Cerpen Oleh Husni Magz
Dunia terkadang tidak adil memperlakukan manusia yang
memiliki banyak lelakon hidup di atasnya. Itulah yang dikatakan Karna kepadaku
Tempo hari. Teman karibku itu mengaku sangat tidak menikmati pekerjaannya
sebagai guru honorer sehingga ia memutuskan pergi ke kota mengadu peruntungan.
“Kau tahu, zaman sekarang, punya ijazah sarjana saja bukan
ukuran kesuksesan. Perut tidak akan pernah kenyang jika hanya membanggakan
ijazah saja,” akunya dengan nada yang sangat melankolis. “Selain ijazah, kita
juga harus punya kreatifitas dan kelebihan yang lainnya. Daya saing zaman
sekarang itu memang kejam.”
Apa yang dikatakan Karna kepadaku ada benarnya. Dahulu, kata
Pak Sahmad, wali kelas empat ketika aku sekolah dasar pernah berkisah bahwa dia
tidak punya ijazah sarjana. Dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Dia hanya
tamatan SMP. Setelah itu mencoba peruntungan dengan sekolah SPG. “SPG itu
setara dengan SMA. Jamannya Bapak, keluaran SPG sudah bisa jadi guru. Diangkat
jadi PNS dan mendapatkan gaji tetap.”
Tapi sekarang, Karna adalah gamparan paling riskan dan
menyedihkan bagi para sarjana yang mencoba peruntungan di dunia pendidikan. Bertahun-tahun
lamanya teman karibku itu mengabdi di sekolah tempatnya dahulu menimba ilmu,
dan sampai sekarang dia belum diangkat menjadi PNS. “Mungkin sampai aku beruban
pun akan tetap berstatus guru honorer,” keluh Karna suatu hari.
“Jangan menyerah begitu, dong. Kan CPNS selalu dibuka setiap
tahun…” hiburku.
“Aku sudah bosan, Sep. setiap tahun aku coba daftar CPNS. Hasilnya
tetap saja nihil.”
Untuk alasan itulah aku tidak pernah ingin mengamini tawaran
untuk menjadi guru honorer di SMP desa. Aku lebih memilih menyimpan ijazah
sarjana bahasa indonesiaku di laci meja bututku dan mencoba berpikir tentang
rencana hidup selanjutnya.
Hingga kemudian aku berpikir tentang masa depan yang cerah
ketika aku bertemu Sarpudin yang tengah pulang dari ladang bukit Cipedes. Dengan
langkah tergesa, lelaki bertubuh gempal dan berkulit sawo matang karena
terpanggang matahari sepanjang hari itu lewat sembari memanggul sekarung rumput
yang berhasil dia sabit untuk pakan domba-dombanya.
“Pulang ngarit, Mang Sarpudin?” tanyaku yang saat itu tengah
mencangkung kaki di beranda.
“Iya, Jang,” jawab Mang Sarpudin. Agaknya dia tidak terlalu terburu-buru
sehingga dia lebih memilih menjeda langkahnya. Sarpudin menurunkan sekarung rumput
hijau itu di bawah pohon kersen dan menghampiriku. “Kapan pulang ke kampung?”
“Tiga hari yang lalu,” jawabku. Tangan kananku mengangsurkan rokok
Djie Sam Soe dan korek api ke hadapan Sarpudin yang kini duduk di samping
kanan. “Rokok, Mang.”
“Aeh, kabeneran yeuh, ada rokok mewah,” timpalnya dengan
gelak tawa. Kemudian tangan kekar sawo matangnya meraih rokok yang aku
angsurkan, menyalakan ujungnya dan mulai menikmati isapan demi isapan nikotin.
“Atuh sekarang ujang sudah wisuda ya.”
“Sudah tiga bulan yang lalu, Mang.”
“Atuh sebentar lagi ujang teh bakal jadi guru.”
Aku hanya tergelak demi mendengar celoteh Sarpudin. Sama
seperti tipikal orang kampung pada umumnya yang menganggap bahwa semua lulusan
sarjana akan bernasib menjadi guru, Sarpudin pun menganggapku demikian. “Tidak,
Mang. Saya tidak berniat menjadi guru.”
“Lho, kenapa tidak. Bukannya guru itu gajinya gede. Lebih dari
itu, ujang memiliki banyak pahala karena telah ngawulang anak-anak generasi
bangsa.”
Untuk yang kedua kalinya aku Kembali tertawa. Mungkin kang
Sarpudin belum pernah mendengar kisah si Karna.
“Zaman sekarang sudah terlalu banyak guru, Mang. Jadi saya
mau mencoba peruntungan lain,” timpalku kemudian. “Beberapa bulan belakangan
ini saya mencoba peruntungan dengan mengirimkan lamaran pekerjaan ke berbagai
perusahaan di kota kabupaten. Sebagian di luar kota. Ya, doakan saja
mudah-mudahan bisa keterima.”
“Amiin.” Liukan asap rokok yang keluar dari dua celah bibir
hitam Sarpudin meliuk-liuk. Seakan ikut mengaminkan harapanku.
Beberapa bulan setelah itu, aku diterima di sebuah perusahaan
konveksi di kota kabupaten. Senangnya bukan alang kepalang. Sampai-sampai Ambu
dan Abah melakukan syukuran dengan membuat tiga tumpeng lengkap dengan lauk,
kemudian mengundang tetangga. Ah, mereka piker aku diterima sebagai komisaris
atau direktur.
“Jangan terlalu berlebihan, Ambu. Aku hanya diterima sebagai
pegawai biasa.”
“Hush! Pegawai biasa pun, kalau kerja di perusahaan teu
burung maju. Yang penting soson-soson kerjanya. Contohnya si Marhadi, anak Pak
Haji O’ing. Dia kerja tiga tahun di kota sudah jadi pimpinan perusahaan katanya.
Pulang-pulang bawa motor dan bangun rumah.”
“Itu kan anak haji O’ing. Belum tentu saja seperti dia, Ambu.”
“Kamu itu kok pesimis betul, Jang. Jangan seperti itu.”
Ternyata, rasa pesimis yang pernah menghinggapi hatiku
benar-benar menjadi kenyataan pahit yang harus aku terima. Aku hanya mampu
bertahan satu bulan di perusahaan konveksi milik peranakan cina itu. Babah Ling
Chang memperlakukan karwayannya tak ubahnya seperti memperlakukan robot mesin
yang bisa bekerja tak berkesudahan. Sementara gaji yang aku terima tidak
sebanding dengan beban kerja yang harus aku terima. Tak ada uang lembur, tak
ada pula jaminan lainnya yang mampu membesarkan hatiku sebagai karyawan. Puncak
dari semua derita itu, aku lebih memilih resign. Tak ada mimpi mampu menjadi
pimpinan perusahaan seperti anaknya Haji O’ing. Itu mimpi yang terlalu muluk.
Setelah itu, kerjaku hanya luntang lantung tak jelas. Menjadi
sarjana pengangguran yang terkadang menjadi cibiran para tetangga. Tapi mau tak
mau aku harus menebalkan muka dan daun telinga. Karena kalau tidak begitu,
rasa-rasanya aku sudah tidak tahan. Mereka bilang, ‘Masa iya lulusan sarjana
nggak kerja.’
Akan tetapi, ide segar itu muncul ketika untuk yang kedua
kalinya aku melihat Mang Sarpudin pulang dari ladang. Seperti biasa, hampir
setiap sore aku melihatnya pulang memikul satu karung rumput segar untuk domba
peliharaannya.
“Diabur saja atuh, Mang. Kalau harus Mamang yang ngarit kan
cape. Biarkan dombanya keluar kendang dan cari makan sendiri,” saranku dari
beranda.
“Ini juga pernah diabur jang. Justru malah bikin saya rugi. Ketimun
dan kubis milik Haji sanusi habis dijarah sama domba-domba takt ahu diri itu. Akhirnya
mamang harus ganti rugi.”
Aku hanya tersenyum mendengar cerita Mang Sarpudin.
“Lagi pula, sekarang tegalan untuk menggembala sudah berkurang.
Bubulak sudah banyak beralih wujud
menjadi perumahan. Semakin sulit menemukan tempat untuk menggembala. Mau tak
mau saya yang harus ngarit.
Kemudian aku berpikir tentang nasib saya sebagai sarjana pengangguran
yang tak memiliki sandaran. Terlintas di benakku jika Mang Sarpudin jauh lebih
beruntung dibandingkan diriku. Dia punya domba-domba yang bisa dia jual. Bahkan
dia memelihara domba garut yang memiliki nilai jual tinggi.
“Mang, kalau berternak domba itu untungnya besar tidak, sih?”
“Cukuplah untuk membuat dapur tetap ngebul dan membiayai anak
istri. Apalagi kalau menjelang lebaran haji. Penjualan domba dan kambing pasti
marema.”
“Kalau begitu, saya ingin beternak domba saja, Mang.”
Untuk beberapa saat lamanya Sarpudin tampak terlihat kaget. Ada
tiga kerut yang tergambar di keningnya yang basah oleh keringat. “Ah, Ujang. Atuh
sayang kalau Jang Asep tidak kerja di kantor mah. Kan Jang Asep Sarjana.”
“Justru itu, saya tidak ingin kerja kantoran, Mang. Saya
ingin jadi usahawan saja. Salahsatunya saya kepikiran buat miara domba.” Tentu saja
aku tidak akan menceritakan kepada Mang Sarpudin tentang sulitnya mencari kerja
meski mengantongi ijazah sarjana. Dia tidak akan mengerti.
“Ya sudah, kalau begitu biar nanti Mamang ajak Ujang ke kota
kecamatan buat beli bibit domba atau kambing.”
“Waduh, saya tidak punya modal, Mang.”
“Kalau begitu, kamu bisa paroan.”
“Wah, ide yang bagus, Mang.”
Singkat cerita, aku pun memelihara domba Mang Sarpudin dengan
sistem paroan. Aku memelihara domba betina milik Mang Sarpudin yang sudah
dikawinkan. Tak lama setelah itu, si domba betina sudah pasti beranak pinak. Anak-anak
domba itu kelak setelah besar dibagi dua. Induk dan anakannya aku kembalikan kepada
pemilik, sementara aku memelihara bagianku sehingga Kembali beranak pinak
semakin banyak. Kemudian aku akan menjual domba-dombaku menjelang lebaran haji
dan menjadi saudagar dadakan. Ah, sekarang aku pun masih tetap bermimpi. Menjadi
peternak jauh lebih menjanjikan. Diam-diam aku menyesal, kenapa dahulu aku
tidak ambil saja jurusan peternakan di IPB.
Menjadi peternak domba jelas bukan alasan yang bagus untuk
menghindari gunjingan. Banyak orang bilang, ‘Untuk apa sekolah tinggi-tinggi
jika ujungnya menjadi ‘tukang gembala domba atau petani.’
Seperti kejadian sore ini. Aku membawa dua karung rumput
segar untuk domba-dombaku yang sudah ratusan kali mengembik kelaparan. Saat itu
melintas Bi isah dari arah bawah sembari membawa ember yang penuh dengan
cucian. Agaknya dia pulang dari tampian.
“Jang Asep, apakah domba-domba peliharaanmu selalu menanyakan
ijazah sarjanamu?”
“Kenapa memangnya, Bi?”
“Lha, masa iya lulusan sarjana jadi tukang kukut domba. Harusnya
kan jadi Pak guru!”
Huh! Tentu saja aku kesal karena dibilang begitu. Kemudian aku
teringat si Juned, anak Bi Isah yang dua minggu yang lalu tertangkap basah
menginap di rumah janda. Padahal si Juned lulusan pesantren. Tak tanggung-tanggung,
si Juned konon menjadi santri sepuluh tahun. Tapi anaknya sama saja seperti aku,
pemuda biasa yang juga beternak domba. Bedanya, aku tidak pernah menginap di
rumah janda.
“Bi Isah, apakah domba-domba si Juned selalu menanyakan dalil
dan kitab? Karena aku pikir si Juned sudah sepuluh tahun nyantri, tapi dia tak
juga menjadi ajengan atau ustadz. Kalau begitu, apa untungnya menjadi santri
jika ujung-ujungnya jadi penggembala domba dan janda.”
Bi Isah mendengus. Berlalu tanpa perlu repot-repot membalas komentar
tajamku.
Keterangan:
Ajengan: kyai
Tampian: mata air yang dijadikan tempat mencuci, memandi dan
sumber air minum warga kampung dalam masyarakat sunda.
Marema: laris manis
SPG: Sekolah pendidikan guru
Kabeneran: Kebetulan
Ngawulang: mengajar
Teu burung: ungkapan sunda yang artinya ‘bakal’ atau ‘pasti’
Soson-soson: ulet
Diabur: dibiarkan keluar kandang
Bubulak: tegalan padang rumput
Lebaran haji: idul adha
No comments:
Post a Comment