7 Mar 2023

Mahasiswa KKN Dituduh Wahabi

“Kelompok mahasiswa KKN temanku pernah dicap Wahabi,” ujar istriku malam itu, saat bercerita tentang kegiatan kampusnya yang sudah sampai pada program KKN. 


“Gimana ceritanya?” tanya saya antusias. 


Maka mengalirlah cerita dari istri saya. Awalnya kelompok KKN tersebut diterima dengan baik oleh warga desa. Bahkan disambut dengan sambutan yang hangat. Meski mayoritas anggota KKN itu bercadar, masyarakat tidak masalah dengan hal itu.


Hingga tiba pada hari keempat, kelompok tersebut mendapatkan bantuan buku2 dari donatur. Diantaranya ada Al-Qur’an, iqro dan buku bacaan. Buku bacaan yang dimaksud adalah ‘Kitab Tauhid’ karya Muhammad bin Abdul Wahhab. Rencananya semua buku2 itu mau dibagikan ke masyarakat. Tapi mereka khawatir isi buku itu tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat setempat. 


Maka seorang akhwat bertanya kepada tokoh setempat, “Pak, akidah masyarakat di sini apa ya?” Mungkin yang dimaksud si akhwat adalah keyakinan teologis. Sementara tokoh itu berpikir maksudnya Islam. Maka dijawab, “Ya sama aja, neng.”


Singkat cerita, dibagikanlah buku itu. Selang beberapa hari, tiba-tiba saja kelompok KKN itu didatangi warga dan mereka tidak suka dengan kegiatan bagi2 buku. Mereka kemudian disidang di kantor desa oleh MUI setempat. 


Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari fragmen kisah tersebut?


Pertama, ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita harus memahami adat dan keyakinan setempat dan menghargainya sehingga tidak ada konflik. Selama mereka tidak mengganggu keyakinan kita dan kita tidak mengganggu keyakinan mereka, semua akan berjalan dengan harmonis. 


Bukan berarti saya menilai teman2 KKN di atas tidak toleran. Mereka dan para masyarakat desa hanya salah paham satu sama lain. Maka perlu adanya komunikasi. 


Kedua, ada beberapa hal yang tidak bisa dikompromikan. Ada hal yang bisa dikompromikan. Terutama dalam masalah furu’iyah. Sebagai contoh, dulu saya pernah disuruh jadi imam sholat subuh di sebuah masjid kampung. Padahal saya tidak pernah qunut subuh. Maka satu malam sebelumnya saya bela-belain ngapalin do’a qunut. Fiqih itu fleksibel. Aqidah itu kaku. Tapi tidak bisa dipaksakan kepada orang lain yang tidak meyakininya.


Ketiga, ketika berdakwah, jangan mengambil jalan radikal. Nanti masyarakat kaget dan berbalik memusuhi dakwah. 


Drop your opinion!

**

Jika saya perhatikan, masyarakat muslim perkotaan lebih open minded dibandingkan masyarakat muslim pedesaan. Mungkin karena taraf pendidikan juga yang mempengaruhi pola pikir. 


Maka jangan heran jika kemudian ajaran2 pembaharuan semacam salafi mudah berkembang di perkotaan, komunitas dan kantong2 yang multikultural. Berkebalikan dengan masyarakat desa yang cenderung homogen. Ketika ada pemahaman baru masuk dan berbeda dengan keyakinan dan cara pandang mereka, mereka akan kaget dan antipati.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment