19 Jul 2021

HOMOSEKSUALITAS DI PESANTREN

 


Caution: Mohon maaf, tulisan ini bukan bermaksud mencoreng citra baik institusi pendidikan pondok pesantren dan santri. Akan tetapi, tulisan ini saya maksudkan untuk memberikan warning atau peringatan sekaligus kewaspadaan untuk insan pesantren, terutama para asatidz, pengelola dan para santri itu sendiri.


Dunia pesantren memberikan saya pengalaman yang begitu kaya dan tidak pernah bisa saya dapatkan di dunia lainnya. Dunia pesantren mengajarkan saya tentang kemandirian, kesabaran, persahabatan, pengorbanan dan juga kekuatan tekad.


Pengalaman-pengalaman itulah yang menggerakan hati saya untuk menulis diary santri dalam blog saya, husni-magz.blogspot.com. dari mulai kenangan tentang ngantri di kamar mandi, ngantri di dapur umum, menjadi korban ghosab atau bahkan menjadi pelakunya sendiri, kena hukuman ini itu dan seabrek pengalaman unik lainnya khas santri.


Akan tetapi, ada satu sisi gelap dari dunia pesantren yang pernah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Yaitu homoseksualitas. Pertama-tama, saya merasa khawatir untuk menulis artikel ini. Saya khawatir bahwa saya dianggap mencoreng nama baik pesantren atau dianggap membuat kampanye hitam tentang ‘dunia gelap’ pesantren. Tapi saya bukan bermaksud begitu. Saya menulis ini untuk menjadi perhatian kita Bersama demi kebaikan masa depan pesantren. Wabil khusus pesantren tradisional atau salafiyah.  


Saya sempat berpikir barangkali ini hanya terjadi dalam satu pesantren yang pernah saya diami. Tapi ternyata hal itu bukan hanya terjadi di ‘pesantren’ dimana saya pernah mondok, tapi hal itu juga terjadi di pesantren-pesantren lain. Terutama pesantren tradisional yang tidak memiliki batas privasi terhadap para santrinya.


Awal mula saya mendengar cerita homoseksualitas di pesantren itu adalah dari kakak perempuan saya, Ceu Obar. Ceu Obar pernah mondok di pesantren salaf Garut. Dia menceritakan bahwa teman satu kobongnya ada yang lesbi. Korbannya adalah teman satu kobongnya sendiri.


Awalnya si korban merasa biasa-biasa saja ketika si ‘lesbi’ seringkali ‘ngalendeh’ ketika kegiatan mengaji kitab kuning berlangsung. Kita tahu sendiri, sesama perempuan untuk urusan pelukan atau menyandarkan tubuh adalah hal yang biasa.


Tapi semua sudah tidak biasa ketika si korban merasakan ada hal yang luar biasa. Si lesbi mencoba menciumi korban ketika mereka tengah tidur Bersama. Pada akhirnya si korban merasa shock dan jatuh sakit. Hal itu cukup membuat penghuni pondok gempar.


Kasus yang dilihat sendiri oleh kakak perempuan saya Kembali terulang di pondok pesantren dimana saya menuntut ilmu (mohon maaf, saya tidak akan menyebutkan nama daerahnya).


Di pondok itu, saya menemukan setidaknya tiga kasus homoseksual yang terjadi.


Kasus pertama, ada homoseksualitas suka sama suka yang terjadi antara senior dan junior. Sebut saja Abdul dan Abdil. Keduanya sangat begitu dekat seperti sahabat karib. Semua orang akan menganggap hubungan mereka hanya sahabat biasa. Tapi saya begitu terkejut ketika suatu malam, ketika saya berjalan menuju WC, di sudut kamar saya melihat dua orang tersebut tengah berpelukan dan saling menindih satu sama lain.


Saya tidak banyak bicara, saya juga cukup shock dan tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun.


Kasus kedua, ada homoseksualitas yang terjadi antara ‘predator’ dan korban. Yang kemudian jalan akhir adalah dengan cara mengeluarkan predator seks tersebut dari pondok pesantren. Semua bermula dari pengaduan teman sekelas saya yang bercerita bahwa dia digeranyangi oleh seniornya. Dia bercerita jika seniornya itu seringkali pindah tidur ke kasur miliknya, kemudian mulai menggeranyangi teman saya. Kemudian hal itu semakin memuncak ketika ‘si korban’ melawan dengan cara memukul si senior hingga terjadi keributan di tengah malam. Kejadian itu cukup membuat kami shock kala itu.


Saya kemudian mencoba berbaik sangka bahwa ini hanya kebetulan terjadi di pesantren saya atau di pesantren kakak perempuan saya. Tapi kemudian saya shock ketika banyak para quorawan menuliskan pengalaman serupa di website berbagi quora.


Uniknya, saya menilai bahwa kasus itu seringkali terjadi hanya di pondok pesantren tradisional yang memiliki intensitas kedekatan yang begitu intim. Tidaklah aneh jika di pesantren tradisional kita bisa melihat para santri tidur sekasur berdua, bertiga, bahkan berlima yang menyebabkan sering terjadinya kontak fisik. Bahkan di pesantren saya, mandi berdua atau bertiga dalam satu kamar mandi pun sudah menjadi hal biasa. Barangkali karena terbiasa meihat aurat sesama jenis itulah yang menjadi penyebab timbulnya ‘hasrat’ dan suka.


Setelah saya lulus dari pondok pesantren tradisional tersebut, saya mondok di pesantren yang boleh dibilang modern. Tapi saya tidak menemukan lagi kasus homoseksual sebagaimana di pesantren pertama. Disini tidak ada tidur satu Kasur berdua. Setiap santri diberi Kasur dan tempat tidur masing-masing. Begitu juga dengan mandi. Kami mandi sendiri sendiri dengan mengantri.


Dari pengalaman tersebut, saya bisa mengambil benang merah bahwa kejadian kasus homoseksual di pesantren tidak lepas dari sebab dan akibat. Di pesantren modern saya tidak menemukan kasus homoseksual santri karena memang tidak memiliki akses ke situ. Sementara di pondok pesantren tradisional, santri memiliki peluang untuk belok dengan cara tidur Bersama, mandi bareng dengan tanpa busana dan semacamnya.


Tulisan ini -sekali lagi saya ingin katakan- hanya sebagai bahan evaluasi dan peringatan bagi para insan pesantren, wabil khusus untuk para asatidz dan para pengelola. Jangan sampai terjadi kasus seperti itu dengan cara pencegahan dari awal.


Adapun hal yang harus dilakukan adalah dengan tidak membiarkan para santri tidur Bersama dalam satu Kasur. Tidak pula membiarkan kebiasaan mandi Bersama.


Tulisan ini saya harap jangan sampai membuat para orangtua merasa takut untuk mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren untuk dididik dan dibina. Boleh jadi, kasus-kasus itu hanyalah remah rengginang diantara ratusan ribu pesantren yang ada di Indonesia. Meski sedikit, tapi jangan sampai disepelekan.


Sebelum benar-benar memutuskan untuk mengirimkan anaknya ke pesantren, orangtua bisa melihat dulu seperti apa kehidupan para santri di pondok pesantren yang dituju.


Kobong: sebutan untuk asrama santri di pondok pesantren tradisional

 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment