Caution: Mohon maaf, tulisan ini
bukan bermaksud mencoreng citra baik institusi pendidikan pondok pesantren dan
santri. Akan tetapi, tulisan ini saya maksudkan untuk memberikan warning atau
peringatan sekaligus kewaspadaan untuk insan pesantren, terutama para asatidz,
pengelola dan para santri itu sendiri.
Dunia pesantren memberikan saya
pengalaman yang begitu kaya dan tidak pernah bisa saya dapatkan di dunia
lainnya. Dunia pesantren mengajarkan saya tentang kemandirian, kesabaran,
persahabatan, pengorbanan dan juga kekuatan tekad.
Pengalaman-pengalaman itulah yang
menggerakan hati saya untuk menulis diary santri dalam blog saya,
husni-magz.blogspot.com. dari mulai kenangan tentang ngantri di kamar mandi, ngantri
di dapur umum, menjadi korban ghosab atau bahkan menjadi pelakunya sendiri,
kena hukuman ini itu dan seabrek pengalaman unik lainnya khas santri.
Akan tetapi, ada satu sisi gelap
dari dunia pesantren yang pernah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri.
Yaitu homoseksualitas. Pertama-tama, saya merasa khawatir untuk menulis artikel
ini. Saya khawatir bahwa saya dianggap mencoreng nama baik pesantren atau
dianggap membuat kampanye hitam tentang ‘dunia gelap’ pesantren. Tapi saya
bukan bermaksud begitu. Saya menulis ini untuk menjadi perhatian kita Bersama demi
kebaikan masa depan pesantren. Wabil khusus pesantren tradisional atau
salafiyah.
Saya sempat berpikir barangkali
ini hanya terjadi dalam satu pesantren yang pernah saya diami. Tapi ternyata
hal itu bukan hanya terjadi di ‘pesantren’ dimana saya pernah mondok, tapi hal
itu juga terjadi di pesantren-pesantren lain. Terutama pesantren tradisional
yang tidak memiliki batas privasi terhadap para santrinya.
Awal mula saya mendengar cerita
homoseksualitas di pesantren itu adalah dari kakak perempuan saya, Ceu Obar.
Ceu Obar pernah mondok di pesantren salaf Garut. Dia menceritakan bahwa teman
satu kobongnya ada yang lesbi. Korbannya adalah teman satu kobongnya sendiri.
Awalnya si korban merasa
biasa-biasa saja ketika si ‘lesbi’ seringkali ‘ngalendeh’ ketika kegiatan
mengaji kitab kuning berlangsung. Kita tahu sendiri, sesama perempuan untuk
urusan pelukan atau menyandarkan tubuh adalah hal yang biasa.
Tapi semua sudah tidak biasa
ketika si korban merasakan ada hal yang luar biasa. Si lesbi mencoba menciumi
korban ketika mereka tengah tidur Bersama. Pada akhirnya si korban merasa shock
dan jatuh sakit. Hal itu cukup membuat penghuni pondok gempar.
Kasus yang dilihat sendiri oleh
kakak perempuan saya Kembali terulang di pondok pesantren dimana saya menuntut
ilmu (mohon maaf, saya tidak akan menyebutkan nama daerahnya).
Di pondok itu, saya menemukan
setidaknya tiga kasus homoseksual yang terjadi.
Kasus pertama, ada
homoseksualitas suka sama suka yang terjadi antara senior dan junior. Sebut
saja Abdul dan Abdil. Keduanya sangat begitu dekat seperti sahabat karib. Semua
orang akan menganggap hubungan mereka hanya sahabat biasa. Tapi saya begitu
terkejut ketika suatu malam, ketika saya berjalan menuju WC, di sudut kamar saya
melihat dua orang tersebut tengah berpelukan dan saling menindih satu sama
lain.
Saya tidak banyak bicara, saya
juga cukup shock dan tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun.
Kasus kedua, ada homoseksualitas
yang terjadi antara ‘predator’ dan korban. Yang kemudian jalan akhir adalah
dengan cara mengeluarkan predator seks tersebut dari pondok pesantren. Semua bermula
dari pengaduan teman sekelas saya yang bercerita bahwa dia digeranyangi oleh
seniornya. Dia bercerita jika seniornya itu seringkali pindah tidur ke kasur
miliknya, kemudian mulai menggeranyangi teman saya. Kemudian hal itu semakin
memuncak ketika ‘si korban’ melawan dengan cara memukul si senior hingga
terjadi keributan di tengah malam. Kejadian itu cukup membuat kami shock kala
itu.
Saya kemudian mencoba berbaik
sangka bahwa ini hanya kebetulan terjadi di pesantren saya atau di pesantren
kakak perempuan saya. Tapi kemudian saya shock ketika banyak para quorawan
menuliskan pengalaman serupa di website berbagi quora.
Uniknya, saya menilai bahwa kasus
itu seringkali terjadi hanya di pondok pesantren tradisional yang memiliki
intensitas kedekatan yang begitu intim. Tidaklah aneh jika di pesantren
tradisional kita bisa melihat para santri tidur sekasur berdua, bertiga, bahkan
berlima yang menyebabkan sering terjadinya kontak fisik. Bahkan di pesantren
saya, mandi berdua atau bertiga dalam satu kamar mandi pun sudah menjadi hal
biasa. Barangkali karena terbiasa meihat aurat sesama jenis itulah yang menjadi
penyebab timbulnya ‘hasrat’ dan suka.
Setelah saya lulus dari pondok
pesantren tradisional tersebut, saya mondok di pesantren yang boleh dibilang
modern. Tapi saya tidak menemukan lagi kasus homoseksual sebagaimana di
pesantren pertama. Disini tidak ada tidur satu Kasur berdua. Setiap santri
diberi Kasur dan tempat tidur masing-masing. Begitu juga dengan mandi. Kami
mandi sendiri sendiri dengan mengantri.
Dari pengalaman tersebut, saya
bisa mengambil benang merah bahwa kejadian kasus homoseksual di pesantren tidak
lepas dari sebab dan akibat. Di pesantren modern saya tidak menemukan kasus
homoseksual santri karena memang tidak memiliki akses ke situ. Sementara di
pondok pesantren tradisional, santri memiliki peluang untuk belok dengan cara
tidur Bersama, mandi bareng dengan tanpa busana dan semacamnya.
Tulisan ini -sekali lagi saya
ingin katakan- hanya sebagai bahan evaluasi dan peringatan bagi para insan
pesantren, wabil khusus untuk para asatidz dan para pengelola. Jangan sampai
terjadi kasus seperti itu dengan cara pencegahan dari awal.
Adapun hal yang harus dilakukan
adalah dengan tidak membiarkan para santri tidur Bersama dalam satu Kasur.
Tidak pula membiarkan kebiasaan mandi Bersama.
Tulisan ini saya harap jangan
sampai membuat para orangtua merasa takut untuk mengirimkan anak-anaknya ke pondok
pesantren untuk dididik dan dibina. Boleh jadi, kasus-kasus itu hanyalah remah
rengginang diantara ratusan ribu pesantren yang ada di Indonesia. Meski sedikit,
tapi jangan sampai disepelekan.
Sebelum benar-benar memutuskan
untuk mengirimkan anaknya ke pesantren, orangtua bisa melihat dulu seperti apa
kehidupan para santri di pondok pesantren yang dituju.
Kobong: sebutan untuk asrama
santri di pondok pesantren tradisional
No comments:
Post a Comment