Dahulu, bagi para petani di kampung saya, saung di ladang adalah rumah kedua mereka karena mereka seringkali banyak menghabiskan waktu mereka di sawah, ladang atau huma. Bahkan mereka terbiasa menginap berhari-hari ketika musim tanam dan musim panen tiba.
Lalu kenapa mereka tidak pulang ke rumah? Apakah tidak bisa berangkat pagi hari dan pulang menjelang senja? Sayangnya, hal itu kurang efektif karena jarak kebun yang lumayan jauh. Zaman dulu belum banyak yang memiliki sepeda motor. Untuk pergi ke ladang mereka harus berjalan kaki paling tidak satu sampai dua jam. Maka, daripada lelah pulang dan pergi, ditambah seringkali pekerjaan belum rampung, mereka lebih memilih menginap di ladang untuk éfisiénsi.
Untuk alasan itulah mereka biasanya membangun saung peristirahatan mereka sebagus dan sekokoh mungkin.
Mereka baru akan pulang ke rumah yang sesungguhnya di kamis sore karena besoknya harus sholat Jum'at di masjid kampung atau mengikuti pengajian mingguan. Lalu, pada hari Sabtu, Minggu atau Senin mereka akan kembali ke rumah kedua mereka, saung.
Mudik kali ini, saya diajak Emak untuk berkunjung ke ladang kami, ladang yang diwariskan oleh kakek dan nenek kepada anak-anaknya.
Ketika saya tiba, saya merasa pangling mengingat sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak pernah berkunjung ke ladang. Tiba di saung, memori dari masa silam tiba-tiba bermunculan di benak saya. Memori masa kecil dimana saya biasa mengikuti Emak ke huma untuk melakukan aktivitas di ladang. Mulai dari "nyambut", "ngaseuk", dan semisalnya. Saat itu, Emak dan Bapak biasa mengunjungi dua ladang. Ladang milik orangtua saya sendiri yang ada di perbatasan kecamatan, dan ladang milik kakek dan nenek yang masih ada di dalam kecamatan. Ladang-ladang itu pada mulanya adalah hutan tutupan yang lahannya digarap oleh masyarakat lokal.
Karena ladang huma itu berada di pinggir hutan tutupan, maka ancaman bagi para petani adalah hewan-hewan hutan semacam lutung, kera dan babi. Kera biasanya mencuri jagung dan kacang tanah. Sementara babi mencuri singkong. Hewan-hewan itu teramat pintar.
Ketika menanam padi, musuh kami adalah burung Pipit. Menjelang panen, kami harus lebih sering berjaga di saung, mendirikan kokoprak di tengah sawah jika orang-orangan sawah tidak cukup mempan untuk mengusir pipit nakal itu. Kokoprak adalah sebatang bambu yang dipancangkan di tengah sawah. Di atasnya kami memasang beberapa ruas bambu yang ketika digoyang-goyang akan menimbulkan bunyi 'koprak-koprak' yang mampu mengusir burung2 pipit. Untuk menggoyang-goyangkan pancang bambu itu, dibentangkan tali dari pancang bambu ke tiang saung di pinggir sawah.
Jika segerombolan Pipit datang, kami akan segera menarik tali 'kokoprak' sehingga tiang kokoprak akan berbunyi "koprak-koprak", lalu burung2 berhamburan terbang.
Ketika orang tua sibuk dengan kegiatan bertaninya, biasanya anak-anak seperti kami juga memiliki aktivitas tersendiri. Mulai dari berburu belalang yang akan kami olah menjadi belalang bakar. Mencari sarang burung dan mencuri telur-telur mungilnya untuk kami godok. Meski agak sedikit kejam, kami juga kadang menemukan telur burung Pipit yang sudah menetas, lalu mencuri anak burung itu dan memeliharanya di rumah, kebanyakan anak burung itu mati sebelum berkembang dewasa. Setelah puas, kami berenang di sungai yang airnya masih bersih dan segar. Dilanjut dengan mencari buah-buahan liar semacam cecendet/ciplukan, pining atau yang lainnya yang bahkan saya lupa namanya apa.
No comments:
Post a Comment