17 Jul 2021

IJAZAH SARJANA

 


Cerpen Oleh Husni Magz

Dunia terkadang tidak adil memperlakukan manusia yang memiliki banyak lelakon hidup di atasnya. Itulah yang dikatakan Karna kepadaku Tempo hari. Teman karibku itu mengaku sangat tidak menikmati pekerjaannya sebagai guru honorer sehingga ia memutuskan pergi ke kota mengadu peruntungan.

“Kau tahu, zaman sekarang, punya ijazah sarjana saja bukan ukuran kesuksesan. Perut tidak akan pernah kenyang jika hanya membanggakan ijazah saja,” akunya dengan nada yang sangat melankolis. “Selain ijazah, kita juga harus punya kreatifitas dan kelebihan yang lainnya. Daya saing zaman sekarang itu memang kejam.”

Apa yang dikatakan Karna kepadaku ada benarnya. Dahulu, kata Pak Sahmad, wali kelas empat ketika aku sekolah dasar pernah berkisah bahwa dia tidak punya ijazah sarjana. Dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Dia hanya tamatan SMP. Setelah itu mencoba peruntungan dengan sekolah SPG. “SPG itu setara dengan SMA. Jamannya Bapak, keluaran SPG sudah bisa jadi guru. Diangkat jadi PNS dan mendapatkan gaji tetap.”

Tapi sekarang, Karna adalah gamparan paling riskan dan menyedihkan bagi para sarjana yang mencoba peruntungan di dunia pendidikan. Bertahun-tahun lamanya teman karibku itu mengabdi di sekolah tempatnya dahulu menimba ilmu, dan sampai sekarang dia belum diangkat menjadi PNS. “Mungkin sampai aku beruban pun akan tetap berstatus guru honorer,” keluh Karna suatu hari.

“Jangan menyerah begitu, dong. Kan CPNS selalu dibuka setiap tahun…” hiburku.

“Aku sudah bosan, Sep. setiap tahun aku coba daftar CPNS. Hasilnya tetap saja nihil.”

Untuk alasan itulah aku tidak pernah ingin mengamini tawaran untuk menjadi guru honorer di SMP desa. Aku lebih memilih menyimpan ijazah sarjana bahasa indonesiaku di laci meja bututku dan mencoba berpikir tentang rencana hidup selanjutnya.

Hingga kemudian aku berpikir tentang masa depan yang cerah ketika aku bertemu Sarpudin yang tengah pulang dari ladang bukit Cipedes. Dengan langkah tergesa, lelaki bertubuh gempal dan berkulit sawo matang karena terpanggang matahari sepanjang hari itu lewat sembari memanggul sekarung rumput yang berhasil dia sabit untuk pakan domba-dombanya.

“Pulang ngarit, Mang Sarpudin?” tanyaku yang saat itu tengah mencangkung kaki di beranda.

“Iya, Jang,” jawab Mang Sarpudin. Agaknya dia tidak terlalu terburu-buru sehingga dia lebih memilih menjeda langkahnya. Sarpudin menurunkan sekarung rumput hijau itu di bawah pohon kersen dan menghampiriku. “Kapan pulang ke kampung?”

“Tiga hari yang lalu,” jawabku. Tangan kananku mengangsurkan rokok Djie Sam Soe dan korek api ke hadapan Sarpudin yang kini duduk di samping kanan. “Rokok, Mang.”

“Aeh, kabeneran yeuh, ada rokok mewah,” timpalnya dengan gelak tawa. Kemudian tangan kekar sawo matangnya meraih rokok yang aku angsurkan, menyalakan ujungnya dan mulai menikmati isapan demi isapan nikotin.

“Atuh sekarang ujang sudah wisuda ya.”

“Sudah tiga bulan yang lalu, Mang.”

“Atuh sebentar lagi ujang teh bakal jadi guru.”

Aku hanya tergelak demi mendengar celoteh Sarpudin. Sama seperti tipikal orang kampung pada umumnya yang menganggap bahwa semua lulusan sarjana akan bernasib menjadi guru, Sarpudin pun menganggapku demikian. “Tidak, Mang. Saya tidak berniat menjadi guru.”

“Lho, kenapa tidak. Bukannya guru itu gajinya gede. Lebih dari itu, ujang memiliki banyak pahala karena telah ngawulang anak-anak generasi bangsa.”

Untuk yang kedua kalinya aku Kembali tertawa. Mungkin kang Sarpudin belum pernah mendengar kisah si Karna.

“Zaman sekarang sudah terlalu banyak guru, Mang. Jadi saya mau mencoba peruntungan lain,” timpalku kemudian. “Beberapa bulan belakangan ini saya mencoba peruntungan dengan mengirimkan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan di kota kabupaten. Sebagian di luar kota. Ya, doakan saja mudah-mudahan bisa keterima.”

“Amiin.” Liukan asap rokok yang keluar dari dua celah bibir hitam Sarpudin meliuk-liuk. Seakan ikut mengaminkan harapanku.

Beberapa bulan setelah itu, aku diterima di sebuah perusahaan konveksi di kota kabupaten. Senangnya bukan alang kepalang. Sampai-sampai Ambu dan Abah melakukan syukuran dengan membuat tiga tumpeng lengkap dengan lauk, kemudian mengundang tetangga. Ah, mereka piker aku diterima sebagai komisaris atau direktur.

“Jangan terlalu berlebihan, Ambu. Aku hanya diterima sebagai pegawai biasa.”

“Hush! Pegawai biasa pun, kalau kerja di perusahaan teu burung maju. Yang penting soson-soson kerjanya. Contohnya si Marhadi, anak Pak Haji O’ing. Dia kerja tiga tahun di kota sudah jadi pimpinan perusahaan katanya. Pulang-pulang bawa motor dan bangun rumah.”

“Itu kan anak haji O’ing. Belum tentu saja seperti dia, Ambu.”

“Kamu itu kok pesimis betul, Jang. Jangan seperti itu.”

Ternyata, rasa pesimis yang pernah menghinggapi hatiku benar-benar menjadi kenyataan pahit yang harus aku terima. Aku hanya mampu bertahan satu bulan di perusahaan konveksi milik peranakan cina itu. Babah Ling Chang memperlakukan karwayannya tak ubahnya seperti memperlakukan robot mesin yang bisa bekerja tak berkesudahan. Sementara gaji yang aku terima tidak sebanding dengan beban kerja yang harus aku terima. Tak ada uang lembur, tak ada pula jaminan lainnya yang mampu membesarkan hatiku sebagai karyawan. Puncak dari semua derita itu, aku lebih memilih resign. Tak ada mimpi mampu menjadi pimpinan perusahaan seperti anaknya Haji O’ing. Itu mimpi yang terlalu muluk.

Setelah itu, kerjaku hanya luntang lantung tak jelas. Menjadi sarjana pengangguran yang terkadang menjadi cibiran para tetangga. Tapi mau tak mau aku harus menebalkan muka dan daun telinga. Karena kalau tidak begitu, rasa-rasanya aku sudah tidak tahan. Mereka bilang, ‘Masa iya lulusan sarjana nggak kerja.’

Akan tetapi, ide segar itu muncul ketika untuk yang kedua kalinya aku melihat Mang Sarpudin pulang dari ladang. Seperti biasa, hampir setiap sore aku melihatnya pulang memikul satu karung rumput segar untuk domba peliharaannya.

“Diabur saja atuh, Mang. Kalau harus Mamang yang ngarit kan cape. Biarkan dombanya keluar kendang dan cari makan sendiri,” saranku dari beranda.

“Ini juga pernah diabur jang. Justru malah bikin saya rugi. Ketimun dan kubis milik Haji sanusi habis dijarah sama domba-domba takt ahu diri itu. Akhirnya mamang harus ganti rugi.”

Aku hanya tersenyum mendengar cerita Mang Sarpudin.

“Lagi pula, sekarang tegalan untuk menggembala sudah berkurang. Bubulak  sudah banyak beralih wujud menjadi perumahan. Semakin sulit menemukan tempat untuk menggembala. Mau tak mau saya yang harus ngarit.

Kemudian aku berpikir tentang nasib saya sebagai sarjana pengangguran yang tak memiliki sandaran. Terlintas di benakku jika Mang Sarpudin jauh lebih beruntung dibandingkan diriku. Dia punya domba-domba yang bisa dia jual. Bahkan dia memelihara domba garut yang memiliki nilai jual tinggi.

“Mang, kalau berternak domba itu untungnya besar tidak, sih?”

“Cukuplah untuk membuat dapur tetap ngebul dan membiayai anak istri. Apalagi kalau menjelang lebaran haji. Penjualan domba dan kambing pasti marema.”

“Kalau begitu, saya ingin beternak domba saja, Mang.”

Untuk beberapa saat lamanya Sarpudin tampak terlihat kaget. Ada tiga kerut yang tergambar di keningnya yang basah oleh keringat. “Ah, Ujang. Atuh sayang kalau Jang Asep tidak kerja di kantor mah. Kan Jang Asep Sarjana.”

“Justru itu, saya tidak ingin kerja kantoran, Mang. Saya ingin jadi usahawan saja. Salahsatunya saya kepikiran buat miara domba.” Tentu saja aku tidak akan menceritakan kepada Mang Sarpudin tentang sulitnya mencari kerja meski mengantongi ijazah sarjana. Dia tidak akan mengerti.

“Ya sudah, kalau begitu biar nanti Mamang ajak Ujang ke kota kecamatan buat beli bibit domba atau kambing.”

“Waduh, saya tidak punya modal, Mang.”

“Kalau begitu, kamu bisa paroan.”

“Wah, ide yang bagus, Mang.”

Singkat cerita, aku pun memelihara domba Mang Sarpudin dengan sistem paroan. Aku memelihara domba betina milik Mang Sarpudin yang sudah dikawinkan. Tak lama setelah itu, si domba betina sudah pasti beranak pinak. Anak-anak domba itu kelak setelah besar dibagi dua. Induk dan anakannya aku kembalikan kepada pemilik, sementara aku memelihara bagianku sehingga Kembali beranak pinak semakin banyak. Kemudian aku akan menjual domba-dombaku menjelang lebaran haji dan menjadi saudagar dadakan. Ah, sekarang aku pun masih tetap bermimpi. Menjadi peternak jauh lebih menjanjikan. Diam-diam aku menyesal, kenapa dahulu aku tidak ambil saja jurusan peternakan di IPB.

Menjadi peternak domba jelas bukan alasan yang bagus untuk menghindari gunjingan. Banyak orang bilang, ‘Untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika ujungnya menjadi ‘tukang gembala domba atau petani.’

Seperti kejadian sore ini. Aku membawa dua karung rumput segar untuk domba-dombaku yang sudah ratusan kali mengembik kelaparan. Saat itu melintas Bi isah dari arah bawah sembari membawa ember yang penuh dengan cucian. Agaknya dia pulang dari tampian.

“Jang Asep, apakah domba-domba peliharaanmu selalu menanyakan ijazah sarjanamu?”

“Kenapa memangnya, Bi?”

“Lha, masa iya lulusan sarjana jadi tukang kukut domba. Harusnya kan jadi Pak guru!”

Huh! Tentu saja aku kesal karena dibilang begitu. Kemudian aku teringat si Juned, anak Bi Isah yang dua minggu yang lalu tertangkap basah menginap di rumah janda. Padahal si Juned lulusan pesantren. Tak tanggung-tanggung, si Juned konon menjadi santri sepuluh tahun. Tapi anaknya sama saja seperti aku, pemuda biasa yang juga beternak domba. Bedanya, aku tidak pernah menginap di rumah janda.

“Bi Isah, apakah domba-domba si Juned selalu menanyakan dalil dan kitab? Karena aku pikir si Juned sudah sepuluh tahun nyantri, tapi dia tak juga menjadi ajengan atau ustadz. Kalau begitu, apa untungnya menjadi santri jika ujung-ujungnya jadi penggembala domba dan janda.”

Bi Isah mendengus. Berlalu tanpa perlu repot-repot membalas komentar tajamku.

 

Keterangan:

Ajengan: kyai

Tampian: mata air yang dijadikan tempat mencuci, memandi dan sumber air minum warga kampung dalam masyarakat sunda.

Marema: laris manis

SPG: Sekolah pendidikan guru

Kabeneran: Kebetulan

Ngawulang: mengajar

Teu burung: ungkapan sunda yang artinya ‘bakal’ atau ‘pasti’

Soson-soson: ulet

Diabur: dibiarkan keluar kandang

Bubulak: tegalan padang rumput

Lebaran haji: idul adha

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment