21 May 2016

ELEGI CINTA UNTUK YUNDA



YUNDA,
Aku tak mengira bahkan tak penah berpikir, kenapa harus ada orang-orang bejat di dunia ini. Aku tahu yunda, kamu hanyalah gadis kecil yang beranjak remaja. Aku juga tahu, kau masih menginginkan duniamu dihiasi canda dan tawa. Kasih sayang dan perhatian dari orang-orang sekelilingmu mungkin termasuk salahsatu obsesimu dari obsesi-obsesi lainnya. Berprestasi di sekolah salahsatunya.
Tapi kenapa semua itu harus terenggut di tengah tangan-tangan kotor iblis yang menjamahmu dengan kekejian yang tak terperi?
Yunda,
Aku harap kasus yang menimpamu bisa menjadi tamparan keras untuk diriku sendiri, tak hanya untuk diriku aku kira. Tapi juga untuk para pejabat negeri ini juga. Lihat saja, mereka bisanya rebut-ribut tentang kenaikan gaji dan fasilitas para anggota dewan yang mereka pikir kurang memadai. Sekali-kali mereka juga ribut-ribut bertengkar di tengah rapat dewan. Pernahkah mereka berpikir tentang kasus yang telah merenggut nyawamu. Pernahkah mereka berpikir untuk bisa lebih tegas soal miras yang menjadi sebab melayangnya nyawamu?
****
MARINI merebahkan tubuhnya di sofa. Setumpuk koran ibukota dan nasional berserakan di atas meja persegi empat di hadapannya. Beberapa saat kemudian ia kembali memilah beberapa headline koran dengan tatapan nanar. Matanya panas melihat judul-judul yang bombastis.
SEORANG GADIS “DIKEROYOK” OLEH LIMA BELAS PRIA.
GILA, GADIS SMP TEWAS TAK KUAT LAYANI SYAHWAT 15 PRIA!
GADIS SMP MENJADI UJI COBA 15 REMAJA PRIA

Marini tak habis pikir, apa maksud dari media itu menjadikan headline yang terkesan hanya untuk meningkatkan tiras penjualan koran itu sendiri. Tanpa pernah berpikir tentang empati dan kepedulian yang selayaknya untuk kasus mengerikan tersebut.
Marini yakin, tak ada hal yang membuat para wartawan itu memuat berita tersebut selain karena profesionalisme kerja. Terlepas dari rasa simpati atau bukan, berita itu juga menampilkan foto korban dan keluarganya. Dalam bayangannya, si wartawan mencecar keluarga korban terutama orang tua dengan pertanyaan-pertanyaan yang melelahkan. Lihat saja, di halaman pertama salah satu koran ibu kota terpampang dengan jelas foto ibu korban pemerkosaan bernama yunda itu. Bukan dengan wajah yang biasa. Ia menutup mukanya dengan jilbabnya karena malu dengan sorotan kamera para wartawan. Siapa yang tidak malu ketika putrinya diberitakan meninggal karena diperkosa oleh sejumlah pria? Walaupun –katakanlah dia di pihak korban. Tapi tetap saja itu itu hal yang tabu. Lebih dari sekedar kesedihan belaka. Tapi juga ketertekanan yang menguar di setiap jepretan kamera.

“Hai Mar, sibuk amat nih.” Seseorang menyapa dari belakangnya. Menjawil tangannya dan duduk di sampingnya. Dia adalah Stephani, teman satu kostan yang sama-sama menempuh pendidikan di universitas yang sama dan di fakultas dan jurusan yang sama pula.
Marini hanya menatap temannya sekilas dan kembali menyusuri baris demi baris headline koran.Stephani yang mengambil tempat duduk di samping marini melongokan kepalanya, ingin tahu apa yang membuat temannya itu serius menatap lembar koran di tangannya.
“Ah, lama-lama gue bosen liat berita kayak gituan mulu. Mesti tiap minggu selalu ada, dan tiap hari headlinenya nggak beranjak dari soal itu-itu terus.”
“Ya begitulah. Hari ini headlinenya tentang korupsi, besoknya tentang pencurian, besoknya lagi tentang video mesum, besoknya lagi memuat skandal pejabat dan seterusnya.”
“Yang namanya kejahatan mah nggak bakalan ada habisnya ya Mar.”
Mar menganggukan kepalanya.”Yang gue sesalkan adalah para wartawan itu sendiri loh Fan. mereka membuat judul headline bukan berdasarkan empati, tapi berdasar feeling bisnis saja. ”
”Wah, kamu jadi ahli ekonom juga rupanya.” Stephanie tersenyum sarkastis.”tapi mereka realistis juga kan. Bagaimana pun juga mereka harus berpikir bagaimana caranya mendongkrak penjualan tiras koran mereka. Apalagi zaman sekarang yang katanya zaman kebebasan pers. Media merebak kayak jamur di musim hujan. Memangnya apa yang kamu tangkap dari sikap para wartawan mar?”
Marini menyodorkan beberapa lembar halaman pertama yang memuat foto dan judul warna merah dengan ukuran jumbo.
Stephanie mengerutkan kening.”Justru dengan berita seperti ini banyak orang yang berempati terhadap kasus ini mar. Kamu gimana sih?”
“Apakah tidak ada judul yang lebih elok selain judul-judul itu Fan? contohnya begini, ‘Hukum mati untuk pemerkosa Yunda.’ Atau ‘ Lima belas lelaki perkosa gadis setelah menenggak miras,sudah saatnya miras diberantas.”
Stephanie tergelak.”Sejak kapan kamu tahu tentang teori jurnalisme mar?”
Marini hanya menghela nafas panjang.” Gue kecewa aja sama media. Coba lu pikir deh, pernah nggak mereka membuat kesimpulan bahwa hukum di negeri ini harus dirubah untuk bisa menyelamatkan para remaja dari kebobrokan itu? Pernahkan para jurnalis berpikir untuk menggiring opini publik akan pentingnya penegakan hukum yang lebih tegas. Ya maksimal penegakan hukum syariat untuk menindak para pelaku kejahatan. Mereka membuat berita bukan hanya sebagai media penyampai informasi. Tapi juga penggiring opini.”
Stephanie mendongankan kepalanya dan menatap Marini penuh arti.” Mana berani mereka begitu. Apalagi menyangkut penegakan hukum syariat.” Tangannya menyampirkan tas di bahu dan beranjak dari sofa.” Udah dulu ya diskusinya. Gue ada hang out sama temen-temen KAMMI nih.”
Marini hanya terdiam dan menggeleng. Sejurus kemudian tangannya kembali merapikan koran yang berserakan itu. Hal yang sebenarnya, dia merasa media tidak bersikap adil dalam menghadapi kasus gadis kecil yang diperkosa bernama Yunda itu. Setidaknya adil dalam sudut pandang dia sendiri. Sudah beberapa kali setelah dua minggu kasus tersebut Marini mencoba mengirimkan opininya kepada beberapa media. Baik media nasional maupun media lokal. Tapi taka da satu pun yang berhasil di muat. Alasan yang diberikan editor selalu begitu, layaknya lagu lama yang diputar kembali; opini anda terlalu frontal, tulisan kamu berbau SARA dengan adanya ide syariat islam, artikel anda terkesan emosional. Padahal Marini pikir tak ada yang salah dengan tulisannya. Tulisan pertama tentang betapa kapitalisme sumber dari kejahatan tersebut. Beredarnya miras dan pornografi adalah efek kapitalisme itu sendiri. Tulisan kedua, memuat tentang pentingnya hukum syariat seperti yang sudah diterapkan di beberapa daerah dengan otonomi khusus diberlakukan dalam lingkup nasional. Redakturnya bilang, ini menyangkut SARA. Tulisan selanjutnya, opininya untuk menegakan hukum dengan hukuman setimpal untuk pemerkosa yunda. Hukum mati umpamanya. Tapi redaksi bilang tulisannya frontal?
Marini hanya bisa geleng-geleng kepala untuk yang kesekian kalinya.
*****
Husni Mubarok adalah penulis amatir yang menyukai dunia kepenulisan sejak kelas tiga SMP. Karya pertamanya dimuat di koran lokal Kabar Priangan dalam bentuk reportase sekolah. Beberapa karyanya pernah di muat di beberapa media seperti annida-online, ummi-online, voa-islam.com, islampos.com, bersamadakwah.net, majalah horizon, majalah ar-risalah dan tentunya majalah kampus yang emang selalu kekurangan naskah. ( . saat ini tengah menempuh semester dua di fakultas tarbiyah jurusan PAI STAI Al-Hidayah Bogor.
Untuk ta’aruf lebih lanjut bisa menghubungi di akun
Fb: Kang Uni Mubarok
Twitter: @Husnimu5593
Jangan lupa mampir di blog pribadi : husni-magz.blogspot.com dan tren-islam.blogspot.com

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment