2 Dec 2014

Beda Sastra Islam dengan Sastra 'Bersimbol' Islam

Terkadang orang salah kaprah memaknai sastra atau fiksi islam. Mereka beranggapan bahwa sastra islam tak akan pernah jauh dari symbol-simbol yang berbau islam. Sastra islam tak akan jauh dengan jilbab, masjid, pesantren, al-qur’an dan symbol-simbol religious lainnya. Padahal sastra islam tak pernah memposisikan eksistensiya sesempit itu. justru ada sastra yang tak terlalu bombastis dengan simbol-simbol islam tapi justru sarat dengan nilai-nilai islam yang begitu mencerahkan. 

Begitu juga sebaliknya, tak sedikit sastra yang mengedepankan symbol-simbol keislaman, tapi justru jauh dari nilai islam itu sendiri. Islam tak lebih dari sebatas symbol thok, sebatas formalitas untuk bisa dianggap sastra islami
padahal kenyataanya jauh panggang dari api.


Apa sih Sastra Islam itu?


Sastra islam adalah suatu karya seni dalam bentuk prosa yang mengedepankan nilai-nilai islam dan bersifat universal. Mampu memberi kesadaran akan kebenaran ilahiah dan membawa pesan-pesan dan kesadaran moral. Sastra islam akan memposisikan perannya sebagai pembawa pesan akan cinta yang


Adapun sastra dengan symbol islam adalah karya prosa yang hanya terbatas pada pendeskripsian kultur islam, mencatut istilah-sitilah islam, dan bersetting islam. Kadang kandungan nilai-nilai akan keluhuran ilahiah dinomorduakan atau bahkan diabaikan sama sekali.


Jujur, saya sering membaca novel-novel semacam ini. di dalamnya begitu kental dengan kultur pesantren, para tokohnya memakai atribut islam semacam jilbab dan kopiah. apakah hanya sebatas hal itu kita sebut sastra islam? tidak. 


Sama sekali tidak. Karena saya menemukan pesan-pesan dan ideology yang kontradiktif di dalamnya. Tidak mencerminkan kultur keislaman yang terkandung di dalamnya. contohnya sang tokoh yang berjilbab itu diposisikan pengarang sebagai seorang yang terkena virus pink. Tapi di sinilah terlihat kedangkalan pemahaman sang pengarang. seakan-akan itu hal yang tak mempunyai cela untuk dideskripsikan. Adegan yang tak mengindahkan ghodul basyar, khayalan- khayalan yang terkesan lebay,surat-surat dan sms cinta yang bikin deg-degan dan sebagainya. Intinya hubungan haram antara dua jenis anak muda yang tak jauh beda dengan novel-novel picisan-picisan yang kita kenal. Bedanya hanya dalam pemakian atribut islam para tokohnya. nilai-nilai islamnya? Omong kosong, itu bukan sastra islam.

Melihat kenyataan itu saya jadi teringat dengan sinetron-sinetron pesanan (dadakan) bulan ramadhan. Serta merta dan serentak semua stasiun televisi menayangkan senema-sinema berbau islam. Lebihtepatnya sinetron-sinetron yang beratribut islam. para tokohnya memakai jilbab lengkap dengan gamis.


Hmmm…kalau begini jadinya, benarlah apa yang diprediksi oleh rasulullah dalam haditsnya selama seribu empat ratus abad yang lalu. baginda rasulullah mengindikasikan bahwa islam di akhir zaman hanya sebatas alqur’an sebagai bacaan, masjid tinggal bangunan yang megah, dan sekarang ditambah, baju hanya sebatas formalitas.


Beda dengan sastra islam. boleh jadi sastra islam mengedepankan atribut-atribut keislaman, tapi juga idak melenyapkan nilai-nilai islam yang universal. ambil contoh karya- karya Habiburrahman el Shirazy yang kental dengan nuansa islam, baik dari segi budaya, karakter tokoh maupun seting ceritanya. tapi dalam karyanya kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran berharga tentang ajaran islam.


Kadang ada pula karya sastra yang tidak diembel-embeli sastra islam. begitu juga dengan tokoh- tokohnya. kita tak mendaparkan symbol-simbol islam di dalamnya. tapi kita patut untuk menyebut sastra tersebut sebagai sastra islam. kenapa? karena di dalamnya kita bisa mendapatkan kandungan nilai-nilai ilahiah yang universal dan humanism yang mendalam. Walau pun pengarangnya bukan seorang muslim. untuk kasus ini saya bisa mengambil contoh karya-karya kahlil Gibran. dalam karyanya


Kita banyak menemukan pesan-pesan cinta yang universal, pesan-pesan ilahiah yang membawa kepada perenungan yang mendalam.


Dalam salah satu karyanya yang berjudul Rachel dan Miriam; terusir dari biara,
Kahlil Gibran justru membeberkan kebobrokan para pendeta dan penguasa. Disana diceritakan bagaimana para biarawan itu menjual firman-firman Tuhan dan menumpuk harta di atas penderaitaan rakyatnya. Bahkan bersekongkol dengan penguasa lokal untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus melangengkan kemiskinan masyarakatnya. Padahal yang saya tahu, Kahlil Gibran adalah seorang sastrawan Lebanon yang menganut agama Kristen maronit.


Jadi, tak selamanya sastra bersimbol islami itu bisa dikatakan sastra islam. sebaliknya tak selamnya sastra yang tanpa symbol islam dan embel-embel sastra islam bisa dikatakan sastra non islam. Kembali pada substansi nilai-nilai unicersal itu sendiri.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment