12 Jul 2017

Berdusta tanpa Sadar


Rasulullah saw bersabda,

 كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, “Seseorang bisa dikatakan berdusta, karena berita yang didengar bisa jadi ditambah-tambah. Adapun makna hadits dan atsar yang ada dalam bab ini berisi peringatan membicarakan setiap apa yang didengar oleh manusia. Karena yang didengar bisa jadi benar, bisa jadi dusta. Itulah kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kita. Jika seseorang menceritakan setiap apa yang ia dengar, maka ia telah berdusta karena memberitakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

Apa yang diucapkan oleh seseorang mungkin benar dan tidak ada kesalahan di dalamnya, tetapi ada kesalahan dalam menangkap pembicaraan yang dimaksud. Bisa saja seseorang salah memahami perkataan seseorang yang kurang jelas. Atau salah memahami karena mendengar sebagian pembicaraan yang belum selesai sehingga informasi yang diterima tidak lengkap. tapi ia mencukupkan diri dengannya. Maka kelirulah ia jika menyebarkan.

Lebih berbahaya lagi jika informasi yang ia dengar memang salah. Maka, ia dianggap berdusta karena menyebarkan informasi yang salah itu. Ia dihukumi berdusta karena ia tidak memeriksa kebenaran informasi tersebut. Di sini ada kewajiban untuk melakukan tatsabbut. At-tatsabbut adalah berhati-hati dalam menukil berita dan ketika berbicara. Kita memastikan kebenarannya.

Padahal sebenarnya amat bahaya jika kita menceritakan setiap apa yang kita dengar. Karena kadang berita tersebut benar dan kadang dusta. Maka perlu hati-hati dan selektif dan share atau menyebar suatu berita, apalagi berita koran, atau hanya kabar burung.
Hidup di era kebebasan media, bak hidup di hutan belantara. Harus serba waspada. Jika tidak, bisa menjadi mangsa berita.

Orang menyebutnya era keterbukaan, namun sejatinya adalah zaman penipuan.
Jika kita perhatikan media yang berkembang di sekitar kita, maka begitu banyak media-media yang menyebarkan kerusakan akibat memberikan semua informasi tanpa menyaringnya. Kemudian hal itu disambut dengan mudahnya manusia menyebarkan informasi-informasi tersebut setelah era media social menjadi fenomenal. Begitu mudah menyebarkan berita.

Allah memberikan bimbingan, agar kita tidak mudah percaya dengan berita dari model manusia semacam ini. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
-----

Berbohong Dalam Candaan

Ada sebuah hadits menyebutkan,

لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً

Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda dan ia meninggalkan debat walau itu benar.” 

(HR. Ahmad 2: 352. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif)

Dalam Kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Berdusta saat bercanda tetap haram sebagaimana berdusta dalam keadaan lainnya.

Berkaitan dengan hal ini,  Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

إِنِّي لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا حَقًّا
“Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.” (HR. Thobroni dalam Al Kabir 12: 391. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih dalam Shahih Al Jaami’ no. 2494).”

Tidak ada yang salah dalam bercanda. Justru bercanda dianjurkan untuk menghilangkan kebekuan dan ketidak nyamanan dalam pergaulan. Hanya saja, tidak perlu membuat goyonan dusta untuk membuat candaan.

Sebagaimana masakan, jika tidak memakai garam tentu tidak terasa lezat. Tapi jika kelebihan garam akan terasa asin di lidah dan menghilangkan rasa lezat makanan tersebut. Begitu pun dengan candaan. Hidup memang perlu candaan, tapi tidak dengan candaan yang berlebihan, apalagi disertai dengan dusta yang dilarang.

Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Kita lihat bagaimana zaman sekarang orang-orang betapa gampang berdusta hanya untuk membuat sebuah guyonan atau untuk mengundang tawa orang-orang di sekitarnya. Maka, muncul acara lawakan-lawakan stasiun televisi yang menampilkan pelawak-pelawak yang membawakan berbagai macam cerita bohong, bahkan cerita yang mengandung kepornoan dan penghinaan. Anehnya, betapa banyak orang-orang yang betah mendengarkan lawakan tersebut.

Terlepas dari dusta orang-orang tersebut, mereka juga terkena peringatan dari Rasulullah saw tentang larangan banyak tertawa.

لاَ تُكْثِرُ الضَّحَكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحَكِ تُمِيْتُ القَلْبَ
“Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (Shahih Al Jami’ no. 7435, dari Abu Hurairah)
-----
Berdusta Terhadap Anak

Termasuk larangan berdusta adalah berdusta kepada anak kecil. Sebagaimana Sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud mengajarkannya kepada kita,

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ مَوَالِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ الْعَدَوِيِّ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu. “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah datang ke rumah kami yang saat itu aku masih kecil. Lalu aku ingin keluar untuk bermain. Kemudian ibuku memanggilku, “Hai, kemarilah aku kasih kamu."

Rasulullah bertanya, “Apakah sebenarnya kamu tidak ingin memberinya?”

Ibuku menjawab, “Aku akan kasih dia kurma.”

Lalu Rasulullah bersabda, “Adapun jika kamu tidak memberinya apa-apa, maka dicatat atasmu perbuatan dusta!” (HR. Abu Dawud)

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika orang tua sudah mengingkari janji yang ia katakan pada anaknya, maka hilanglah kepercayaan dari anak pada orang tua. Bagaimana lagi jika orang tua sampai mengajarkan secara langsung untuk mengingkari janji? Tentu nantinya anak tidak lagi percaya pada orang tuanya sendiri.

Di dalam kitab Fiqh Tarbiyatul Abna juga disebutkan,” Begitu pula didikan yang keliru adalah jika ada seseorang yang datang mencari orang tua, lalu ia katakan pada anaknya, “Beritahu saja bapak tidak ada di rumah.” Ini termasuk dosa dan telah mendidik anak untuk berbohong tanpa orang tua sadari.”

kadang kala sebagai orang dewasa kita merasa sah-sah saja berbohong pada anak kecil, tanpa kita sadari hal tersebut sesungguhnya mengandung bahaya besar, karena sang anak tersebut akan belajar bahwa berbohong itu diperbolehkan, apalagi jika yang melakukannya adalah orangtua atau terdekatnya sendiri. Karakter anak kecil yang jujur dan polos bisa rusak jika mereka dibohongi oleh orang dewasa, mereka akan segera belajar untuk tumbuh menjadi seorang pembohong juga.

Oleh sebab itu dalam Islam, bahkan kepada anak kecil sekalipun kita harus berlaku jujur.

Mari kita lebih menjaga akhlak, terapkanlah kejujuran kepada siapapun, sekalipun anak kecil yang kita anggap belum mengerti, karena sesungguhnya mereka tengah belajar dari apa yang mereka lihat. 
-----
6 Faktor Pendorong Berbuat Dusta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Di dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kejujuran adalah pangkal dari segala kebaiakan dan kedustaan pangkal dari keburukan dan kerusakan.

Jika setiap orang menyadari  bahaya dari dusta, maka tentu dia akan meninggalkan dusta dan selalu menjaga kejujuran dalam hidupnya. Karena kejujuran mendatangkan rasa cinta. Rasa cinta dari Allah dan tentunya rasa cinta dari sesama manusia.

Seseorang melakukan sesuatu, pasti ada faktor pendorong mengapa orang tersebut berlaku seperti itu. Adapun factor pendorong yang menyebabkan seseorang berkata dusta adalah,

Yang pertama, Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar.

Yang kedua,  Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dengan maksud menyombongkan diri atau untuk memperoleh keuntungan dunia, ataupun karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya.

Yang ketiga, Mencari perhatian dengan membawakan cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta.

Yang keempat, Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan, baik dalam kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.

Yang kelima,  Terbiasa melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena, sejak kecil, sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial semacam itu.

Yang keenam, Merasa bangga dengan berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar, dan perilaku yang baik. 


----


Dusta Dalam Pengakuan Cinta

Setiap muslim pasti mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta tidak cukup hanya sekedar pengakuan lisan namun perlu bukti nyata untuk mengetahui kejujuran cinta tersebut.

 “Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya mengatakan bahwa ada suatu kaum yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala pun menguji mereka dengan diturunkannya ayat ke-31 dari surah Ali Imran ini.

Ittiba’ atau Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Bukti Kejujuran Cinta Seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umat manusia bahwa jika mereka benar-benar mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka mereka harus berittiba’ (mengikuti) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ayat ini sebagai hakim yang menghukumi bahwa setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, padahal dia tidak berada di atas jalan dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia adalah orang yang dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan segenap keadaannya.

Betapa banyak orang  yang mengaku mencintai Allah tapi tidak menunaikan hak-hak Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.

Banyak pula orang yang mengaku mencintai Rasulullah saw tetapi meninggalkan sunnah-sunnah beliau atau bahkan meninggalkan perkara yang wajib.

Betapa banyak orang yang mengaku berpedoman kepada al-Quran dan hadits. Tapi tidak menjadikan keduanya sebagai rujukan dalam bersikap dalam kehidupannya.

Maka pengakuan-pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta.

Ada pula kelompok yang menamai mereka sebagai kelompok yang mencintai ahlul bait, tapi di sisi lain mereka membenci keluarga Rasulullah saw dengan mencaci maki istri-istri beliau yang suci, dan mencaci maki para sahabatnya yang setia.

Ada juga orang yang mengaku sebagai ummat Rasulullah saw tetapi jalan hidupnya jauh dari tuntunan Rasulullah saw. Justru mengikuti manhaj yang sesat yang jauh dari nilai-nilai islam.


Pengakuan itu memerlukan pembuktian dan tekad untuk memberikan yang terbaik terhadap yang dicintai. Bukan hanya ucapan lisan yang tidak ada bekas dalam amal perbuatan.


---
Berdusta Atas Nama Allah dan Rasul-Nya

Jika membuat kedustaan atas nama manusia, merupakan dosa besar dan ancamannya mengerikan, lalu bagaimana dengan dosa dan akibat buruk dari perbuatan dusta atas nama Allâh? Tentu lebih berat lagi dosa yang ditanggungnya!

Orang yang berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla adalah orang yang paling zhalim. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ ۗ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allâh, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan. [Al-An’âm: 21]

Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang lain

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ ﴿٦٩﴾ مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidak beruntung”. Bagi mereka kesenangan sementara di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. “[Yûnus: 69-70].

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sekelompok Ulama berpendapat bahwa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya merupakan kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama. Tidak diragukan lagi bahwa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya dalam menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan perkara yang halal merupakan kekafiran murni

Begitu pula berdusta atas nama Rasulullah saw, sangat besar ancamannya. Berdusta atas nama seseorang, walaupun bukan orang yang mulia, merupakan dosa besar, lalu bagaimana jika berdusta atas nama Nabi saw, yang perkataan dan perbuatannya merupakan syari’at?

Berdusta atas nama Nabi saw sama dengan berdusta dalam syari’at dan dampaknya menimpa seluruh umat. Oleh karena itu, dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat.

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan:

لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
Janganlah kamu berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan dia masuk ke neraka. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta. [HR. Muslim di dalam Muqaddimah]

Ibnu ‘Aqîl berkata, “Para pembuat bid’ah dalam agama Islam, para pendusta dan pembuat hadits palsu, lebih berbahaya daripada orang-orang ateis. Orang-orang ateis merusak agama dari luar sementara orang ahli bid’ah dan pembuat hadits palsu merusak islam dari dalam. Maka orang tersebut mengepung benteng dari luar, sementara orang-orang yang ada di dalam membukakan pintu benteng.”

Maka barangsiapa mengatakan bahwa Nabi saw mewajibkan sesuatu yang Beliau tidak wajibkan, atau Nabi saw mengharamkan sesuatu yang Beliau saw tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla.

Intinya barangsiapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh Azza wa Jalla , maka dia seperti orang yang sengaja mendustakan Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk. Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.

Adapun orang yang meriwayatkan sebuah hadits dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram hukumnya sebagaimana telah dijelaskan di dalam hadits Rasulullah saw.

---
Berdusta dalam Jual Beli

Diantara hal-hal yang dilarang dalam hukum jual beli adalah berdusta atau menipu ketika menjual barang. Yakni berdusta dengan menjual barang yang cacat atau memiliki kekurangan tanpa menjelaskannya kepada si pembeli. Sudah jelas Jual beli seperti ini tidak boleh, karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan.

Para penjual seharusnya memberitahukan kepada pembeli, jika barang yang hendak dijual tersebut dalam keadaan cacat. Kalau tidak menjelaskan, berarti ia terkena ancaman Rasulullah sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur, niscaya keduanya akan diberikan barakah pada jual beli mereka.Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan (cacat barang), niscaya barakah jual beli mereka dihapus.

Di dalam riwayat yang lain disebutkan, Suatu ketika Rasulullah saw melewati seorang pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok makanan. Beliau saw memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau saw merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah saw bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab: “Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah saw !” kemudian Rasulullah bersabda: “Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami”.

Hadits yang mulia ini sebagai salah satu kaidah dalam muamalah jual beli dengan sesama muslim. Tidak sepantasnya bagi seorang muslim menyembunyikan aib barangnya. Jika ada aibnya, seharusnya diperlihatkan, sehingga si pembeli bisa mengetahui dan mau membeli barang dengan harga yang sesuai dengan kadar cacatnya, bukan membelinya dengan harga barang bagus.

Betapa banyak kasus penipuan yang dapat kita lihat sekarang. Betapa banyak orang yang menyembunyikan aib suatu barang dengan menaruhnya di bagian bawah, dan menaruh yang baik di bagian atas, baik sayur mayur atau makanan lainnya. Ini dilakukan dengan sengaja. Ini adalah perbuatan khianat.

Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: ” بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ

“Para pedagang adalah tukang maksiat”. Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu”. (HR. Ahmad, Al Hakim)

Tidak salah jika dikatakan bahwa kebanyak para pedagang berbuat demikian karena Rasulullah saw mengabarkan:

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa hadir dalam jual-beli. Maka iringilah jual-belimu dengan banyak bersedekah” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Di dalam bayan fi mazhab asy-syafi’I disebutkan,”Hadits ini bukan larangan untuk berdagang, melainkan hanya peringatan agar berbuat jujur dan tidak mudah bersumpah ketika berdagang. Buktinya Rasulullah saw sendiri adalah pedagang. Abu Bakar ASh Shiddiq radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian. Umar radhiallahu’anhu pernah berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas bin Abdil Muthallib radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan radhiallahu’anhu berjualan.”

Semoga kita terhindar dari bahaya dusta dalam kehidupan kita, apa pun profesi kita, semoga Allah membimbing kita untuk selalu jujur. Amin.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment