Sebutlah namanya Dian. Dian adalah seorang perempuan yang pemalu
dan boleh dibilang anti sosial. Dia lebih senang menyendiri dan menjauhkan
dirinya dari keramaian. Dia tidak suka mengunjungi perkumpulan dan lebih nyaman
menyendiri di kamarnya alih-alih memenuhi ajakan temannya untuk pergi ke sebuah
acara.
Hingga pada suatu hari, teman dekatnya bilang kepada Dian, “Tahu
nggak sih. Kamu nggak berbeda seperti orang kebanyakan ketika kita ngobrol
bareng. Kamu bisa bercanda dan berbicara berbagai macam hal sama saya. Tapi
tiba-tiba kamu jadi pendiam ketika berada di berbagai acara pertemuan.”
Dian merasa malu karena temannya mengatakan hal yang sebenarnya.
Dian merasa dirinya tidak memiliki masalah yang besar dan menganggap bahwa apa
yang selama ini terjadi adalah normal. tapi ketika teman dekatnya itu
mengatakan hal yang sebenarnya, dia merasa ada yang salah dalam dirinya.
‘Iya, kenapa saya menjadi pendiam ketika saya berada di keramaian?
Kenapa saya hanya akrab dengan orang-orang tertentu? Kenapa saya begitu sulit
untuk berinteraksi dengan orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak Dian dan membuatnya merasa
tidak memiliki keistimewaan.
Kemudian Dian berkata kepada temannya, “Bukan kenapa-napa. Saya
hanya merasa tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan orang lain.
Saya pernah mulai berbicara di tengah perkumpulan ketika saya melihat mereka
berbicara dengan nyaman. Tapi saya terlalu canggung dan mereka memandang saya
dengan tatapan aneh.”
Bingung untuk mengatakan sesuatu ketika berada di pertempuan atau
perkumpulan tidak hanya terjadi pada Dian. Merasa canggung dan malu untuk
memulai percakapan juga bukan hanya masalah yang dialami Dian. Bahkan penulis
pun pernah mengalaminya.
Saya pernah merasakan kecanggungan yang tak tertahankan ketika saya
menghadiri perkumpulan, baik itu perkumpulan keluarga besar (yang sebagian
besar saya tidak memiliki keakraban dengan mereka) atau dengan teman-teman masa
sekolah dulu. Saya lebih memilih scroll facebook dan instagram alih-alih
mengobrol dengan mereka dan berbicara berbagai macam topik.
Saya pernah merasa benci terhadap diri sendiri hanya karena tidak
piawai berbasa basi dan memulai percakapan. Saya juga merasa sedih karena tidak
bisa melontarkan candaan yang membuat orang lain merasa senang dan terhibur.
Saya pernah berusaha membuat candaan. Tidak ada yang tertawa. Mereka hanya
mengerutkan kening, kemudian tertawa hanya karena menganggap candaan saya
garing.
Setiap ada pertemuan saya memilih diam dan tidak banyak bicara.
Duduk di pojok ruangan dan hanya berbicara dengan teman dekat saya. Saya
menempel dan selalu berada di samping teman yang benar-benar akrab dengan saya.
Mencoba menyibukan diri dengan minuman dan sedotannya, kemudian berharap
minuman di gelas tidak segera habis sehingga cukup memiliki pekerjaan yang
mengalihkan saya dari kecanggungan meski dengan menyedot minuman atau memainkan
gawai.
Saya selalu berkeringat ketika berbicara dengan orang yang lebih
antraktif dibanding saya. Sebaliknya, saya lebih nyaman berbicara dengan orang
yang memiliki kesamaan dengan saya. Baik itu kesamaan karakter, hobi dan
semacamnya. Jika saya menemukan ada banyak perbedaan, biasanya saya akan
kesulitan untuk memiliki chemistry dengannya. Sehingga jangan heran jika
sahabat dekat saya sangatlah sedikit. Bahkan bisa dihitung dengan jari.
Sementara di saat yang bersamaan, banyak teman saya yang memiliki banyak teman.
Selalu bercakap-cakap dengan antusias tak peduli dengan siapa pun dia bertemu.
Saya juga selalu berpikir panjang sebelum saya membuka mulut untuk
berbicara atau hanya sekedar menyapa. Saya selalu bertanya kepada diri saya,
‘Kalimat apa yang pantas untuk saya katakana kepadanya? Apakah kalimat ‘begini’
bisa menyinggung perasaannya? Apakah kalimat ‘begitu’ mengesankan saya orang
yang konyol dan kekanak-kanakan? Dan berbagai pertanyaan itu timbul menganggu
benak saya. Intinya, saya selalu takut salah ngomong.
Ketika masa sekolah dulu –tepatnya di masa SMP dan SMP- saya
termasuk murid yang pendiam dan tak memiliki banyak teman. Boleh dikatakan
kurang populer, meski untuk prestasi saya berani mengatakan cukup membanggakan.
Sebenarnya, saya kurang begitu yakin mengungkap kisah masa lalu
saya disini. Saya sendiri sedikit malu untuk mengatakannya disini mengingat hal
ini sangat menyedihkan dan aneh. Tapi saya berharap ini bisa menjadi pelajaran,
khususnya untuk kalian yang mengalami hal yang sama persis dengan kehidupan
saya dulu.
Ketika SD dan SMP saya pernah menjadi korban bullying oleh teman
sekelas. Karena sering mengalami hal ini, saya cenderung pendiam, dan tidak
berani untuk menunjukan jati diri saya kepada orang lain. Saya lebih suka
menenggelamkan diri saya lewat buku di perpustakaan atau berdiam diri di dalam
kelas. Ya, saya sering keluar dan bermain. Tapi hanya dengan satu dua orang yang
benar-benar mengerti dan memahami saya. Saya tidak memiliki banyak teman yang
bisa saya ajak bermain atau berbicara.
Ketika di kelas, saya tidak berani mengangkat tangan ketika guru
bertanya sesuatu dan saya tahu jawabannya. Saya takut salah atau takut jawaban
yang saya lontarkan ditertawakan. Saya juga takut dibilang sok tahu oleh
teman-teman saya ketika guru meminta opini murid-muridnya tentang topik yang
dibicarakan sehingga lebih memilih diam. Ketika orang lain menyerobot
kesempatan tersebut, baru saya menyesal. Kenapa saya tidak melakukannya.
Keadaan membaik ketika saya masuk bangku Madrasah Aliyah (setingkat
SMA) di sebuah pondok pesantren. Karena hidup di pondok pesantren, maka saya
memiliki banyak kesempatan untuk bisa hidup dengan puluhan orang layaknya saya
hidup dengan keluarga saya di rumah. makan, tidur, belajar dan melakukan semua
kegiataan bersama-sama (kecuali mandi dan buang hajat mungkin).
Berawal dari sinilah saya bisa mengukur siapa diri saya. Bagaimana dan
apa yang harus saya lakukan. Saya memiliki empati. Begitu juga dengan
teman-teman seasrama saya. Kami memiliki moment untuk berbagi suka dan duka. Disinilah
saya berani menunjukan diri saya dan tidak lagi merasakan kecanggungan kepada
banyak orang. Meksi terkadang kecanggungan itu sering menghantui saya hingga
saat ini ketika saya telah lulus dari pondok pesantren.
Apa yang dulu saya rasakan, dan mungkin banyak juga diantara kalian
yang merasakan hal ini, disebut dengan istilah social anxiety atau kecemasan
sosial.
Orang yang memiliki kecemasan sosial lebih cenderung tertutup dan
tidak suka dengan keramaian dan pertemuan dengan orang lain. Ada dorongan untuk
menyembunyikan diri, kadang-kadang atau seringkali menjauh dari orang lain.
Dia juga tidak memiliki kepercayaan diri ketika berbicara sehingga
lebih memilih menghindari kontak mata ketika berbicara dengan orang yang dia
anggap asing dan tidak begitu akrab dengannya. Dia selalu terbebani dengan
kecanggungannya. Bahkan pada tingkat yang lebih parah, hal ini bisa menyebabkan
stress dan kesepian.
Tapi pada akhirnya dia akan menemukan dirinya yang sebenarnya
ketika dia berinteraksi dengan keluarganya, misal kedua orang tua, kakek-nenek,
paman-bibi, dan saudara kandung. Dia juga akan menemukan diri yang sebenarnya
pada teman dekatnya. Dia bebas berbicara apa pun dengan mereka tanpa terbebani
rasa canggung dan malu.
Nah, kamu mungkin bisa mengukur seberapa parah kecemasan sosial yang
kamu alami dengan menjawab kuesioner yang saya sertakan di bawah ini. Kuesioner
ini saya kutip dari buku How To Be Yourself yang ditulis oleh Ellen
Hendriksen, PH.D
- Saya merasa gugup jika harus berbicara dengan seseorang yang berwenang (guru, bos, dan semacanya.).
- Saya mengalami kesulitan melakukan kontak mata dengan orang lain ketika berbicara
- Saya menjadi tegang jika harus berbicara tentang diri saya atau perasaan saya dengan orang lain
- Saya merasa sulit bergaul dengan orang-orang yang bekerja dengan saya.
- Saya merasa tegang jika sendirian dengan hanya satu orang yang tidak begitu akrab dengan saya
- Saya khawatir untuk mengekspresikan diri kalau-kalau saya terlihat canggung.
- Saya merasa cemas ketika harus mengembalikan barang ke toko karena ada kecacatan produksi.
- Saya merasa sulit mengungkapkan ketidaksetujuan saya terhadap opini dan sudut pandang orang lain.
- Saya tidak berani mengungkapkan saran dan pendapat saya ketika rapat
- Saya merasa khawatir dan tidak tahu harus berkata apa dalam situasi tertentu
- Saya gugup bergaul dengan orang-orang yang saya tidak kenal.
- Saya merasa akan mengatakan sesuatu yang memalukan ketika berbicara sehingga memilih diam saja
- Ketika dalam sebuah grup atau perkumpulan, saya merasa khawatir bahwa saya akan diabaikan oleh anggota yang lain
- Saya tidak yakin apakah akan menyapa seseorang yang baru mengenalnya.
- Saya lebih nyaman melakukan percakapan via pesan alih-alih menelpon langsung
- Saya merasa cemas berakting, tampil, atau berbicara di depan penonton.
- Saya merasa tidak nyaman bekerja atau melakukan suatu hal sementara orang lain memperhatikan saya.
- Saya cemas menelepon, mengirim email, atau mengirim SMS ke seseorang yang tidak saya kenal dengan baik.
- Saya kesulitan berbicara di kelas atau di sebuah rapat.
- Saya kesulitan berbicara dengan orang yang menurut saya menarik di mata saya
- Saya merasa sulit untuk menolak ajakan teman untuk melakukan sesuatu yang saya tidak suka.
- Saya tidak suka menjadi pusat perhatian.
- Saya selalu berpikir tentang apa yang orang lain katakan. Apakah dia marah? Apakah dia tidak suka?
- Saya selalu ingin cepat pergi dari sebuah acara
- Saya tidak nyaman ketika bertemu teman lama, dan berharap percakapan segera berakhir ketika dia mengajak saya mengobrol
- Saya lebih senang bepergian sendirian daripada bersama orang lain.
- Saya merasa canggung ketika bertemu bos atau atasan di lift
Jika kamu sering mengalami kecemasan dan point-point dari kuesioner
di atas mewakili apa yang pernah kamu alami, maka kamu sedang menderita
kecemasan sosial (social anviety). Jika itu benar-benar terjadi, maka kamu
hanya perlu membiasakan dirimu untuk mengatasi kecemasan berlebihan dan
kecanggungan.
Tapi sebelum membahas tentang bagaimana cara mengatasi itu semua,
mari kita lihat apa saja yang menjadi sebab kita cemas ketika berinteraksi
dengan orang lain.
Cemas dengan kecemasan kita
Kita mungkin cemas orang lain melihat tanda-tanda fisik bahwa kita
cemas menghadapi mereka. kita takut orang lain melihat langsung kegugupan kita
ketika berhadapan dengan mereka.
Cemas dengan penampilan
Kita mungkin berpikir ada sesuatu yang memalukan tentang penampilan
kita dan tidak cukup menarik di mata orang lain. Mungkin kita takut orang lain
berpikir pakaian kita tidak pantas, tampilan fisik kita aneh, terlalu gemuk,
terlalu kurus dan semacamnya. Kita berpikir bahwa orang lain akan mudah melihat
cacat dan kekurangan kita.
Cemas dengan karakter kita
Ini yang biasanya umum terjadi dalam kehidupan kita. kita khawatir
dengan kepribadian kita sendiri. takut tidak dianggap keren, tidak lucu, bodoh,
tidak memenuhi syarat, tidak memadai, tidak kompeten dan semacamnya.
Cemas dengan keterampilan sosial kita
Kita mungkin cemas karena kita orang yang pemalu dan canggung di
hadapan orang lain. Kita khawatir tidak ada bahan obrolan yang bisa melepaskan
kita dari kondisi canggung ketika bertemu seseorang. Kita juga takut dibilang
sebagai pribadi yang membosankan dan tidak ada orang yang mengerti dengan
kondisi kita.
No comments:
Post a Comment