Menunda perbuatan baik sampai kamu memiliki
waktu luang adalah indikasi dari jiwa yang belum dewasa.
Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara
iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai.
Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’,
penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.” (Ibnu
Jauzi)
Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok. Seandainya
besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan (Syair Arab)
Mari kita menyimak sebuah kisah ilustratif.
Kisah ini saya dapatkan dari broadcast whatsapp. Dan saya kira kisah ini sangat
cocok dengan tema yang akan kita bahas kali ini. Mari kita simak.
Alkisah semester baru di sekolah setan telah
dimulai. Para guru setan sedang memberikan pengarahan, “Tidak ada kata puas
dalam kamus kehidupan kita. Orang-orang masih terus mendekat kepada Allah dan
tidak terkena bujuk rayu. Mulai semester ini kita harus melakukan sesuatu.”
“Apa yang bisa kita lakukan, Guru?” tanya salah satu murid.
“Guru, bagaimana kalau kita bisikkan kepada manusia bahwa Tuhan itu
sebenarnya tidak ada,” usul salah satu murid.
“Kita sudah melakukannya sejak manusia lahir, tapi tidak banyak
yang tertarik. Jauh di lubuk hati terdalam manusia, mereka mengakui keberadaan
Tuhan,” jawab sang guru.
“Bagaimana kalau kita bujuk manusia bahwa dosa itu tidak ada dan
neraka itu mitos,” usul murid yang lainnya.
“Itu juga sudah kita coba dan sedikit saja yang percaya. Sebagian
mereka, percaya dengan adanya ‘salah’ dan ‘benar’. Mereka juga tahu seperti apa
‘sedikit neraka’ ketika di dunia. Sebab mereka merasakan kesusahan, rasa sakit,
luka dan semacamnya.” jawab sang guru lagi.
“Guru, biarkan mereka percaya Tuhan, dosa dan neraka. Tapi
bagaimana kalau kita pengaruhi agar tidak terburu-buru melakukan kebaikan?
Dengan begitu, meskipun mereka percaya tapi mereka akan bersantai dan
menunda-nunda,” usul salah satu murid yang duduk di pojok.
Sang guru pun langsung berseru dengan senang, “Bagus, itu ide cemerlang! Kita praktikkan ide ini. Kamu akan
berhasil setan muda. Selamat!”
Menunda seringkali bermakna menggagalkan atau membatalkan kebaikan. Betapa sering kita berniat melakukan
sesuatu tapi pada akhirnya kita tidak melaksanakannya sama sekali hanya bermula
dari menunda. Kita gagal melakukannya karena waktu telah habis atau tidak lagi
mampu mengerjakannya. Kita tidak memiliki kesempatan yang kedua. Padahal hati
kita dulu berbisik bahwa kita bisa melakukannya nanti. Itulah bisikan setan.
Selain itu, jauh-jauh hari Rasulullah
shallallahu Alaihi wassalam sudah mewanti-wanti,
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya).
Cobalah tanya mereka yang sudah berada di usia senja, apa yang
mereka sesali di dunia ini? Betapa kita akan menemukan mereka bercerita kepada
kita tentang kesempatan di masa lalu yang telah mereka lewatkan dan mereka
abaikan begitu saja. tapi masa sudah berlalu, mereka hanya bisa menyesal di masa
sekarang. Mungkin saja mereka menyesali masa muda mereka yang mereka anggap
kurang produktif dan hanya diisi dengan hal-hal yang tak bermanfaat. Mungkin mereka
menyesal karena melewatkan banyak momentum baik yang selayaknya mereka raih
seperti kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, bekerja, beribadah dan
sebagainya.
Jadi, sadarilah dari sekarang sebelum kita menyesal diwaktu
kemudian.
Jam Karet
Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan
istilah jam karet. Layaknya karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak hati kita.
Begitu juga dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam
penerapannya. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun
kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu
pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.
Maka tak heran ketika ada rapat atau meeting,
pihak penyelenggara selalu melebihkan jadwal pertemuan setengah atau satu jam
lebih awal dengan alasan para peserta meeting selalu datang terlambat. Jika di
jadwal ditulis berkumpul pukul 08.00 itu artinya pertemuan dimulai pukul 09.00
Pepatah arab bilang, “Janganlah kamu
menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang.”
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk
sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada
dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari
aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang
lebih penting atau memang kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan
bahwa selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang
dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas. Tapi kita sering tidak bisa membedakan
mana yang prioritas dan mana yang sekunder. Seringkali kita menunda pekerjaan hanya karena
alassan yang kurang dibenarkan. Atau lebih tepatnya menunda pekerjaan demi
kesenangan sementara yang seringkali berujung penyesalan.
Banyak sekali jebakan yang menyebabkan kita
tidak mampu menuntaskan apa yang sudah seharusnya kita kerjakan di masa
sekarang. Jebakan-jebakan itu seakan masuk akal dan bisa diterima.
Jebakan pertama adalah ungkapan ‘saya masih
punya banyak waktu, saya masih punya waktu luang, saya masih bisa
mengerjakannya nanti.’
Jebakan kedua adalah ungkapan ‘saya sedang
tidak mood. Bagaimana mungkin kita bisa memaksa diri kita untuk mengerjakan
sesuatu ketika kita tidak merasa antusias untuk melakukannya. Bukankah para
ahli mengatakan bahwa kita harus mengerjakan sesuatu sesuai dengan mood
sehingga kita bisa mengerjakannya secara optimal?’
Hm, ungkapan ini tidak sepenuhnya benar. Justru
inspirasi itu terkadang datang ketika kita memaksa diri kita untuk memulai
mengerjakan pekerjaan tersebut. Jangan menunggu adanya kesempatan dan ide, tapi
ciptakanlah kesempatan yang baik dan ciptakan ide itu sehingga kita bisa
mengerjakannya dengan segera.
Penundaan seperti ini akan membuat pekerjaan
kita terbengkalai. Ketika banyak pekerjaan yang ditangguhkan, maka rasa malas
itu akan semakin menekan kita. Kita melihat tumpukan pekerjaan yang harus kita
lakukan sekaligus dan itu membuat kita stres dan pada akhirnya hal itu membuat
kita menderita ketika mengerjakannya. Maksud hati menunda pekerjaan dengan
alasan karena ada waktu yang panjang atau karena belum ada mood, justru waktu
itu semakin sempit. Mood baik pun tidak datang.
Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal
Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu
yang kita miliki. Ppada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara.
Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban. Semakin kita sering menunda
maka semakin banyak tumpukan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga
apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk
diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Di saat kita bekerja dengan waktu yang sedikit
dan sempit, jangan harap kita dapat bekerja dengan menyenangkan, profesional
dan menggairahkan. Jadi, ungkapan menunggu mood, menunggu ide dan inspirasi,
menunggu waktu yang pas dan ungkapan lainnya hanyalah perangkap. Yang ada
adalah kita merasakan ketidaktenangan dan dihantui sekian banyak tugas dan
kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan. Pikiran kita terbelah sehingga besar
kemungkinan kita gagal.
Dalam hadits, Rasulullah memberi nasihat, “Jadilah engkau di dunia
laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar menambahkan
dengan kalimat “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya
pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.”
Marilah kita bersegera dalam mengerjakan
kebaikan. Bergegas dalam berkarya dan beramal. Karena inilah yang Allah Subhanahu
wata'ala firmankan kepada kita,
“Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS Ali Imran [3]: 133).
Jangan Biarkan Waktu Terbuang Percuma
Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat
berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah
sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk.
Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah
sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun
bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”
Dikisahkan bahwa seorang salaf sedang berada di kamar mandi. Kemudian
dia memanggil budaknya dan menyuruhnya untuk memberikan sedekah kepada
seseorang.
Maka, budak itu berkata kepadanya, “Mengapa tuan tidak bersabar
dulu, hingga tuan keluar dari kamar mandi?” Dia menjawab, “Saya mempunyai niat
untuk berbuat baik dan saya takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu
mempunyai niat, saya segera mengikutinya dan melaksanakannya.”
Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah,
Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya
(ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu
supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun
beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh
anaknya.
Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik
(Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis,
maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat
disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun
beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama
sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat
tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah
dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.
Subhanallah, kisah-kisah di atas mengajarkan kepada kita arti penting dari
memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Hendaknya kita menyibukan diri kita dengan
kebaikan dari waktu ke waktu.
Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan pepatah ‘sambil
menyelam minum air.’ sambil mengerjakan sesuatu kita mengerjakan pekerjaan
lainnya jika memang memungkinkan. Tampaknya pepatah ini harus kita terapkan
dalam keseharian kita. Misal, ketika kita memasak cobalah sembari mendengarkan
ceramah lewat radio atau kaset. Sehingga selain menyiapkan santap makan malam,
kita juga bisa menambah wawasan kita. Contoh lainnya, ketika kita sedang dalam
perjalanan pulang dari kantor, maka cobalah mendengarkan murotal lewat earphone
atau sembari melantunkan dzikir.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i,
“waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya
(memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”
Sementara Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya
kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang
pula sebagian dirimu.”( Hasan al-Basri)
No comments:
Post a Comment