Cerpen oleh Husni Magz
Badut itu menari-nari diantara entakan music dangdut koplo
yang mengalun dari loud speaker yang dia gendong di tas kecilnya. Tingkahnya
lucu. Tanganya melambai ke setiap kendaraan yang melintas kemudian berhenti
tepat di sampingnya. Berjajar rapi menunggu lampu merah berganti menjadi
kuning, kemudian hijau. Di saat seperti itulah sang badut kemudian beraksi
dengan berjoget-joget riang gembira. Baju polkadotnya menambah aura lucu itu.
Belum ditambah dengan senyuman lebar di kedua bibir merah yang melintang di
bawah hidung sebesar jambu bol. Tapi barangkali engkau tidak pernah berpikir
apakah bibir di balik kostum itu juga tersenyum?
Pada saat itulah sang badut norak itu melambai pada
segerombolan anak yang melintas tak jauh dari lampu merah. Ada tiga gadis
cantik berambut kepang dua tengah berboncengan di atas skuter matic yang tampak
seperti baru. Yang memegang setir matic itu memiliki rambut terurai yang sangat
terawat, di belakangnya ada gadis berkepang itu, dan di belakangnya lagi juga
gadis berkepang. Yang membedakan hanya ukuran tubuhnya. Yang paling belakang
tampak lebih ceking daripada kedua temannya. Sementara seragamnya sama saja,
putih biru.
“Nisa!” tiba-tiba saja sang badut itu secara refleks membuka
kostumnya dan tampak tersenyum kepada tiga gadis yang berboncengan di lampu
merah itu. Si pengemudi matic dan teman yang ada di tengah-tengahnya berusaha
menengok teman mereka yang duduk di ujung jok.
“Nis! Badut itu kenal sama kamu?” tanyanya dengan kerut di
dahi. Sementara dia tidak menangkap rasa gugup dan malu yang tiba-tiba
menyeruak di hati gadis yang bernama Annisa itu.
“Dia siapanya kamu?” tanya gadis kedua. Kali ini wajah Annisa Nampak semakin merah.
Tapi agaknya teman-teman si Annisa berpikir warna merah di wajahnya karena dia
tengah kepanasan di bawah terik matahari yang memanggang kota. Ketika kendaraan
berhenti di lampu merah, hawa panas itu seakan semakin menjadi karena semilir
angin telah pergi.
Badut itu mendekat ke arah motor matic itu kemudian berkata,
“Nisa! Sekarang kan jam sekolah? Kenapa malah keluyuran di jalan sih?”
“Maaf, Bapak kenal sama Nisa?” tanya si gadis yang diapit.
“Iya. lha kan saya bapaknya!”
Wajah nisa semakin merah padam. Malu, marah, kesal, bercampur
menjadi satu. Ada mimik kaget yang terpampang di kedua gadis itu, kemudian
mereka menatap Nisa dengan tatapan penuh tanya.
“Iya Pa! Nisa sama teman Nisa mau ke gramed. Disuruh beli
buku sama Bu Guru!” tiba-tiba saja ada ide untuk mengelak. Kebohongan yang
jarang dia keluarkan.
“Kamu ada duitnya.”
“Teman Nisa yang beli buku. Nisa nggak!”
“Ya sudah hati-hati ya, Nisa.” Lelaki itu kemudian
mengatupkan kepala badut itu kembali, kemudian menari-nari dengan riang
gembira. Maksud hati ingin bercanda dan menghibur anak gadisnya, yang ada Nisa
semakin dibuat mual karenanya.
Sepanjang perjalanan itulah, dua gadis itu, Anggelina dan
Nania tertawa terbahak-bahak.
“Seriously! Jadi bapak kamu itu badut jalanan?!” seru
Angelina, sementara tatapan matanya terpaku pada jalan lurus yang lengang.
“Kalo nggak salah dulu kamu pernah bilang papi kamu kerja di
Bank!” timpal Nania diiringi dengan cekikikan.
“Mungkin Papinya Nisa udah di-PHK dari bank dia tempat
bekerja. Kemudian banting setir jadi badut jalanan,” timpal Angelina.
Cekikikannya meremehkan.
Nisa malas untuk membalas komentar-komentar sarkastis kedua
temannya itu. Dia lebih memilih diam dan mendengus kesal.
“Tapi woles aja kali, Nis, kita cuman becanda.” Akhirnya, ada
rasa bersalah di hati Angelina sehingga dia meminta Nisa untuk tidak memikirkan
guyonan mereka berdua barusan.
Matic itu telus melaju membelah kota. Tapi hanya belasan
menit setelah itu mereka melihat beberapa polisi yang tengah menyetop beberapa
kendaraan yang masuk ke jalan arteri.
“Gawat! Ada Razia!” seru Angelina dengan kepanikan yang tiada
tara.
“Lu kan bawa surat-surat lengkap,” timpal Nania.
“Bukan masalah itu, kita nggak pake masker. Ini bukan Razia
SIM, ini Razia masker. Aduh, mana kita pake seragam lagi.”
“Putar balik aja!”
“Nanggung! Pak polisinya udah liat keberadaan kita!” seru
Angelina. kepanikannya semakin memuncak. “Tuh, lu liat sendiri Pak Polisinya
melambai-lambai minta kita mendekat.”
“No Problem. Yang penting polisinya ganteng!”
“Gontang-ganteng pala lu!”
Pada akhirnya Angelina harus menyerah pada nasib sialnya
dengan menepikan matiknya di bahu sebelah kiri jalan, tepat di samping Pak
Polisi yang tadi melambaikan tangan itu. “Mau pada kemana Dek? Sekarang kan jam
sekolah?”
Angelina mengedip ke arah Nisa. Nisa paham apa yang harus dia
katakan. Alasan yang sama sebagaimana yang telah dia utarakan pada Bapaknya.
Bagus sekali! Tadi dia membohongi bapaknya, sekarang dia membohongi polisi.
“Anu Pak, kami mau ke Gramedia Plaza buat beli buku. Disuruh bu Guru.”
“Kalian sekolah dimana?”
“Di SMP Angkasa Pak.” Kali ini Nania yang menjawab.
“Wah, istri saya juga mengajar disana,” balas Pak Polisi.
Ketiga gadis itu mendadak pias. Mereka tidak menyangka ini
akan menjadi mimpi buruk mereka. Karena beberapa detik setelah itu, Pak Polisi
itu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan berkata, “Saya akan
menghubungi istri saya untuk memastikan.”
“Istri Bapak siapa?” tanya Angelina.
“Bu Sri.”
Ketiga gadis itu semakin pias demi mendengar jawaban Pak
Polisi. Bu Sri itu kan wali kelas mereka. Tamatlah Riwayat mereka hari itu.
Beberapa saat lamanya Pak Polisi itu bicara dan memastikan bahwa ketiga anak
itu jujur.
“Kalian disuruh sama siapa pergi ke Gramedia jam sepuluh
begini?” tanya Polisi yang emblem namanya Nisa mengetahuinya sebagai Pak
Untung. Barangkali orang tersebut selalu untung dalam hidupnya. Termasuk
beruntung karena mendapati ketiga anak didik istrinya kelayapan di jam sekolah.
Untuk pertanyaan yang satu ini, ketiganya hanya diam seribu
bahasa sembari menundukan kepala.
“Hm, Bapak tahu kalian bohong. Tak ada siapa pun yang
menyuruh kalian untuk membeli buku di Gramedia. Jadi, jujur saja, kalian ini
mau ngapain?”
“Mau main Pak….” Jawab Nania pelan.
Saat itu juga, Pak Polisi itu meminta mereka untuk putar
balik. Sembari menegaskan bahwa istrinya tengah menunggu mereka di ruang guru.
Ketiga gadis nakal itu hanya bisa menggigit bibir bawah mereka. Terbayang sudah
bahwa mereka kena skor dari bu Sri, harus menghadap guru BK atau paling apes
disuruh menyikat dan membersihkan semua WC saentaro sekolah.
Ah, andai saja Nisa tidak ikut kedua temannya untuk bolos dan
jalan-jalan ke mall. Masalahnya, dia sudah kadung tergoda karena Angelia, si
pemilik Matic menjanjikannya satu porsi besar MC Donald sebagai imbalan ‘bantuan’
berupa mengerjakan PR Matematika selama dua minggu berturut-turut.
“Lo kerjain aja PR gue empat kali. Nanti gue traktir Mekdi di
mall dah!” tawar si Angelina dengan senyum lebar, kala itu.
Kemudian, mimpi untuk makan dua potong daging ayam besar di Mc
D itu musnah sudah. Yang ada adalah nasib buruk karena dipertemukan dengan Badut
Bapak yang membuat identitas siapa Bapak Nisa yang sesungguhnya telah
terbongkar. Dia sekarang tampak semakin kerdil di hadapan dua temannya itu.
Annisa lupa bahwa jalan untuk berkunjung ke Mall itu harus melewati
perempatan lampu merah. Dan dia lupa bahwa di lampu merah itulah bapaknya biasa
mangkal dengan kostum noraknya yang sangat menyedihkan. Bahkan, mendengar suara
musik dangdut koplo itu dia sangat mual. Sudah berkali-kali dia pernah bilang,
setidaknya putarlah lagu modern yang tidak terdengar begitu aduhai di telinga
orang.
Sore itu Nisa mendapati Bapaknya sudah ada di rumah, tengah
duduk bersila di balai bambu sembari menghitung uang receh yang berhasil dia kumpulkan
hasil dari nge-badut hari ini. Wajahnya masih dihiasi oleh bulir-bulir
keringat. Wajahnya tampak kusam karena terik matahari dan debu jalanan yang
bercampur dengan asap knalpot. Sementara kostum badut menyedihkan itu kini
sudah teronggok di pojok ruangan.
“Sudah pulang, Nis,” sapa Bapaknya dengan senyum lebar.
“Alhamdulillah, hari ini Bapak dapat rezeki yang lumayan. Semoga
saja dengan hasil ngamen badut ini Bapak bisa beli hape buat kamu ya, Nis.”
Deg! Ada satu pukulan ghaib yang membuat dada Nisa terasa
begitu sempit dan sesak. Bapaknya masih mengingat rengekannya dua bulan yang
lalu. Dia meminta kepada Bapak untuk dibelikan smartphone seperti yang dimiliki
kedua temannya. Dia tidak menyangka bapaknya masih mengingat keinginannya itu.
Sebelum melangkah masuk kamar, Nisa sudah menghambur dan memeluk
bapaknya dengan isak tangis keharuan. Nisa merasa bersalah, bagaimana mungkin
dia malu dengan profesi bapaknya sebagai badut jalanan? Bapaknya rela melakukan
pekerjaan itu demi kebahagiaannya sebagai anak semata wayang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment