28 Jan 2024

Minimalis dalam Berliterasi



 Terlalu banyak makan bisa membuat perutmu begah. Ada perasaan yang membuatmu tidak nyaman dan ingin muntah. Lebih-lebih jika kamu mengunyah makanan dengan terburu-buru sembari pikiranmu mengembara entah kemana. Kamu bahkan tidak khusyuk merasai setiap gigit makanan yang kamu kunyah. Pada akhirnya kamu tidak menyadari bahwa perutmu sudah over limit dan tak mampu menampung makanan lagi. Yang tadinya nikmat, berakhir dengan derita. Konon, menurut para ahli, kita bisa benar-benar merasa kenyang setelah 30 menit makan. 


Saya bukan sedang berbicara tentang pola hidup sehat atau diet. Saya hanya sedang memaparkan analogi makanan dengan dengan sesuatu yang akan kita bahas kali ini. Kita akan bicara tentang informasi dan kemampuan berliterasi. 


Apa hubungannya antara makanan dan kemampuan berliterasi? 


Tentu saja ada keterkaitan. Informasi yang kita peroleh kita analogikan sebagai makanan. Bedanya, informasi itu makanan jiwa dan otakmu. Sebagaimana perut membutuhkan asupan gizi, otak dan ruhani pun membutuhkan makanan bergizi. Untuk itulah kita menyuapi otak dan ruhani kita dengan informasi dan pengetahuan. Bahkan Ibnul Qayyim pernah bilang bahwa manusia lebih butuh pada wawasan dibandingkan pada makanan. Ulama lain bilang, jika kurang makanan tubuh kita lemas, kurang wawasan membuat jiwa dan ruhani kita tak berdaya. Sehingga radar keimanan semakin lemah. Pada tingkat yang lebih parah bisa membuat ruhani mati dan kehilangan cahaya. 


Tapi, kita terlalu terburu-buru ketika mengunyah informasi yang kita terima. Atau bahkan kita langsung menelannya bulat-bulat tanpa memikirkan akibatnya. Kita langsung menelan berita atau informasi itu tanpa menyaringnya, membaca atau menganalisa pada beragam sisi sehingga membuahkan konklusi, pun tidak pula mengecek di laman cek fakta. Apakah informasi itu valid atau hoax? Pada akhirnya, karena kita sudah terlanjur menelan informasi itu, kita tidak bisa melakukan hal lain selain dengan memuntahkan kembali informasi yang sudah kita telan itu ketika kita tahu bahwa itu ternyata berita yang dipelintir atau hoax. Pada akhirnya kita harus menghapus postingan terkait berita itu dan menanggung malu. 


Itu dalam tataran berita dan informasi. Hal yang sama tak jauh berbeda ketika berbicara ilmu. Ketika kita terburu-buru menyimpulkan sebuah ilmu, justru bisa menimbulkan kecacatan berpikir yang berujung pada kesesatan. Sebagai contoh adanya khawarij/Takfiri yang serampangan menuduh sesat sesama saudara seiman hanya karena sepotong-sepotong dalam memahami ilmu.


Selain terburu-buru dalam 'mengonsumsi' informasi, kita juga terkesan serakah dengan memakan semua informasi karena tidak ingin dianggap kurang update. Kita memakan informasi-informasi itu dari tiktok, Instagram, Facebook yang justru membuat kita candu untuk selalu menggulir apa pun yang bisa kita lihat. Dalam sekali duduk, kita telah menelan puluhan bahkan ratusan informasi singkat. Kita tidak mengingat apa pun selain beberapa hal yang saling tumpang tindih satu sama lain. Kita benar-benar mabuk informasi. Kita berada di dunia yang sangat membingungkan sehingga tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini. 


Dalam dunia literasi pun setali tiga uang. Karena digitalisasi semakin masif, kita mulai jarang membaca buku-buku konvensional dan beralih membaca buku digital dengan alasan lebih praktis dan jauh lebih murah. Kita bisa membaca banyak hal dari banyak platform. Kita bisa bergonta-ganti buku dan artikel sampai-sampai kita lupa berapa buku yang sedang kita baca. Karena semakin banyak paltform yang kita akses, kita semakin kebingungan dan kelimpungan. Otak kita tidak mampu diajak berlari terus menerus karena kita membutuhkan fokus dan jeda. 


Pada titik ini saya mulai sadar bahwa saya harus mendetoksifikasi kebiasaan literasi saya yang semakin tidak sehat dan justru membuat saya merasa malas untuk membaca karena rasa bingung dan bosan. Bayangkan saja, dalam sehari saya bisa berpindah-pindah dari empat buku digital yang saya akses di perpusnas, aplikasi kompas, WPS dan Libby (di Libby pun bahkan ada tiga akun di perpustakaan digital yang berbeda--montgomery, British Council dan Yayasan Bank Rakyat--). Itu belum termasuk platform Blog semacam quora dan medium. Pun belum termasuk koran-koran harian yang bisa diakses gratis di eperpusdikbud. 


Di titik ini saya memutuskan untuk uninstall beberapa aplikasi dan hanya menggunakan dua buah aplikasi baca buku-artikel demi kedamaian jiwa dan otak saya. Saya juga berpikir untuk mulai berhenti membaca koran-koran harian kecuali koran Minggu. 


Tak ada alasan lain selain karena saya butuh istirahat. Saya butuh waktu untuk fokus menyelesaikan novel saya yang tidak selesai-selesai. Saya membutuhkan waktu untuk sekedar memanjakan diri lewat tayangan film yang sudah sekian lama saya angankan. Atau saya harus lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga alih-alih bersama setumpuk file digital di ponsel saya. 


Pada akhirnya, segala yang berlebihan tidak baik. Dan sudah saatnya kita mulai menimbang ulang untuk menerapkan gaya hidup minimalis dalam berliterasi. 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment