Teman sesama literasi bilang, zaman sekarang kita sudah
tidak bisa berharap banyak terhadap media masa semacam majalah dan koran.
Jika nostalgia ke masa lalu, penulis/sastrawan sering
mendapatkan kabar gembira dengan harapan yang membuncah di setiap akhir pekan
atau awal bulan. Apa pasal? Pasalnya, mereka menunggu konfirmasi
cerpen/cergam/puisi mereka dimuat di majalah atau koran. Bahkan selama sebulan
para penulis bisa mengirimkan belasan cerpen, satu dua ditolak, sebagian
diterima. Hasil dari menulis cukup untuk membayar uang kosan, membeli popok anak,
memberi uang belanja istri, belanja buku dan kebutuhan lainnya.
Dulu, ada Aneka yess, Hai, Anita cemerlang, Story, Teen, dan
Kawanku yang selalu menunggu cerpen-cerpen dan artikel tentang remaja.
Ada Bobo, Andaka, si Kuncung, Ananda dan Aku Anak Shaleh
yang mencari cerita anak berupa cerpen, dongeng, cergam dan semacamnya.
Ada juga majalah Ummi, Sabili, Saksi, Muslimah, Annida, Tren
dan Paras yang menunggu karya-karya islami.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sayangnya, di masa-masa keemasan media massa itu, saya masih
berupa embrio di dunia literasi. Saya masih belajar membaca di kelas SD dan
baru menyukai komik-komik bergambar. Sementara, sekarang, ketika jiwa literasi
saya menggeliat saya menemukan fakta yang menyedihkan itu. bahwa media massa
bukan lagi surga bagi para pegiat literasi. Saya hanya menemukan cerita-cerita menyedihkan
ini curhatan sesama pegiat literasi senior yang tidak lagi menemukan iklim yang
menggairahkan untuk jiwa kepenulisan mereka.
Walaupun ada kolom cerpen dan puisi di koran, itu tak
membantu banyak. Bahkan kolom puisi pun semakin hari semakin menyempit. Ada kabar
pula bahwa beberapa surat kabar telah menghapus kolom cerpen dengan beberapa
alasan.
Zaman sekarang, ketika media-media cetak mulai bertumbangan,
mau kemana menggantungkan harapan? Mungkin hanya satu pintu yang tersisa. Menerbitkan
buku! Itu pun perlu perjuangan yang panjang berupa riset dan waktu menulis yang
tidak sedikit. Ditambah seleksi ketat dari penerbit.
Tapi terlepas dari semua itu, saya bersyukur karena meskipun
tak lagi ada media-media massa yang bisa menampung karya anak literasi, tapi
komunitas literasi terus menggeliat.
No comments:
Post a Comment