Sudah begitu larut ketika nur sampai ke rumah ustadzah
aminah. Ia mengetuk pintu dan mengucap salam. Bukan main gembira hatinya ketika
kakinya menginjak teras depan. Kini hatinya sudah terbebas dari segala terror
batin. Entah kenapa, membayangkan ustadzah aminah saja membuat ia merasa
nyaman.
Salam terjawab dan dari dalam muncul seseorang pemuda
berusia kira-kira di awal dua puluh tahunan membuka pintu. Postur tubuhnya
tinggi besar. Hidungnya sempit dan mancung dengan tatapan mata yang teduh.
Kepalanya memakai peci putih. Bibirnya yang tipis membentuk senyum lebar di
atas rahang kukuhnya.
Nur merasa kaget? Siapa pemuda itu? Bukankah hanya ustadzah
aminah dan bibi yang menempati rumah ini?
“maaf, cari siapa ya?”tanyanya dengan tersenyum ramah. Pintu
terbuka dengan sempurna. Pemuda itu mengerutkan keningnya. Alisnya yang
tebal hamper bertautan ketika melihat
dua orang polisi di belakang nur. Tatapan matanya tanpak waspada dan penuh
tanda Tanya.
Nur menghela nafas. Apa dia tamu ustadzah aminah ya? “saya
mau ketemu ustadzah aminah.”jawab nur. Beberapa hari yang lalu nur sudah
menganggap ruamh ini rumah sendiri. Kini ia harus berprilaku seperti tamu lagi
karena bukan ustadzah aminah yang membuka pintu.
“maaf, ustadzah aminah sedang keluar. Mungkin besok pagi
baru pulang. Ada undangan pengajian di luar kota yang mengharuskan ia
menginap.”terang pemuda itu.
Nur menggigit bibirnya. Ia bingung harus menjelaskan apa
ketika seorang polisi di belakangnya angkat bicara. Tanpaknya polisi itu paham
dengan apa yang terjadi.”maaf dik, ini nurani. Biasa dipanggil nur. Beberapa
hari yang lalu pernah tinggal di sini atas permintaan ibu ustadzah.”
Pemuda itu mengangguk.”nur? oh ya! Maaf, aku tidak menyadari
hal itu. Silakan ke dalam.”ujarnya dengan nada penyesalan. Kemudian mempersilakan
nur dan dua orang polisi yang mengirinya masuk ke dalam ruangan.
“bibi ada?”Tanya nur dengan hati yang lega.
Pemuda itu mengangguk.”biar saya panggilkan.”ujarnya dan
berlalu.
Tak berapa lama kemudian, bibi tergopoh-gopoh muncul dari
dapur. Ia terkejut ketika mendapati nur duduk di ruang tamu. Segera ia
menghambur memeluk nur dan menangis haru.”akhirnya….gusti allah menjawab
doa-doa bibi. Kemana saja kamu nur.”serunya sembari menyeka air mata yang
berlomba keluar dari kedua kelopak matanya.
“nur tersenyum. Matanya juga berkaca-kaca.”Alhamdulillah,
terimakasih bi, berkat doa bibi dan ustadzah aminah saya bisa kembali lagi.”
Dua orang polisi yang duduk tak jauh dari nur angkat
bicara.”maaf, kami harus segera kembali. Tapi kalau bisa, besok nur bisa ke kantor
polisi kembali untuk penyelidikan lebih lanjut.”
Nur menatap kedua polisi itu dengan tatapan penuh arti.”saya
mengucapkan banyak terimakasih atas pertolongan bapak-bapak polisi. Mungkin
tanpa pertolongan pak polisi, saya sudah masih disekap disana.”
Bibi dan pemuda yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
terbelalak.”disekap?”
Nur menatap bibi dan pemuda itu.”nanti saya akan
jelaskan.”kemudian kembali mengalihkan pandangan kepada pak polisi.”kira-kira
jam berapa saya harus ke kantor polisi pak?”
“terserah kamu. Yang penting besok, tapi kalau bisa
secepatnya.”ujar salah seorang dari mereka sembari bersiap-siap untuk pamit.
“nggak ngopi dulu pak?”Tanya bibi.
Dua polisi itu menggeleng dan berkata.”kami harus segera
kembali. Ada urusan lain yang harus kami selesaikan. maaf merepotkan.”
“ah, tidak. Sama sekali tidak.”kali ini pemuda itu yang
menjawab. Bibirnya selalu tersenyum ramah.
Kedua polisi itu tersenyum dan berlalu setelah mengucap
salam yang dijawab oleh para penghuni rumah.
Bibi merangkul pundak nur.”kami mengkhawatirkanmu nur. Dua
hari yang lalu yadi datang kesini untuk menemui kamu.setelah itu, ustadzah
mencari kamu kemana-mana. Poto-poto kamu ditempel dimana-mana.bahkan dikoran
segala.”
Nur hanya mengangguk. Ia sudah memprediksi hal itu. Tadi
sebelum ia sampai ke rumah, tanpa sengaja melihat kertas pengumuman kehilangan
dirinya di dinding warung yang biasa ia kunjungi untuk beli bumbu. Hmmm,
tanpaknya kehilangan dirinya sudah membuat geger warga Jakarta. Mungkin juga
beritanya ada di Koran-koran ibu kota.
“oh iya, perkenalkan. Ini anaknya ustadzah aminah. Kemarin
sore pulang dari pondok.”kata bibi sembari menatap kea rah pemuda tinggi besar
yang memakai peci putih itu. Yang ditatap kembali tersenyum.
Nur membalas senyumnya.
“eh rif, wafa mana? suruh kesini gih.”ujar bibi. Pemuda itu
mengangguk dan berlalu menuju belakang. Tak lama kembali beserta seorang gadis
cantik yang memakai kerudung hijau lebar. Di atas hidungnya yang mancung
bertengger kacamata minus yang berbingkai tebal. Nur manatapnya dengan seksama.
“nah…yang ini anak bungsunya. Gadis cantik yang
penurut.”terang bibi sembari tersenyum ke arah gadis itu. Gadis itu tersenyum
malu ketika mendengar pujian pembantunya itu.”bisa aja.”ujarnya sembari
menjawil tangan gemuk bibi.
Gadis itu menghampiri nur dan menyalaminya. Kemudian,
seperti wanita kebanyakan, cipika cipiki dan saling menukar senyum.
“ini mbak nur ya. Saya wafa fatihatul izzah.”ujarnya
memperkenalkan diri.
Nur tersenyum dan mengangguk senang.
Wafa menatap pemuda berpeci putih yang sedari tadi hanya
duduk diam.”pemuda ganteng itu abang saya. Namanya arif ibadurrahman.”
Pemuda berpeci itu hanya tersenyum dan segera menundukan
kepalanya. Nur berasumsi, dia seorang pemuda dengan tipe tertutup dan pemalu.
“bi, saya mau mandi
dulu. Udah tiga hari tidak mandi. Nggak
salin baju lagi.”uajr nur sembari tertawa.
“tuh, mandi sana.bibi sama wafa mau nyiapin makan malam
dulu. Pokoknya menu special buat menyambut kebebasan kamu.”
Nur mengangkat jempol dan berlalu menuju kamarnya. Semenata
bibi dan wafa berlalu menuju dapur untuk meneruskan kegiatan mereka yang sempat
tertunda. Pemuda perpeci itu kembali duduk nyaman di sofa dengan buku tebal di
tangannya. Lantunan murotal mengalun dari tape kecil yang ia simpan di pojok
ruang tamu itu.
Besoknya adalah hari yang menggembirakan sekaligus
melelahkan bagi nur. Gembira karena bisa berkumpul dengan keluarga ustadzah
aminah. pagi-pagi, ustadzah aminah sudah pulang. Ia tanpak terkejut sekaligus
bahagia melihat kehadiran nur. Selain itu, yadi juga datang ke rumah ustadzah
aminah setelah mendengar kabar kepulangannya sejak kemarin malam. Pemuda itu
tanpak begitu senang dan beberapa kali mengucap hamdalah ketika melihat nur tak
kekurangan apa pun. Setidaknya, nur kembali dengan selamat.
“kamu nggak diapa-apain kan nur?”Tanya ustadzah aminah
setelah mendengar apa yang dituturkan nur mengenai dirinya selama tiga hari
disekap.
“nggak diapa-apain gimana bu, saya disiksa tanpa ampun.”
Ustadzah aminah dan yadi terbelalak kaget. “disiksa kayak
gimana?”
Nur menuturkan siksaan-siksaan yang ia terima. Dari mulai
sundutan rokok tante viola,tendangan dan pukulan.
“kamu nggak melawan?”
“melawan sih, tapi tetap aja nggak ada gunanya.”terang nur
sembari mempelihatkan pergelangannya yang lebam dan luka bakar karena puntung
rokok.
“kalau seandainya si brengsek viola ada di depan muka saya.
Akan saya hajar dia sampai babak belur.”seru yadi dengan nada penuh emosi.
Nur tersenyum mendengar kata-katanya. Sejak awal dia sadar,
lelaki itu sangat menyayanginya. Meski tidak ada pengakuan secara lisan, dari
gerak-gerik dan pertolongannya nur sudah bisa merasakan perhatian yang lebih.
Yadi sudah menjadi lelaki yang nur harapkan dalam diamnya. Seperti harapan
ninon pada fernandes yang telah menyelamatkan kehormatannya.
Nur juga Lelah karena harus datang ke kantor polisi.
Menjawab pertanyaan ini itu yang diajukan polisi mengenai kasus yang
menimpanya. Belum lagi beberapa wartawan yang ia temui.
“insya allah kami akan segera menggerebek rumah viola. Dia
sebagai tersangka dalam kasus kamu nur. Pertama, dia tersangkut kasus asusila
dengan memperkerjakan kamu dan dua rekanmu sebagai wanita penghibur. Kedua,
kasus penculikan dan penyiksaan. Ini kasus berat.”terang salahseorang polisi
kepada nur.
Nur mengangguk puas. Dalam hatinya ia berharap tante viola
dan om pendi segera diadili dan dihukum dengan hukuman yang setimpal.
****
Nur terduduk dengan lesu dan menghela nafa. Ia menatap layar
hendphonenya dengan tatapan kosong.
“ada apa nur?”Tanya bibi sembari mengangsurkan secangkir the
ke atas meja.
“baru saja letkol hartono menelpon saya. Katanya tante viola
dan om pendi sudah kabur duluan. Mereka mengetahui bahwa mereka sedang diincar.
Beberapa polisi sudah menggeledah rumahnya, tapi nihil. Rumahnya kosong
melompong. Bahkan satpam pun ikut-ikutan raib.”
Bibi hanya mengangguk.”ya, sabar aja. Mudah-mudahan tantemu
yang jahat itu segera ditemukan dan bisa dipenjara selekasnya. Soalnya, kalau
dia masih berkeliaran, keselamatan kamu terancam juga.”
Nur mengangguk.”justru karena itu bi, saya jadi sangat
ketakutan. saya masih trauma dengan penculikan beberapa hari yang lalu.”
****
No comments:
Post a Comment