Emily meremas ujung blazernya dan mencoba
untuk tidak terkejut lagi. Wajah mengenaskan April masih terus melekat
dibenaknya. Kain itu terbuka sempurna. Memperlihatkan sosok pucat dengan tubuh
yang mengenaskan. Setengah dari kulit kepalanya sobek dengan muka yang rusak
semi permanen. Satu bola mata Arpil sudah lenyap dari tempat yang semestinya.
Sementara sebanyak tiga sayatan yang cukup dalam melingkar di pipi kanannya.
Bibirnya robek dan membengkak menjadi sebesar lobster.persis inilah yang
membuat Emily pingsan kemarin malam.
Agatha menghela nafas,”April dianiaya oleh
seorang yang aku yakin dia seorang psikopat tulen yang memang gemar menyiksa
dan melihat korbannya mati dengan kesakitannya.
Cukup Agatha,
kau sama psikopatnya jika mendeskripsikan itu di hadapanku.
“Di sekujur tubuhnya aku menemukan memar-memar
yang tidak wajar. Di bagian tengkorak belakang aku menemukan tiga retakan dan
darah yang membeku di otak bagian belakang. Pembuluh darahnya pecah.
Kemungkinan besar korban dipukul berkali-kali di kepala bagian belakang.
Kemudian di pergelangan tangan dan pahanya aku menemukan bekas sundutan puntung
rokok.”
Agatha menyingkap lengan april dan pahanya
yang telanjang. Pucat dan berwarna biru. Bahkan Arpril melihat jemari tangannya
yang mulai mengeras. Tapi tunggu, “tiga jarinya putus?!” tampaknya Emily harus
mengakui ia tidak bisa bertahan. Ia kembali menitikkan air mata.
Agatha kembali mengela nafas dan menatap Emily
dan Sersan Liam bergantian.”Ya, tiga jarinya putus, tapi kami tidak menemukan
potongan jarinya di sekitar taman.”
“Dan satu lagi yang perlu kamu ketahui,
kemungkinan besar dia dibunuh setelah diperkosa. Aku menemukan bekas cupang di
leher sebelah kanan dan dadanya.”
“Cupang?” Emily baru mendengar istilah itu.
“Eh, maksudku ciuman di –aku tahu ini
memalukan- ciuman di leher. Aku mengetahuinya dari jejak darah yang menggumpal
di pembuluh leher. Ini mungkin abnormal. Yeah aku pernah menemukan kasus yang
sejenis di Argentina setahun yang lalu. Seorang remaja tewas setelah dicium
kekasihnya.”
Kali ini sudah keluar dari apa yang seharunya
dibicarakan. Emily tidak suka gaya dan cara bicara Agatha yang seakan
menganggap sepele apa yang seharusnya membuat dia terguncang. Tapi Emily
sadar bahwa itu memang sudah biasa bagi
seorang Agatha yang bertugas di bagian Forensik kepolisian.
Sialnya Liam malah menimpali ucapan yang
dilemparkan Agatha,”Ini menurutku lucu.”ia tersenyum.”bagaimana mungkin
seseorang bisa mati hanya dicium pacarnya?”
Agatha tertawa keras. Sangat tidak etis jika
dia tertawa di depan mayat yang mengenaskan korban pembunuhan.
“Liam, itu bisa saja terjadi. Seseorang yang
mencium leher pacarnya kemudian menyedotnya bisa membuat darah menggumpal
karena pembuluh darah melebar. Setelah itu, orang tersebut akan mengalami
kejang-kejang karena pembuluh di lehernya yang membeku.”
“Seperti vampire saja.”
“Jadi jangan sampai kau mencium seorang gadis
dilehernya dengan isapan yang kuat, atau sebaliknya gadismu melakukan hal itu
terhadapmu Liam.”
Liam tersenyum tipis,”Tentu saja aku tidak
akan sekonyol itu.”
Emily berdehem dan menatap Agatha dan Liam
secara bergantian. Mereka tampak canggung dan tahu maksud Emily. Tidak
seharunya mereka berbicara sepanjang itu.
“Oke, maafkan aku,”ujar Agatha. Ia kembali
menutupi tubuh April dengan kain. Dan kali ini menyingkap rambut yang
menghalangi sebagian wajah April yang rusak.”matanya dicongkel dengan
paksa.karena aku masih menemukans serpihan kaca di dalam rongga matanya. Besar
kemungkinan orang psikopat itu mencongkelnya dengan pecahan kaca. Kemudian aku
menemukan luka gigitan di telinga dan bibir atasnya.”
Emily menghela nafas. Seakan-akan ia kehabisan
oksigen. Ruangan itu benar-benar menyesakan dadanya. Bola matanya semakin
memanas. Sersan Liam meremas bahu Emily sebagai tanda prihatin. Dia membalikan
tubuh Emily sehingga berhadapan dengan tubuhnya,”Dengar Emily, kuharap kau bisa
sabar. Aku berjanji akan menemukan siapa pelaku pembunuhan itu dan bisa
menghukumnya. “
“Secepatnya.”jawab Emily pendek.
Liam mengangguk tidak yakin. Agatha kemudian
menutup ujung kain ke wajah April yang pucat. Kemudian dia mengeluarkan
tangannya dari lateks dan menyimpannya kembali di brangkas.” Siang ini jenazah
April akan diteliti kembali. Kemudian setelah itu, ambulan akan membawanya
pulang dan memakamkannya. Untuk pemakaman akan diurus oleh kepolisian. Kau
hanya perlu menandatangani beberapa berkas.”
Emily mengangguk lemah. Dia sudah lelah walau
hanya mendengar ocehan Agatha barusan.
“Perlu kuantar pulang atau seseorang akan menjemputmu ke
sini?”tanya Sersan Liam menawarkan bantuan. Emily tiba-tiba teringat dengan
Lotusnya. “Aku bisa pulang dengan mengendarai mobilku sendiri.”
“Kau yakin? Aku lihat kau masih terlihat lelah. Bagaimana jika
aku antar kau dengan mobilku. Sementara lotusmu nanti ada yang mengantar sampai
rumahmu.”
Emily berpikir bahwa ia memang tidak siap untuk mengemudi
mobilnya untuk saat ini. Akhirnya ia menganggukan kepalanya.
Emily merogoh tasnya. Mengambil ponselnya dan dia mencoba
menghidupkannya tapi gagal. Baterai ponselnya habis. Ia lupa tidak
menchargernya kemarin sore. Liam yang tahu apa yang terjadi hanya tersenyum
kecil. Ia meraih jaketnya yang dia gantungkan di kapstok ruangan. Kemudian
mengenakannya dengan asal.”Oke,Agatha terimakasih atas bantuan anda. Dan maaf,
samalam aku membangunkan tidurmu.”
“Sudah kewajibanku.”timpal Agatha dengan senyum lebar.
Liam melangkah keluar diiringi Emily dengan lanhkah gontai.
Mereka turun tampa berbicara sepatah katapun.
*****
No comments:
Post a Comment