Pada interaksi kali pertama saya berpikir bahwa dia menyukai saya. Saya berkesimpulan seperti itu karena dia selalu tersenyum, menanggapi obrolan dengan wajah ceria dan semua atensi yang tampak berlebihan. Saya belum menemukan hal itu di teman-teman perempuan lainnya. Seminggu kemudian saya baru menyadari bahwa dia memiliki sikap yang sama untuk semua lelaki tanpa terkecuali. Saya ge-er. Dan saya pikir banyak juga lelaki lain yang ge-er pada kesan pertama.
Lalu apakah salah jika perempuan memilih supel dalam pergaulan dengan lawan jenis?
Jawabannya tergantung. Jika yang dimaksud supel itu adalah bebas mengumbar pandangan, saling melempar senyum dan guyonan yang menghangatkan perasaan itu adalah hal yang riskan. Bisa menjadi panah setan untuk menggembosi hati yang rapuh oleh perasaan.
Adalah saya sempat kaget ketika saya tinggal di lingkungan yang sangat islami di Bogor. Ketika di kampung saya biasa bertukar sapa dan salam dengan semua orang, di sini kami harus menganggap para muslimah itu makhluk yang tak kasat mata. Ketika berpapasan kami tak saling berbagi sapa, apalagi tersenyum. Kami lewat seakan tidak ada sesiapa yang dilewati. Dan memang begitulah akhlak islami.
Di lain kesempatan saya bertamu ke rumah teman yang sudah menikah. Kebetulan sang teman sedang tidak ada di rumah. Hanya ada sang istri yang menyahuti salam saya dari dalam tanpa membukakan pintu, apalagi menawari kopi atau teh sembari menunggu teman saya datang. Dan memang begitulah harusnya.
Apakah itu terkesan kurang ramah? Ya, mungkin untuk yang belum paham itu dianggap satu hal yang dianggap kurang ramah. Tapi yang sudah memahami, tentu akan mafhum bahwa memang itulah tuntutan pengalaman akhlak Islam yang Kaffah dalam interaksi lawan jenis.
Hanya saja, jika kemudian ada muslimah yang friendly, jangan langsung dibilang muslimah tak tahu diri. Karena terkadang standar keramahan itu juga tergantung urf (kebiasaan) setempat. Jika di perumahan islami yang notabene semua Muslimahnya bercadar dan sangat membatasi diri, saya tidak akan pernah berani lancang menyapa. Tapi beda cerita jika saya pulang kampung. Tentu saja saya harus menyapa siapa pun yang saya temui dengan batas yang wajar.
No comments:
Post a Comment