Rasulullah saw bersabda,
“كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ
بِكُلِّ مَا سَمِعَ”
“Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia
menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika
menjelaskan hadits di atas menyatakan, “Seseorang bisa dikatakan berdusta,
karena berita yang didengar bisa jadi ditambah-tambah. Adapun makna hadits dan
atsar yang ada dalam bab ini berisi peringatan membicarakan setiap apa yang
didengar oleh manusia. Karena yang didengar bisa jadi benar, bisa jadi dusta.
Itulah kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kita. Jika seseorang
menceritakan setiap apa yang ia dengar, maka ia telah berdusta karena
memberitakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Apa yang diucapkan oleh seseorang mungkin benar dan tidak
ada kesalahan di dalamnya, tetapi ada kesalahan dalam menangkap pembicaraan
yang dimaksud. Bisa saja seseorang salah memahami perkataan seseorang yang
kurang jelas. Atau salah memahami karena mendengar sebagian pembicaraan yang
belum selesai sehingga informasi yang diterima tidak lengkap. tapi ia
mencukupkan diri dengannya. Maka kelirulah ia jika menyebarkan.
Lebih berbahaya lagi jika informasi yang ia dengar memang salah.
Maka, ia dianggap berdusta karena menyebarkan informasi yang salah itu. Ia
dihukumi berdusta karena ia tidak memeriksa kebenaran informasi tersebut. Di
sini ada kewajiban untuk melakukan tatsabbut. At-tatsabbut adalah berhati-hati
dalam menukil berita dan ketika berbicara. Kita memastikan kebenarannya.
Padahal sebenarnya amat bahaya jika kita menceritakan setiap
apa yang kita dengar. Karena kadang berita tersebut benar dan kadang dusta.
Maka perlu hati-hati dan selektif dan share atau menyebar suatu berita, apalagi
berita koran, atau hanya kabar burung.
Hidup di era kebebasan media, bak hidup di hutan belantara.
Harus serba waspada. Jika tidak, bisa menjadi mangsa berita.
Orang menyebutnya era keterbukaan, namun sejatinya adalah
zaman penipuan.
Jika kita perhatikan media yang berkembang di sekitar kita,
maka begitu banyak media-media yang menyebarkan kerusakan akibat memberikan
semua informasi tanpa menyaringnya. Kemudian hal itu disambut dengan mudahnya
manusia menyebarkan informasi-informasi tersebut setelah era media social menjadi
fenomenal. Begitu mudah menyebarkan berita.
Allah memberikan bimbingan, agar kita tidak mudah percaya
dengan berita dari model manusia semacam ini. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
-----
Berbohong Dalam Candaan
Ada sebuah hadits menyebutkan,
لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ
الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ
الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً
Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia
meninggalkan dusta saat bercanda dan ia meninggalkan debat walau itu benar.”
(HR. Ahmad 2: 352. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
dhaif)
Dalam Kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Berdusta
saat bercanda tetap haram sebagaimana berdusta dalam keadaan lainnya.
Berkaitan dengan hal ini,
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda,
إِنِّي
لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا
حَقًّا
“Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.” (HR.
Thobroni dalam Al Kabir 12: 391. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
tersebut shahih dalam Shahih Al Jaami’ no. 2494).”
Tidak ada yang salah dalam bercanda. Justru bercanda
dianjurkan untuk menghilangkan kebekuan dan ketidak nyamanan dalam pergaulan. Hanya
saja, tidak perlu membuat goyonan dusta untuk membuat candaan.
Sebagaimana masakan, jika tidak memakai garam tentu tidak
terasa lezat. Tapi jika kelebihan garam akan terasa asin di lidah dan menghilangkan
rasa lezat makanan tersebut. Begitu pun dengan candaan. Hidup memang perlu
candaan, tapi tidak dengan candaan yang berlebihan, apalagi disertai dengan
dusta yang dilarang.
Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah
menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَيْلٌ
لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ
لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena
ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud
no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan)
Kita lihat bagaimana zaman sekarang orang-orang betapa
gampang berdusta hanya untuk membuat sebuah guyonan atau untuk mengundang tawa
orang-orang di sekitarnya. Maka, muncul acara lawakan-lawakan stasiun televisi
yang menampilkan pelawak-pelawak yang membawakan berbagai macam cerita bohong,
bahkan cerita yang mengandung kepornoan dan penghinaan. Anehnya, betapa banyak
orang-orang yang betah mendengarkan lawakan tersebut.
Terlepas dari dusta orang-orang tersebut, mereka juga
terkena peringatan dari Rasulullah saw tentang larangan banyak tertawa.
لاَ تُكْثِرُ الضَّحَكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحَكِ
تُمِيْتُ القَلْبَ
“Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat
mematikan hati.” (Shahih Al Jami’ no. 7435, dari Abu Hurairah)
-----
Berdusta Terhadap Anak
Termasuk larangan berdusta adalah berdusta kepada anak
kecil. Sebagaimana Sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud mengajarkannya
kepada kita,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ
أَنَّ رَجُلًا مِنْ مَوَالِي
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ
بْنِ رَبِيعَةَ الْعَدَوِيِّ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ
دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا
فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ
فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ
أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ
لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ
كِذْبَةٌ
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah datang ke rumah kami yang saat
itu aku masih kecil. Lalu aku ingin keluar untuk bermain. Kemudian ibuku
memanggilku, “Hai, kemarilah aku kasih kamu."
Rasulullah bertanya, “Apakah sebenarnya kamu tidak ingin
memberinya?”
Ibuku menjawab, “Aku akan kasih dia kurma.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Adapun jika kamu tidak memberinya
apa-apa, maka dicatat atasmu perbuatan dusta!” (HR. Abu Dawud)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika orang
tua sudah mengingkari janji yang ia katakan pada anaknya, maka hilanglah
kepercayaan dari anak pada orang tua. Bagaimana lagi jika orang tua sampai
mengajarkan secara langsung untuk mengingkari janji? Tentu nantinya anak tidak
lagi percaya pada orang tuanya sendiri.
Di dalam kitab Fiqh Tarbiyatul Abna juga disebutkan,” Begitu
pula didikan yang keliru adalah jika ada seseorang yang datang mencari orang
tua, lalu ia katakan pada anaknya, “Beritahu saja bapak tidak ada di rumah.”
Ini termasuk dosa dan telah mendidik anak untuk berbohong tanpa orang tua
sadari.”
kadang kala sebagai orang dewasa kita merasa sah-sah saja
berbohong pada anak kecil, tanpa kita sadari hal tersebut sesungguhnya
mengandung bahaya besar, karena sang anak tersebut akan belajar bahwa berbohong
itu diperbolehkan, apalagi jika yang melakukannya adalah orangtua atau
terdekatnya sendiri. Karakter anak kecil yang jujur dan polos bisa rusak jika
mereka dibohongi oleh orang dewasa, mereka akan segera belajar untuk tumbuh
menjadi seorang pembohong juga.
Oleh sebab itu dalam Islam, bahkan kepada anak kecil
sekalipun kita harus berlaku jujur.
Mari kita lebih menjaga akhlak, terapkanlah kejujuran kepada
siapapun, sekalipun anak kecil yang kita anggap belum mengerti, karena
sesungguhnya mereka tengah belajar dari apa yang mereka lihat.
-----
6 Faktor Pendorong Berbuat Dusta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى
إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى
إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى
إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena
sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan
berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan
mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika
seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Di dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kejujuran adalah
pangkal dari segala kebaiakan dan kedustaan pangkal dari keburukan dan
kerusakan.
Jika setiap orang menyadari
bahaya dari dusta, maka tentu dia akan meninggalkan dusta dan selalu
menjaga kejujuran dalam hidupnya. Karena kejujuran mendatangkan rasa cinta. Rasa
cinta dari Allah dan tentunya rasa cinta dari sesama manusia.
Seseorang melakukan sesuatu, pasti ada faktor pendorong
mengapa orang tersebut berlaku seperti itu. Adapun factor pendorong yang
menyebabkan seseorang berkata dusta adalah,
Yang pertama, Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan
tak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap gerak-geriknya,
baik yang kecil maupun yang besar.
Yang kedua, Upaya
mengaburkan fakta, baik bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau mengurangi
takaran, dengan maksud menyombongkan diri atau untuk memperoleh keuntungan
dunia, ataupun karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta
tentang harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tak akurat
tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya.
Yang ketiga, Mencari perhatian dengan membawakan
cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
Yang keempat, Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha
lari dari kenyataan, baik dalam kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.
Yang kelima, Terbiasa
melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena,
sejak kecil, sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial semacam itu.
Yang keenam, Merasa bangga dengan berdusta, ia beranggapan
bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar, dan perilaku yang
baik.
----
Dusta Dalam Pengakuan Cinta
Setiap muslim pasti mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Cinta tidak cukup hanya sekedar pengakuan lisan namun perlu bukti nyata
untuk mengetahui kejujuran cinta tersebut.
“Katakanlah (wahai
Muhammad), Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Imam
al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya mengatakan bahwa ada suatu
kaum yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu
wa ta’ala pun menguji mereka dengan diturunkannya ayat ke-31 dari surah Ali
Imran ini.
Ittiba’ atau Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Bukti Kejujuran Cinta Seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umat
manusia bahwa jika mereka benar-benar mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka
mereka harus berittiba’ (mengikuti) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ayat ini sebagai
hakim yang menghukumi bahwa setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, padahal dia tidak berada di atas jalan dan ajaran Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia adalah orang yang dusta dalam
pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan segenap keadaannya.
Betapa banyak orang
yang mengaku mencintai Allah tapi tidak menunaikan hak-hak Allah sebagai
Rabb yang berhak disembah.
Banyak pula orang yang mengaku mencintai Rasulullah saw
tetapi meninggalkan sunnah-sunnah beliau atau bahkan meninggalkan perkara yang
wajib.
Betapa banyak orang yang mengaku berpedoman kepada al-Quran
dan hadits. Tapi tidak menjadikan keduanya sebagai rujukan dalam bersikap dalam
kehidupannya.
Maka pengakuan-pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta.
Ada pula kelompok yang menamai mereka sebagai kelompok yang
mencintai ahlul bait, tapi di sisi lain mereka membenci keluarga Rasulullah saw
dengan mencaci maki istri-istri beliau yang suci, dan mencaci maki para
sahabatnya yang setia.
Ada juga orang yang mengaku sebagai ummat Rasulullah saw
tetapi jalan hidupnya jauh dari tuntunan Rasulullah saw. Justru mengikuti manhaj
yang sesat yang jauh dari nilai-nilai islam.
Pengakuan itu memerlukan pembuktian dan tekad untuk
memberikan yang terbaik terhadap yang dicintai. Bukan hanya ucapan lisan yang
tidak ada bekas dalam amal perbuatan.
---
Berdusta Atas Nama Allah dan Rasul-Nya
Jika membuat kedustaan atas nama manusia,
merupakan dosa besar dan ancamannya mengerikan, lalu bagaimana dengan dosa dan
akibat buruk dari perbuatan dusta atas nama Allâh? Tentu lebih berat lagi dosa
yang ditanggungnya!
Orang yang berdusta atas nama Allâh
Azza wa Jalla adalah orang yang paling zhalim. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ ۗ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Dan siapakah yang lebih zhalim
daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allâh, atau
mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat
keberuntungan. [Al-An’âm: 21]
Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam
ayat yang lain
قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ ﴿٦٩﴾ مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidak beruntung”. Bagi mereka
kesenangan sementara di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali,
kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran
mereka. “[Yûnus: 69-70].
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah berkata, “Sekelompok Ulama berpendapat bahwa berdusta atas
nama Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya merupakan kekafiran yang menyebabkan
pelakunya keluar dari agama. Tidak diragukan lagi bahwa berdusta atas nama Allâh
Azza wa Jalla dan RasulNya dalam menghalalkan perkara yang haram dan
mengharamkan perkara yang halal merupakan kekafiran murni
Begitu pula berdusta atas nama
Rasulullah saw, sangat besar ancamannya. Berdusta atas nama seseorang, walaupun
bukan orang yang mulia, merupakan dosa besar, lalu bagaimana jika berdusta atas
nama Nabi saw, yang perkataan dan perbuatannya merupakan syari’at?
Berdusta atas nama Nabi saw sama
dengan berdusta dalam syari’at dan dampaknya menimpa seluruh umat. Oleh karena
itu, dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat.
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam menegaskan:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
Janganlah kamu berdusta atasku,
karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan dia masuk ke
neraka. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan sebuah
hadits dariku, dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah
seorang dari para pendusta. [HR. Muslim di dalam Muqaddimah]
Ibnu ‘Aqîl berkata, “Para pembuat
bid’ah dalam agama Islam, para pendusta dan pembuat hadits palsu, lebih
berbahaya daripada orang-orang ateis. Orang-orang ateis merusak agama dari luar
sementara orang ahli bid’ah dan pembuat hadits palsu merusak islam dari dalam.
Maka orang tersebut mengepung benteng dari luar, sementara orang-orang yang ada
di dalam membukakan pintu benteng.”
Maka barangsiapa mengatakan bahwa
Nabi saw mewajibkan sesuatu yang Beliau tidak wajibkan, atau Nabi saw mengharamkan
sesuatu yang Beliau saw tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh
Azza wa Jalla.
Intinya barangsiapa sengaja berdusta
secara nyata atas nama Allâh Azza wa Jalla , maka dia seperti orang yang
sengaja mendustakan Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk.
Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk
diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.
Adapun orang yang meriwayatkan sebuah
hadits dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram hukumnya sebagaimana
telah dijelaskan di dalam hadits Rasulullah saw.
---
---
Berdusta dalam Jual Beli
Diantara hal-hal yang dilarang dalam hukum jual beli adalah
berdusta atau menipu ketika menjual barang. Yakni berdusta dengan menjual
barang yang cacat atau memiliki kekurangan tanpa menjelaskannya kepada si
pembeli. Sudah jelas Jual beli seperti ini tidak boleh, karena mengandung unsur
penipuan dan pemalsuan.
Para penjual seharusnya memberitahukan kepada pembeli, jika
barang yang hendak dijual tersebut dalam keadaan cacat. Kalau tidak
menjelaskan, berarti ia terkena ancaman Rasulullah sebagaimana yang disebutkan
di dalam sebuah hadits,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah.
Jika keduanya jujur, niscaya keduanya akan diberikan barakah pada jual beli
mereka.Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan (cacat barang), niscaya
barakah jual beli mereka dihapus.
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, Suatu ketika
Rasulullah saw melewati seorang pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut
terdapat seonggok makanan. Beliau saw memasukkan tangannya yang mulia ke dalam
makanan itu, dan Beliau saw merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah
makanan. Rasulullah saw bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?”
Orang itu menjawab: “Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah saw !”
kemudian Rasulullah bersabda: “Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar
bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak
termasuk golongan kami”.
Hadits yang mulia ini sebagai salah satu kaidah dalam
muamalah jual beli dengan sesama muslim. Tidak sepantasnya bagi seorang muslim
menyembunyikan aib barangnya. Jika ada aibnya, seharusnya diperlihatkan,
sehingga si pembeli bisa mengetahui dan mau membeli barang dengan harga yang
sesuai dengan kadar cacatnya, bukan membelinya dengan harga barang bagus.
Betapa banyak kasus penipuan yang dapat kita lihat sekarang.
Betapa banyak orang yang menyembunyikan aib suatu barang dengan menaruhnya di
bagian bawah, dan menaruh yang baik di bagian atas, baik sayur mayur atau
makanan lainnya. Ini dilakukan dengan sengaja. Ini adalah perbuatan khianat.
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
” إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ ” قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: ” بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ “
“Para pedagang adalah
tukang maksiat”. Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah,
bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun
mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya
palsu”. (HR. Ahmad, Al Hakim)
Tidak salah jika dikatakan bahwa kebanyak para pedagang
berbuat demikian karena Rasulullah saw mengabarkan:
“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa hadir dalam
jual-beli. Maka iringilah jual-belimu dengan banyak bersedekah” (HR. Tirmidzi,
ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Di dalam bayan fi mazhab asy-syafi’I disebutkan,”Hadits ini
bukan larangan untuk berdagang, melainkan hanya peringatan agar berbuat jujur
dan tidak mudah bersumpah ketika berdagang. Buktinya Rasulullah saw sendiri
adalah pedagang. Abu Bakar ASh Shiddiq radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian.
Umar radhiallahu’anhu pernah berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas
bin Abdil Muthallib radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan
radhiallahu’anhu berjualan.”
Semoga kita terhindar dari bahaya dusta dalam kehidupan kita,
apa pun profesi kita, semoga Allah membimbing kita untuk selalu jujur. Amin.
No comments:
Post a Comment