29 Oct 2019

Pengorbanan Leila


Sungguh Laila tidak pernah mengerti apa yang kurang dari dirinya. dia telah berkorban banyak untuk kebahagiaan suaminya. Tapi apa yang dilakukan Wasim terhadap dirinya? dia hanya menerima penderitaan dan kegetiran di tahun ketiga menjadi istrinya.

Baiklah, aku akan menceritakan tentang Wasim kepadamu.  Siapa yang tidak kenal Wasim? Dia bukan seorang lelaki kaya, bukan pula seorang lelaki yang datang dari keluarga terpandang dan banyak disegani. Tidak sama sekali. Tapi dia mencintai Wasim apa adanya.

Dulu, ketika kedua orang tuanya tahu tentang hubungannya dengan Wasim, mereka jelas menolak keras hubungan cinta mereka. mereka menentang hubungannya karena mereka berencana ingin menikahkannya dengan Samir Khan. Saudara sepupu Leila dari bibi Ayesha, adik pertama ibunya.
“Beti, akalmu sudah tertutup oleh cinta. Tidakkah kau tahu darimana lelaki itu berasal?”

“Aku lebih dari tahu, Baba. Dia seorang lelaki miskin. Ya aku tahu itu. tapi salahkah jika aku menikahinya hanya karena cinta, bukan karena harta.”

Ma ikut menimpali Laila, “Aku bisa membayangkan apa yang dikatakan orang-orang mendengar anakku menikah dengan seorang pemuda Balochistan yang hanya seorang pekerja irigasi. Sungguh memalukan.”
Laila tercengang. Tapi dia tahu tentang emansipasi. Dia juga lebih dari tahu tentang kesetaraan, persamaan hak dan derajat yang sama diantara sesama manusia. Tiba-tiba laila dilingkupi rasa jijik mendengar celoteh ibunya yang tak lebih dari rasisme.

“Sepertinya kita tidak jauh beda dengan orang-orang Hindu itu, Ma. Apa bedanya Pashtun dengan Balochistan dan Hazara? Apa bedanya seorang kuli dengan seorang tentara. Mereka sama-sama manusia.” Seru Laila dengan tatapan amarah, dan melirik ayahnya dengan ekor mata. Tentu saja dia meniatkan kata-katanya untuk menyindir hati sang baba. Seorang tentara angkatan Laut Pakistan yang dihormati. Memiliki jabatan tinggi dan tentu bergaji besar.

“Kita menyebut diri kita muslim, tapi kita tidak jauh beda dengan orang hindu dengan kasta mereka. kita terkasta-kasta oleh nama suku dan kekayaan.” Pungkas Laila dan setelah itu beranjak dari sofa, menuju kamar dengan hati yang sedih. Tapi dia merasa puas dengan semua argumennya.

Rupanya, kedua orang tua Laila tersadar. Lebih tepatnya mereka membenarkan apa yang dikatakan anak pertama mereka. keesokan harinya, Tuan Qasim memanggil anaknya dan berkata, “Berbuatlah sesukamu anakku. Jika kau ingin menikah dengan pemuda itu, silakan. Aku tidak akan melarangnya. Jika dia tidak memiliki uang untuk pernikahannya denganmu, aku akan membiayai pernikahan kalian.”

Laila tercengang. Air matanya berlompatan, dan dia memeluk ayahnya dengan haru. “Shukriya baba. Bohut-bohut shukriya.”

Dua bulan setelahnya, Leila dan Wasim menikah dengan pesta yang besar dan meriah. Hena telah menghiasi kedua tangan Leila yang gemerlap dengan emas dan perak. Dia bertudung kain merah cerah dengan anting yang ditindikan di hidungnya yang mancung. Dan Wasim dengan gagahnya berdiri menggandeng tangannya di sebelah kanan. Berdiri menjulang bak pangeran dari Mughal. Kepalanya dilingkupi turban putih, dengan shalwar kameez berwarna merah yang menawan. Dipesankan langsung oleh Qasim dari butik khusus pernikahan. Leila bahagia, Wasim lebih dari bahagia. Dia serasa melayang.

***

Leila tidak hanya mengorbankan dirinya. tidak pula berkorban tentang biaya pernikahan yang semuanya ditanggung oleh sang Baba. Dia juga berkorban hidup di rumah sederhana yang pengap, sempit dan lembab bersama lelaki yang dia cintai itu. meninggalkan semua kemewahan dan kebahagiaan yang sempat dia cecap di rumah Ma dan Baba yang membersamainya selama 18 tahun lamanya.

Samir khan sempat kecewa karena gadis yang dia harapkan menjadi pendamping hidupnya itu diambil lelaki lain. Lebih mengecewakan bagi Samir ketika tahu bahwa lelaki yang memikat sepupunya itu adalah seorang lelaki miskin yang tidak punya apa-apa. Tapi Samir tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya, lelaki itu kembali dijodohkan oleh Ayesha dengan saudara sepupu lainnya. Habis perkara.

Leila memiliki banyak tabungan di dalam rekeningnya. Dulu, dia bercita-cita pergi ke London untuk melanjutkan study, tentu saja dia rajin menabung karena impian besarnya. Tapi Dada dan Dadi menolaknya bepergian sendirian ke luar negeri. Mereka hanya meminta Leila diam di rumah saja dan menunggu masa kawin tiba.

Dan tabungan itu digunakan Leila untuk bekal kehidupannya bersama Wasim. Dan dia merasa bahagia dengan semua penderitaan yang dia alami bersama Wasim.

Hingga bencana itu datang dengan tiba-tiba. Tampa ada tanda dan tampa bisa diprediski. Entah kenapa, di tahun kedua Wasim menjadi terkesan dingin dan tak lagi bersikap romantis kepadanya. Apa kekurangannya? Dia selalu berdandan karena ingin terlihat cantik di mata Wasim. Tapi kenapa Wasim berubah.

Dan misteri itu pada akhirnya terpecahkan ketika suatu ketika Wasim berkata jujur kepada Laila, setelah mereka bercinta, satu hal yang akhir-akhir ini jarang mereka lakukan. “Aku sudah menikah lagi.”

Pengakuan Wasim itu bagai petir yang menyambar gendang telinganya. Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. Leila merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terloncat dari ranjang. “Kenapa?”

“Karena aku mencintai perempuan itu.”

“Siapa?”

“Ayana.”

Leila tidak pernah mendengar nama itu. wasim juga tidak pernah menyinggung nama tersebut sebelumnya. Dadanya masih sesak dengan pengakuan Wasim yang tiba-tiba.

“Siapa dia?”

“Kekasihku yang pertama, sebelum kamu.” Jawab Wasim tanpa merasa bersalah. Seakan-akan apa yang dia bicarakan dengan istrinya saat ini adalah pembicaraan di warung tentang pertandingan kriket antara India dan Pakistan. Bahkan dia terlihat antusias dengan hal ini.

Mata laila berkaca-kaca. Tentu saja dia merasa sedih dengan pengakuan ini. Karena semua pengorbanan yang telah dia berikan selama ini hanya demi cinta Wasim. Dan sekarang apa yang terjadi? Semua pengorbanan itu dibayar oleh pengkhianatan sang suami.

“Apakah kau merasa pengabdian yang aku berikan kepadamu kurang, Mere Syuhar?” tanya Leila. Dia mulai memakai bajunya dan tidak lagi mampu mengontrol hatinya yang telah retak.

“Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?” Wasim juga mulai bangkit dari ranjang dan mulai memakai celana shalwarnya dan menyibak selimut. “Bukankah lelaki bisa menikahi empat perempuan.”

Geligi Leila terekat satu sama lain karena menahan rasa jengkel di hatinya. Dia pergi meninggalkan suaminya dengan hati penuh luka. Sepanjang hari itu dia menangis sendiri di kamarnya, sementara Wasim pergi entah kemana. Mungkin dia pergi menemui seorang wanita bernama Anaya yang juga entah dimana. Dan Leila tidak peduli dan tidak mau tahu.

Ingin sekali Leila mengatakan semua itu kepada Baba dan Ma. Tapi dia malu. Dulu dia yang memaksa kedua orang tuanya untuk menerima Wasim. Bahkan bertengkar dengan Baba demi cintanya kepada Wasim, sampai mereka menerima Wasim sebagai menantu.

Lambat tapi pasti, Wasim semakin jarang pulang ke rumah. Bahkan terkadang sebulan sekali dia datang menemui Laila. Itu pun dengan maksud meminta uang tabungan Leila untuk keperluannya dengan alasan yang Wasim siapkan.

“Untuk apa kau meminta uang dariku. Uangku sudah habis!” seru Leila. Kemarahannya terakumulasi bukan hanya karena pernikahan kedua suaminya, tapi juga tingkahnya yang jarang pulang ke rumah dan semakin dingin dari hari kehari. Bisa saja dia menerima pernikahan kedua Wasim andai lelaki itu tidak berubah sikap. Bahkan dia akan senang hati jika lelaki itu memperkenalkannya kepada perempuan bernama Anaya. Tapi itu tidak terjadi. Jelas bagi Leila, wasim telah memiliki dunia baru bersama istri kedua. Lelaki itu hanya ingat kepada Leila ketika uang di saku shalwarnya telah habis.

“Ceraikan aku!” teriak Leila kalap.

“Tidak akan!”

“Kalau begitu, aku akan menggugat cerai di pengadilan!” timpal Leila dengan suara meninggi.

Satu tamparan keras melayang dan mendarat di pipi halus Leila. Dia terjengkang. Keningnya berdarah terantuk perapian.

“Jangan sekali-kali berbicara perceraian denganku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu selama-lamanya. atau kamu akan tahu akibatnya!” desis Wasim dan berlalu pergi.

Leila menangis. Takutkah dia dengan ancaman Wasim. Akankah Wasim membunuhnya atau bahkan memotong hidungnya sebagaimana nasib seorang perempuan bernama Ayesha yang pernah dia baca di khabar?”

Leila merutuk. Kenapa dia harus takut? Ayahnya seorang angkatan laut. Dia anak orang kaya. Siapa Wasim? Pada akhirnya, dia tidak malu dan tidak memungkiri hatinya mulai menghina kemiskinan Wasim. Rasiskah dia? Tidak tidak merasa dirinya rasis dengan semua pengorbanan yang telah dia berikan kepada Wasim.

***

Pada akhirnya Leila datang kepada baba dan menceritakan segalanya meski dengan rasa malu yang menghajar harga dirinya.

“Aku bilang dulu apa.” Seru ma yang duduk setia di samping Qasim yang tercenung lama mendengar cerita putrinya.

“Biar aku yang urus.” Seru Qasim dan berlalu pergi dari hadapan sang putri dan istrinya.

“Beti, aku akan senang jika kau bercerai dengan Wasim. Kau tahu, minggu kemarin Samir telah bercerai dengan Zaima. Kupikir kamu bisa menjadi istrinya. Kau tentu ingat dulu kau sempat dijodohkan dengan Samir. Dia tampan kan?”

“Kenapa dia bercerai.”

“Tidak tahu.”

Leila mendengus. Jika Samir khan bisa menceraikan istri pertamanya, maka dengan jaminan apa lelaki itu bisa mempertahankannya.

Leila tidak takut.  Dia tidak takut untuk jatuh cinta, tapi dia tidak takut untuk melawan ketidakadilan.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment