Sungguh Laila tidak pernah mengerti apa yang kurang dari
dirinya. dia telah berkorban banyak untuk kebahagiaan suaminya. Tapi apa yang
dilakukan Wasim terhadap dirinya? dia hanya menerima penderitaan dan kegetiran
di tahun ketiga menjadi istrinya.
Baiklah, aku akan menceritakan tentang Wasim kepadamu. Siapa yang tidak kenal Wasim? Dia bukan
seorang lelaki kaya, bukan pula seorang lelaki yang datang dari keluarga
terpandang dan banyak disegani. Tidak sama sekali. Tapi dia mencintai Wasim apa
adanya.
Dulu, ketika kedua orang tuanya tahu tentang hubungannya
dengan Wasim, mereka jelas menolak keras hubungan cinta mereka. mereka
menentang hubungannya karena mereka berencana ingin menikahkannya dengan Samir
Khan. Saudara sepupu Leila dari bibi Ayesha, adik pertama ibunya.
“Beti, akalmu sudah tertutup oleh cinta. Tidakkah kau tahu
darimana lelaki itu berasal?”
“Aku lebih dari tahu, Baba. Dia seorang lelaki miskin. Ya aku
tahu itu. tapi salahkah jika aku menikahinya hanya karena cinta, bukan karena
harta.”
Ma ikut menimpali Laila, “Aku bisa membayangkan apa yang
dikatakan orang-orang mendengar anakku menikah dengan seorang pemuda
Balochistan yang hanya seorang pekerja irigasi. Sungguh memalukan.”
Laila tercengang. Tapi dia tahu tentang emansipasi. Dia juga
lebih dari tahu tentang kesetaraan, persamaan hak dan derajat yang sama
diantara sesama manusia. Tiba-tiba laila dilingkupi rasa jijik mendengar
celoteh ibunya yang tak lebih dari rasisme.
“Sepertinya kita tidak jauh beda dengan orang-orang Hindu
itu, Ma. Apa bedanya Pashtun dengan Balochistan dan Hazara? Apa bedanya seorang
kuli dengan seorang tentara. Mereka sama-sama manusia.” Seru Laila dengan
tatapan amarah, dan melirik ayahnya dengan ekor mata. Tentu saja dia meniatkan
kata-katanya untuk menyindir hati sang baba. Seorang tentara angkatan Laut
Pakistan yang dihormati. Memiliki jabatan tinggi dan tentu bergaji besar.
“Kita menyebut diri kita muslim, tapi kita tidak jauh beda
dengan orang hindu dengan kasta mereka. kita terkasta-kasta oleh nama suku dan
kekayaan.” Pungkas Laila dan setelah itu beranjak dari sofa, menuju kamar
dengan hati yang sedih. Tapi dia merasa puas dengan semua argumennya.
Rupanya, kedua orang tua Laila tersadar. Lebih tepatnya
mereka membenarkan apa yang dikatakan anak pertama mereka. keesokan harinya,
Tuan Qasim memanggil anaknya dan berkata, “Berbuatlah sesukamu anakku. Jika kau
ingin menikah dengan pemuda itu, silakan. Aku tidak akan melarangnya. Jika dia
tidak memiliki uang untuk pernikahannya denganmu, aku akan membiayai pernikahan
kalian.”
Laila tercengang. Air matanya berlompatan, dan dia memeluk
ayahnya dengan haru. “Shukriya baba. Bohut-bohut shukriya.”
Dua bulan setelahnya, Leila dan Wasim menikah dengan pesta
yang besar dan meriah. Hena telah menghiasi kedua tangan Leila yang gemerlap
dengan emas dan perak. Dia bertudung kain merah cerah dengan anting yang
ditindikan di hidungnya yang mancung. Dan Wasim dengan gagahnya berdiri
menggandeng tangannya di sebelah kanan. Berdiri menjulang bak pangeran dari
Mughal. Kepalanya dilingkupi turban putih, dengan shalwar kameez berwarna merah
yang menawan. Dipesankan langsung oleh Qasim dari butik khusus pernikahan.
Leila bahagia, Wasim lebih dari bahagia. Dia serasa melayang.
***
Leila tidak hanya mengorbankan dirinya. tidak pula berkorban
tentang biaya pernikahan yang semuanya ditanggung oleh sang Baba. Dia juga
berkorban hidup di rumah sederhana yang pengap, sempit dan lembab bersama
lelaki yang dia cintai itu. meninggalkan semua kemewahan dan kebahagiaan yang
sempat dia cecap di rumah Ma dan Baba yang membersamainya selama 18 tahun
lamanya.
Samir khan sempat kecewa karena gadis yang dia harapkan
menjadi pendamping hidupnya itu diambil lelaki lain. Lebih mengecewakan bagi
Samir ketika tahu bahwa lelaki yang memikat sepupunya itu adalah seorang lelaki
miskin yang tidak punya apa-apa. Tapi Samir tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya,
lelaki itu kembali dijodohkan oleh Ayesha dengan saudara sepupu lainnya. Habis perkara.
Leila memiliki banyak tabungan di dalam rekeningnya. Dulu,
dia bercita-cita pergi ke London untuk melanjutkan study, tentu saja dia rajin
menabung karena impian besarnya. Tapi Dada dan Dadi menolaknya bepergian
sendirian ke luar negeri. Mereka hanya meminta Leila diam di rumah saja dan
menunggu masa kawin tiba.
Dan tabungan itu digunakan Leila untuk bekal kehidupannya
bersama Wasim. Dan dia merasa bahagia dengan semua penderitaan yang dia alami
bersama Wasim.
Hingga bencana itu datang dengan tiba-tiba. Tampa ada tanda
dan tampa bisa diprediski. Entah kenapa, di tahun kedua Wasim menjadi terkesan
dingin dan tak lagi bersikap romantis kepadanya. Apa kekurangannya? Dia selalu
berdandan karena ingin terlihat cantik di mata Wasim. Tapi kenapa Wasim
berubah.
Dan misteri itu pada akhirnya terpecahkan ketika suatu ketika
Wasim berkata jujur kepada Laila, setelah mereka bercinta, satu hal yang
akhir-akhir ini jarang mereka lakukan. “Aku sudah menikah lagi.”
Pengakuan Wasim itu bagai petir yang menyambar gendang
telinganya. Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. Leila merasa hidupnya
sudah berakhir. Dia terloncat dari ranjang. “Kenapa?”
“Karena aku mencintai perempuan itu.”
“Siapa?”
“Ayana.”
Leila tidak pernah mendengar nama itu. wasim juga tidak
pernah menyinggung nama tersebut sebelumnya. Dadanya masih sesak dengan
pengakuan Wasim yang tiba-tiba.
“Siapa dia?”
“Kekasihku yang pertama, sebelum kamu.” Jawab Wasim tanpa
merasa bersalah. Seakan-akan apa yang dia bicarakan dengan istrinya saat ini
adalah pembicaraan di warung tentang pertandingan kriket antara India dan
Pakistan. Bahkan dia terlihat antusias dengan hal ini.
Mata laila berkaca-kaca. Tentu saja dia merasa sedih dengan
pengakuan ini. Karena semua pengorbanan yang telah dia berikan selama ini hanya
demi cinta Wasim. Dan sekarang apa yang terjadi? Semua pengorbanan itu dibayar
oleh pengkhianatan sang suami.
“Apakah kau merasa pengabdian yang aku berikan kepadamu
kurang, Mere Syuhar?” tanya Leila. Dia mulai memakai bajunya dan tidak lagi
mampu mengontrol hatinya yang telah retak.
“Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?” Wasim juga mulai
bangkit dari ranjang dan mulai memakai celana shalwarnya dan menyibak selimut. “Bukankah
lelaki bisa menikahi empat perempuan.”
Geligi Leila terekat satu sama lain karena menahan rasa
jengkel di hatinya. Dia pergi meninggalkan suaminya dengan hati penuh luka. Sepanjang
hari itu dia menangis sendiri di kamarnya, sementara Wasim pergi entah kemana. Mungkin
dia pergi menemui seorang wanita bernama Anaya yang juga entah dimana. Dan Leila
tidak peduli dan tidak mau tahu.
Ingin sekali Leila mengatakan semua itu kepada Baba dan Ma. Tapi
dia malu. Dulu dia yang memaksa kedua orang tuanya untuk menerima Wasim. Bahkan
bertengkar dengan Baba demi cintanya kepada Wasim, sampai mereka menerima Wasim
sebagai menantu.
Lambat tapi pasti, Wasim semakin jarang pulang ke rumah.
Bahkan terkadang sebulan sekali dia datang menemui Laila. Itu pun dengan maksud
meminta uang tabungan Leila untuk keperluannya dengan alasan yang Wasim
siapkan.
“Untuk apa kau meminta uang dariku. Uangku sudah habis!”
seru Leila. Kemarahannya terakumulasi bukan hanya karena pernikahan kedua
suaminya, tapi juga tingkahnya yang jarang pulang ke rumah dan semakin dingin
dari hari kehari. Bisa saja dia menerima pernikahan kedua Wasim andai lelaki
itu tidak berubah sikap. Bahkan dia akan senang hati jika lelaki itu
memperkenalkannya kepada perempuan bernama Anaya. Tapi itu tidak terjadi. Jelas
bagi Leila, wasim telah memiliki dunia baru bersama istri kedua. Lelaki itu
hanya ingat kepada Leila ketika uang di saku shalwarnya telah habis.
“Ceraikan aku!” teriak Leila kalap.
“Tidak akan!”
“Kalau begitu, aku akan menggugat cerai di pengadilan!”
timpal Leila dengan suara meninggi.
Satu tamparan keras melayang dan mendarat di pipi halus
Leila. Dia terjengkang. Keningnya berdarah terantuk perapian.
“Jangan sekali-kali berbicara perceraian denganku. Aku tidak
akan pernah menceraikanmu selama-lamanya. atau kamu akan tahu akibatnya!” desis
Wasim dan berlalu pergi.
Leila menangis. Takutkah dia dengan ancaman Wasim. Akankah Wasim
membunuhnya atau bahkan memotong hidungnya sebagaimana nasib seorang perempuan
bernama Ayesha yang pernah dia baca di khabar?”
Leila merutuk. Kenapa dia harus takut? Ayahnya seorang
angkatan laut. Dia anak orang kaya. Siapa Wasim? Pada akhirnya, dia tidak malu
dan tidak memungkiri hatinya mulai menghina kemiskinan Wasim. Rasiskah dia? Tidak
tidak merasa dirinya rasis dengan semua pengorbanan yang telah dia berikan
kepada Wasim.
***
Pada akhirnya Leila datang kepada baba dan menceritakan
segalanya meski dengan rasa malu yang menghajar harga dirinya.
“Aku bilang dulu apa.” Seru ma yang duduk setia di samping
Qasim yang tercenung lama mendengar cerita putrinya.
“Biar aku yang urus.” Seru Qasim dan berlalu pergi dari
hadapan sang putri dan istrinya.
“Beti, aku akan senang jika kau bercerai dengan Wasim. Kau tahu,
minggu kemarin Samir telah bercerai dengan Zaima. Kupikir kamu bisa menjadi
istrinya. Kau tentu ingat dulu kau sempat dijodohkan dengan Samir. Dia tampan
kan?”
“Kenapa dia bercerai.”
“Tidak tahu.”
Leila mendengus. Jika Samir khan bisa menceraikan istri
pertamanya, maka dengan jaminan apa lelaki itu bisa mempertahankannya.
Leila tidak takut. Dia
tidak takut untuk jatuh cinta, tapi dia tidak takut untuk melawan
ketidakadilan.
No comments:
Post a Comment