21 Jul 2021

Badut Jalanan

 


Cerpen oleh Husni Magz

 

Badut itu menari-nari diantara entakan music dangdut koplo yang mengalun dari loud speaker yang dia gendong di tas kecilnya. Tingkahnya lucu. Tanganya melambai ke setiap kendaraan yang melintas kemudian berhenti tepat di sampingnya. Berjajar rapi menunggu lampu merah berganti menjadi kuning, kemudian hijau. Di saat seperti itulah sang badut kemudian beraksi dengan berjoget-joget riang gembira. Baju polkadotnya menambah aura lucu itu. Belum ditambah dengan senyuman lebar di kedua bibir merah yang melintang di bawah hidung sebesar jambu bol. Tapi barangkali engkau tidak pernah berpikir apakah bibir di balik kostum itu juga tersenyum?

Pada saat itulah sang badut norak itu melambai pada segerombolan anak yang melintas tak jauh dari lampu merah. Ada tiga gadis cantik berambut kepang dua tengah berboncengan di atas skuter matic yang tampak seperti baru. Yang memegang setir matic itu memiliki rambut terurai yang sangat terawat, di belakangnya ada gadis berkepang itu, dan di belakangnya lagi juga gadis berkepang. Yang membedakan hanya ukuran tubuhnya. Yang paling belakang tampak lebih ceking daripada kedua temannya. Sementara seragamnya sama saja, putih biru.

“Nisa!” tiba-tiba saja sang badut itu secara refleks membuka kostumnya dan tampak tersenyum kepada tiga gadis yang berboncengan di lampu merah itu. Si pengemudi matic dan teman yang ada di tengah-tengahnya berusaha menengok teman mereka yang duduk di ujung jok.

“Nis! Badut itu kenal sama kamu?” tanyanya dengan kerut di dahi. Sementara dia tidak menangkap rasa gugup dan malu yang tiba-tiba menyeruak di hati gadis yang bernama Annisa itu.

“Dia siapanya kamu?” tanya gadis kedua.  Kali ini wajah Annisa Nampak semakin merah. Tapi agaknya teman-teman si Annisa berpikir warna merah di wajahnya karena dia tengah kepanasan di bawah terik matahari yang memanggang kota. Ketika kendaraan berhenti di lampu merah, hawa panas itu seakan semakin menjadi karena semilir angin telah pergi.

Badut itu mendekat ke arah motor matic itu kemudian berkata, “Nisa! Sekarang kan jam sekolah? Kenapa malah keluyuran di jalan sih?”

“Maaf, Bapak kenal sama Nisa?” tanya si gadis yang diapit.

“Iya. lha kan saya bapaknya!”

Wajah nisa semakin merah padam. Malu, marah, kesal, bercampur menjadi satu. Ada mimik kaget yang terpampang di kedua gadis itu, kemudian mereka menatap Nisa dengan tatapan penuh tanya.

“Iya Pa! Nisa sama teman Nisa mau ke gramed. Disuruh beli buku sama Bu Guru!” tiba-tiba saja ada ide untuk mengelak. Kebohongan yang jarang dia keluarkan.

“Kamu ada duitnya.”

“Teman Nisa yang beli buku. Nisa nggak!”

“Ya sudah hati-hati ya, Nisa.” Lelaki itu kemudian mengatupkan kepala badut itu kembali, kemudian menari-nari dengan riang gembira. Maksud hati ingin bercanda dan menghibur anak gadisnya, yang ada Nisa semakin dibuat mual karenanya.

Sepanjang perjalanan itulah, dua gadis itu, Anggelina dan Nania tertawa terbahak-bahak.

“Seriously! Jadi bapak kamu itu badut jalanan?!” seru Angelina, sementara tatapan matanya terpaku pada jalan lurus yang lengang.

“Kalo nggak salah dulu kamu pernah bilang papi kamu kerja di Bank!” timpal Nania diiringi dengan cekikikan.

“Mungkin Papinya Nisa udah di-PHK dari bank dia tempat bekerja. Kemudian banting setir jadi badut jalanan,” timpal Angelina. Cekikikannya meremehkan.

Nisa malas untuk membalas komentar-komentar sarkastis kedua temannya itu. Dia lebih memilih diam dan mendengus kesal.

“Tapi woles aja kali, Nis, kita cuman becanda.” Akhirnya, ada rasa bersalah di hati Angelina sehingga dia meminta Nisa untuk tidak memikirkan guyonan mereka berdua barusan.

Matic itu telus melaju membelah kota. Tapi hanya belasan menit setelah itu mereka melihat beberapa polisi yang tengah menyetop beberapa kendaraan yang masuk ke jalan arteri.

“Gawat! Ada Razia!” seru Angelina dengan kepanikan yang tiada tara.

“Lu kan bawa surat-surat lengkap,” timpal Nania.

“Bukan masalah itu, kita nggak pake masker. Ini bukan Razia SIM, ini Razia masker. Aduh, mana kita pake seragam lagi.”

“Putar balik aja!”

“Nanggung! Pak polisinya udah liat keberadaan kita!” seru Angelina. kepanikannya semakin memuncak. “Tuh, lu liat sendiri Pak Polisinya melambai-lambai minta kita mendekat.”

“No Problem. Yang penting polisinya ganteng!”

“Gontang-ganteng pala lu!”

Pada akhirnya Angelina harus menyerah pada nasib sialnya dengan menepikan matiknya di bahu sebelah kiri jalan, tepat di samping Pak Polisi yang tadi melambaikan tangan itu. “Mau pada kemana Dek? Sekarang kan jam sekolah?”

Angelina mengedip ke arah Nisa. Nisa paham apa yang harus dia katakan. Alasan yang sama sebagaimana yang telah dia utarakan pada Bapaknya. Bagus sekali! Tadi dia membohongi bapaknya, sekarang dia membohongi polisi. “Anu Pak, kami mau ke Gramedia Plaza buat beli buku. Disuruh bu Guru.”

“Kalian sekolah dimana?”

“Di SMP Angkasa Pak.” Kali ini Nania yang menjawab.

“Wah, istri saya juga mengajar disana,” balas Pak Polisi.

Ketiga gadis itu mendadak pias. Mereka tidak menyangka ini akan menjadi mimpi buruk mereka. Karena beberapa detik setelah itu, Pak Polisi itu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan berkata, “Saya akan menghubungi istri saya untuk memastikan.”

“Istri Bapak siapa?” tanya Angelina.

“Bu Sri.”

Ketiga gadis itu semakin pias demi mendengar jawaban Pak Polisi. Bu Sri itu kan wali kelas mereka. Tamatlah Riwayat mereka hari itu. Beberapa saat lamanya Pak Polisi itu bicara dan memastikan bahwa ketiga anak itu jujur.

“Kalian disuruh sama siapa pergi ke Gramedia jam sepuluh begini?” tanya Polisi yang emblem namanya Nisa mengetahuinya sebagai Pak Untung. Barangkali orang tersebut selalu untung dalam hidupnya. Termasuk beruntung karena mendapati ketiga anak didik istrinya kelayapan di jam sekolah.

Untuk pertanyaan yang satu ini, ketiganya hanya diam seribu bahasa sembari menundukan kepala.

“Hm, Bapak tahu kalian bohong. Tak ada siapa pun yang menyuruh kalian untuk membeli buku di Gramedia. Jadi, jujur saja, kalian ini mau ngapain?”

“Mau main Pak….” Jawab Nania pelan.

Saat itu juga, Pak Polisi itu meminta mereka untuk putar balik. Sembari menegaskan bahwa istrinya tengah menunggu mereka di ruang guru. Ketiga gadis nakal itu hanya bisa menggigit bibir bawah mereka. Terbayang sudah bahwa mereka kena skor dari bu Sri, harus menghadap guru BK atau paling apes disuruh menyikat dan membersihkan semua WC saentaro sekolah.

Ah, andai saja Nisa tidak ikut kedua temannya untuk bolos dan jalan-jalan ke mall. Masalahnya, dia sudah kadung tergoda karena Angelia, si pemilik Matic menjanjikannya satu porsi besar MC Donald sebagai imbalan ‘bantuan’ berupa mengerjakan PR Matematika selama dua minggu berturut-turut.

“Lo kerjain aja PR gue empat kali. Nanti gue traktir Mekdi di mall dah!” tawar si Angelina dengan senyum lebar, kala itu.

Kemudian, mimpi untuk makan dua potong daging ayam besar di Mc D itu musnah sudah. Yang ada adalah nasib buruk karena dipertemukan dengan Badut Bapak yang membuat identitas siapa Bapak Nisa yang sesungguhnya telah terbongkar. Dia sekarang tampak semakin kerdil di hadapan dua temannya itu.

Annisa lupa bahwa jalan untuk berkunjung ke Mall itu harus melewati perempatan lampu merah. Dan dia lupa bahwa di lampu merah itulah bapaknya biasa mangkal dengan kostum noraknya yang sangat menyedihkan. Bahkan, mendengar suara musik dangdut koplo itu dia sangat mual. Sudah berkali-kali dia pernah bilang, setidaknya putarlah lagu modern yang tidak terdengar begitu aduhai di telinga orang.

Sore itu Nisa mendapati Bapaknya sudah ada di rumah, tengah duduk bersila di balai bambu sembari menghitung uang receh yang berhasil dia kumpulkan hasil dari nge-badut hari ini. Wajahnya masih dihiasi oleh bulir-bulir keringat. Wajahnya tampak kusam karena terik matahari dan debu jalanan yang bercampur dengan asap knalpot. Sementara kostum badut menyedihkan itu kini sudah teronggok di pojok ruangan.

“Sudah pulang, Nis,” sapa Bapaknya dengan senyum lebar.

“Alhamdulillah, hari ini Bapak dapat rezeki yang lumayan. Semoga saja dengan hasil ngamen badut ini Bapak bisa beli hape buat kamu ya, Nis.”

Deg! Ada satu pukulan ghaib yang membuat dada Nisa terasa begitu sempit dan sesak. Bapaknya masih mengingat rengekannya dua bulan yang lalu. Dia meminta kepada Bapak untuk dibelikan smartphone seperti yang dimiliki kedua temannya. Dia tidak menyangka bapaknya masih mengingat keinginannya itu.

Sebelum melangkah masuk kamar, Nisa sudah menghambur dan memeluk bapaknya dengan isak tangis keharuan. Nisa merasa bersalah, bagaimana mungkin dia malu dengan profesi bapaknya sebagai badut jalanan? Bapaknya rela melakukan pekerjaan itu demi kebahagiaannya sebagai anak semata wayang.

TAMAT

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment