5 Mar 2023

Menumbuhkan Tradisi Membaca Pada Anak Didik


 Ini kisah almarhum kepala sakolah kami semasa SD yang merangkap menjadi wali kelas 3. Setiap pelajaran bahasa Indonesia berlangsung, beliau seringkali mengorbankan setengah jam alokasi waktu jam pelajaran untuk kegiatan membaca. Beliau biasa membawa setumpuk buku dan majalah si Kuncung, kemudian meminta kami untuk membacanya. Barang tiga hari sekali beliau akan membawa setumpuk koleksi baru dan kami menukar buku yang sudah kami baca. 


Karena kebiasaan inilah banyak diantara kami yang keranjingan membaca buku. Bahkan sang kepsek menginisiasi untuk memberikan apresiasi kepada pembaca buku yang paling rajin. Satu orang untuk setiap kelas. Setiap acara kenaikan kelas, si kutu buku akan mendapatkan hadiah satu paket buku tulis karena sikap rajin membacanya. 


Saya pikir tiga hari itu waktu yang terlalu lama untuk menukar buku. Untuk satu buku saya sanggup menamatkannya dalam satu hari. Apalagi majalah anak. Saya pernah curang untuk itu. Saya menyisipkan dua majalah si Kuncung ke dalam satu majalah. Sementara di catatan peminjaman buku induk perpustakaan, saya tercatat hanya meminjam satu majalah. Dan memang ketentuannya seperti itu. Satu buku untuk tiga hari. Kebetulan ada teman saya yang memergoki kecurangan saya. Dia melaporkan hal itu ke pak guru dan saya dinasihati untuk bersikap jujur. 🥺


Karena jasa Pak Sahmad itulah, saya tumbuh menjadi pribadi yang mencintai dunia literasi; membaca dan menulis. 


Dari dulu saya selalu berpikir tentang pentingnya mencintai literasi, termasuk budaya apresiasi sastra sebagai materi wajib pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Paling tidak sejak anak duduk di bangku SMP. 


Misal, kurikulum menargetkan anak didik untuk membaca sejumlah buku fiksi/sastra wajib sebagai nilai tambah kelulusan/kenaikan kelas. Dan tentunya buku2 bacaan wajib yang dimasukkan ke dalam kurikulum itu sudah lulus penilaian dan sesuai dengan pola pikir dan usia anak didik. Pun, pemerintah menggalakan penggandaan buku-buku bacaan tersebut dan membagikannya secara cuma-cuma sebagaimana buku paket pada umumnya.  


Saya yakin dengan program membaca yang dimasukkan ke dalam kurikulum bahasa, bisa menghasilkan anak didik yang lebih kritis, berpikir luas dan memiliki keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. 


Seharusnya kita bisa mencontoh sekolah-sekolah barat (well, tidak berarti dengan begini saya sangat pro dengan semua hal yang berbau barat). Sekolah di USA contohnya, sejak SMA anak-anak sudah diberikan pilihan dalam penjurusan kompetensi dan skill. Ada pelajaran wajib, ada pelajaran yang sifatnya opsional/pilihan. Sementara untuk bahasa Inggris, setiap anak memiliki proyék membaca beberapa buku sastra dan mengarang.


Bagaimana dengan pelajaran berbahasa di Indonesia? Siswa tidak dituntut untuk cakap dalam berbahasa, tapi mereka dicukupkan untuk menghafal teori-teori bahasa saja. Bahkan barangkali kebanyakan guru bahasa bersikap masa bodoh dan tak pernah kepikiran bagaimana supaya anak didik memiliki rasa cinta pada aktifitas membaca. Mereka hanya menuntut siswa untuk bisa menjawab soal ujian. Mereka tidak menuntut siswa untuk mencintai bahasa dan buku. 


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment