Aminah
selalu menatap senja. Menyaksikan semburat jingga yang dipancarkan matahari
yang mulai tenggelam ke peraduannya. Menyaksikan ratusan burung yang terbang
mengangkasa seumpama noktah-noktah hitam yang menghiasi ujung cakrawala, menghirup
semilir angin yang membawa bau jerami dari petak-petak sawah yang baru saja
dipanen. Entah kenapa, aminah begitu menyukai senja. Baginya, senja selalu
sama. Tapi senja selalu membawa kenangan-kenagan tersendiri.Kenangan atas nama
cinta.
Dulu,
masih di suatu senja, seorang pemuda mendatangi rumahnya untuk mengkhitbahnya.
Orang tuanya hanya mengulum senyum ketika mereka tahu bahwa pemuda ituadalah
seorang anak juragan pengepul jengkeh dan kapulaga yang terkenal di desa
mereka. Maka, tanpa menunggu kata dari sang anak, orang tua Aminah menerima pinangan itu dengan hati yang
berbunga-bunga. Mereka selalu mengumbar kebaikan-kebaikan sang pemuda dan
meyakinkan Aminah bahwa ia akan hidup bahagia. Tak da kekurangan apa pun.
“Yakinlah
neng, kamu akan hidup bahagia bersama
Ahmad. Banyak gadis yang mengharapkan Ahmad. Bahkan ada pula yang orang tuanya
menawarkan langsung anaknya ke juragan Kasim. Ya nggak diterima, mungkin saja Ahmad
mengharapkanmu sejak dulu.”ujar emak suatu hari. Aminah hanya menunduk saja.
Sebagaimana
kebanyakan gadis desa, Aminah manut apa yang diinginkan kedua orang tuanya.
Baginya, apa yang diinginkan dan ditentukan orang tuanya, itulah yang terbaik
untuk dirinya sendiri. Lagi pula, orang tua mana sih yang tidak sayang terhadap
anaknya.
Selang
beberapa bulan kemudian pernikahan Aminah dan Ahmad terselenggara dengan
meriah. Maklum, orang tua Ahmad orang terpandang sebagai juragan pengepul hasil
panen cengkeh dua desa. Sementara orang tua Aminah juga sama terpandangnya,
bapak Aminah adalah seorang kades yang sangat disegani.
Apatah
lagi, pernikahan itu adalah pernikahan pertama bagi keluarga Aminah. Kedua
orang tua Aminah sangat bahagia ketika mereka melihat putri semata wayangnya
bersanding di pelaminan. Padahal, Aminah sudah berumur dan melebihi standar
umur nikah bagi masyarakat kampungnya. Maka, siapa yang mau anak gadisnya
dijuluki perawan tua?
****
Sudah
dua tahun lamanya Aminah dan Ahmad menjalani kehidupan rumah tangga mereka.
Benar apa yang dikatakan emaknya dulu, Aminah kini merasa hidup bahagia
mendampingi suaminya. Ia tak kekurangan suatu apa pun selama mengabdi untuk Ahmad.
Semua yang ia mau dan pinta seakan bisa langsung menjadi kenyataan. Dari rumah
gedongan, mobil keluaran terbaru, ladang dan sawah, serta para khodimah yang selalu melayani mereka
berdua menjadikan Aminah dan Ahmad hidup bagai tanpa kendala apa pun. Satu
tahun setelah pernikahannya, Aminah melahirkan seorang anak lelaki yang
menggenapi kebahagiaannya.
Tapi
tak dinyana, selang dua tahun setelah kelahiran putranya, Aminah harus
menanggung kenyataan yang ia sendiri tak yakin akan sanggup memikulnya. Ahmad
menikah lagi dengan janda kembang di kampung sebelah.
Sebenarnya,
bukan masalah kawinnya yang Aminah permasalahkan. Toh banyak pula lelaki yang
poligami tapi juga tetap hidup rukun dan akur. Tapi beda dengan Ahmad, setelah
pernikahannya dengan Yeti, si janda
kembang itu, perhatian dan cinta kasihnya hanya tercurah untuk Yeti seorang.
Ahmad lupa akan kehadiran Aminah dan anak lelakinya.
“Kang,
kamu sudah dua minggu tidak pulang ke rumah. Kamana wae atuh. Piraku
hanya ngurus si Yeti, sementara anak sendiri terlantarkan!”seru Aminah suatu
hari. Ia sudah tak tahan dengan sikap suaminya yang memuakkan. Kebahagiaan dan
asa yang ia rajut selama tiga tahun rumah tangganya, kini harus hancur lebur
oleh sikap Ahmad yang tak lagi mempedulikannya.
Ahmad
menatap Aminah dengan tatapan tak senang.”ya ajar lah, akang mengutamakan Yeti. Kan kamu sudah tiga tahun mendapatkan
kasih sayang akang. Sementara Yeti,
baru dua bulan dinikahi akang.”
“Tapi
itu kan tidak adil!”seru aminah dengan mata yang mulai berair.”Seharusnya akang bisa memperlakukan istri dengan
sikap yang sama.”
Ahmad
mendengus tidak senang.
“Akang sadar, setelah pernikahan akang
dengan Yeti, perilaku akang telah berubah
terhadap eneng dan si ujang. Akang selalu menggerutu dan
bermuka masam.”
“Itu
hanya perasaanmu saja!”bentak Ahmad dan berlalu dengan membating daun pintu.
Tinggalah Aminah yang menangisi nasibnya. Diam-diam hatinya menyesal telah
menikah dengan Ahmad. Tapi segera ia tepis rasa penyesalan itu. Aminah sadar, Gusti Allah sudah menakdirkan
kehidupannya di lauh mahfuz-Nya.
Aminah hanya berharap kebaikan dan ketabahan dari Gusti Allah saja.
***
Bukan
main menyebalkannya tingkah laku Yeti. Ia tak pernah sekali pun menyapa Aminah
atau sekedar bertandang ke rumahnya. Bahkan dengan tega, Yeti menyebarkan api
fitnah, ia mengatakan bahwa pernikahan Ahmad dengannya karena kekecewaan Ahmad
terhadap aminah. Ia mengatakan bahwa aminah telah berbuat serong dengan seorang
pemuda mantan kabogoh semasa SMAnya.
“Makanya
Kang Ahmad merasa sakit hati dan menikahi saya.”selalu begitu Yeti memungkas
fitnahnya. Ada orang yang percaya dengan kata-katanya. Ada pula yang tidak
percaya, dan tak sedikit yang tidak peduli dengan masalah rumah tangga orang lain.
Tapi bagaimana pun juga, Aminah merasa sakit hati luar biasa. Apalagi Ahmad
semakin menjadi adat iblisnya. Kini, suaminya yang dulu menjadi tambatan
hatinya semakin membuatnya sakit tiada kentara. Bukan hanya sakit hati, tapi
juga sakit raga. Ahmad mulai berani menyakiti tubuhnya ketika aminah berusaha
melawan segala kedzoliman suaminya. Tamparan dan pukulan kerap mendarat di
tubuhnya.
Karena
tidak kuat lagi dengan laku suaminya, Aminah menggugat cerai. Dan selang
setelah itu, Aminah resmi bercerai dengan ahmad dengan hak asuh anak berada di
tangannya. Bukan main lega hatinya, meski rasa perih masih saja tersisa. Aminah
selalu berharap kepada Gusti Allah
untuk dirinya dan anak semata wayangnya.
Gusti Allah seakan tahu akan derita
hati Aminah. Dengan kekuasaannya, Ia berkenan menghilangkan rasa perih dan sepi
Aminah dengan mengirimkan seorang lelaki tampan dan soleh untuk menjadi suami
keduanya.
Tanpa
sengaja, suatu hari Aminah ditawari Ustadzah Khodijah untuk menikah dengan
adiknya yang baru lulus S1 dari al-Azhar mesir. Katanya, adik lelakinya itu tak
mempermasalahkan gadis atau janda yang akan mendampinginya untuk melanjutkan
study di kairo.
“Tapi
saya sudah punya anak bu Ustadzah. Apa kang Farhan mau menerima anak saya?”Tanya
Aminah sangsi.
“Tentu
saja dia mau. Farhan itu sangat menyayangi anak-anak Min. lagi pula, mana
mungkin dia tidak mau menikah sama janda secantik kamu.”puji ustadzah Khodijah
dengan senyum lebar.
Pipi
Aminah bersemu merah mendengar pujian ustadzah khodijah kepadanya.
Tak
perlu menunggu waktu lama, setelah melalui proses khitbah dua minggu kemudian Aminah dan Farhan menikah. Sesuai
dengan janji dan keinginannya sebelum menikah, farhan membawa aminah dan
anaknya ke Kairo untuk menemaninya belajar di negeri nabi Musa tersebut.
Rencananya, Farhan ingin melanjutkan program S2 di universitas yang sama.
“Sebagai
hadiah pernikahan kita, aku ingin mengajakmu umrah Aminah. Kita akan
mengikrarkan janji cinta kita di jabal rahmah.”bisik Farhan ketika pesawat
mulai take off dari bandara.
Aminah
terbelalak tak percaya. Tak terasa air mata bahagia mulai mengalir di kedua
pelupuk matanya. Ia menyandarkan kepalanya ke dada lelaki yang kini menjadi muara harapan dan asa yang
sempat tertunda.
*****
Aminah
adalah perempuan beruntung mendapat cinta seorang ustadz muda. Keberuntungan
itu semakin berlipat ketika ia menjalani kehidupan barunya di Kairo untuk
mendampingi Farhan menempuh masa tholabul
ilmi hingga tuntas dengan hasil yang memuaskan.
Semenjak
mendapatkan gelar S2-nya, Farhan
bergabung dengan lembaga relawan kemanusiaan di Syiria yang menjalankan
misi bantuan untuk para mujahidin.
“Akang ingin turut andil dalam menegakan
kemaslahatan untuk saudara-saudar kita aminah. Jadi, akang minta Aminah rela.”ujar Farhan suatu hari ketika melihat ada
gurat keberatan di wajah aminah yang ayu.
Aminah
menghela nafas panjang dan menatap wajah suaminya yang teduh dengan penuh
keyakinan.”Apa pun yang akang tempuh, selama itu baik maka aminah akan dukung
sepenuh hati.”
Farhan
tersenyum lebar dan memeluk aminah dengan sepenuh cinta.”kau memang istri yang
telah Allah pilihkan untukku. Terimakasih Aminah. Ana uhibbuki fillah..”lirih Farhan di telinga kanannya.
Selang
beberapa hari setelah itu, suaminya berangkat ke Suriah. Farhan meyakinkan Aminah,
bahwa ia akan selalu mengontaknya di Mesir. Tapi nyatanya, Farhan tidak bisa
dihubungi dua bulan lamanya. Sesibuk apakah suaminya sampai ia lupa memberi
kabar istrinya? Apakah farhan lupa dengan janjinya? Terkadang Aminah merasa
was-was dan cemburu terhadap Farhan. Tapi segera ia tepis perasaan itu. Tak
seharusnya ia mencurigai lelaki sesaleh Farhan. Tak ada cela dan cacat yang
pernah ia temukan selama mendampinginya dari awal malam pertama hingga detik
akhir perpisahannya mengantarkan hingga bandara. Tidak sama sekali.
Maka
setelah itu, hanya kerinduan dan pengharapan yang selalu menemani hari-hari Aminah.
Cintanya yang tulus terhadap farhan membuat ia kuat dan bangun dari segala
keputus asaan. Cintanya pada anak semata wayangnya dan jabang bayi yang ia
kandung, benih cinta Farhan padanya, membuatnya bahagia menjalani hari-hari di
kairo meski tanpa kehadiran suami tercinta.
Pun
ketika ia harus melahirkan si jabang bayi tanpa Farhan di sisinya. Aminah tegar
dan berusaha tersenyum melewati masa-masa sakitnya. Dengan air mata bahagia, ia
menimang bayinya dan mengabarkan kelahiran anak keduanya kepada emak dan bapak
di Indonesia. Ia bahagia dan tak pernah meminta hal yang aneh-aneh kepada Gusti Allah selain kepulangan suaminya.
“Pasti
abi senang melihat si adek sudah keluar dari perut ummi.”ujar anak sulungnya
dengan senyum polosnya. Ia merebahkan kepalanya di dada aminah.
Aminah
mengelus kepalanya dan mengangguk pelan. Kerinduan kembali menyeruak di dada.
Tapi justru kerinduan dan kesetiaan itulah yang membuatnya bangun dari segala
keterpurukan dan ketidak pastian. Dan malam itu, aminah membuktian kekuatan
cintanya ketika ia menerima telpon dari yayasan lembaga kemanusiaan suaminya.
“Saya harap nyonya sabar menerima kenyataan ini. Kemah relawan kami menjadi sasaran rudal rezim pemerintah. Belasan relawan kami syahid termasuk akhi Farhan, suami nyonya di dalamnya,”ujar sebuah suara bariton dengan dialek arab khas Mesir.
“Saya harap nyonya sabar menerima kenyataan ini. Kemah relawan kami menjadi sasaran rudal rezim pemerintah. Belasan relawan kami syahid termasuk akhi Farhan, suami nyonya di dalamnya,”ujar sebuah suara bariton dengan dialek arab khas Mesir.
Aminah
hanya termenung dan menghela nafas panjang. Air mata mengalir di kedua pipinya.
Ia menangis tanpa suara. Sementara ditatapnya kedua anankya yang sudah tertidur
sejak isya.
“Kang,
saya bangga kau telah menjadi salah satu yang Gusti Allah pilih dengan keistimewaan itu. Kini, akulah yang akan
meneruskan perjuanganmu dalam mendidik anak-anak kita.”lirih Aminah dalam
tangisnya yang diam. Aminah yakin, cinta dan kesetiaanlah yang membuatnya
selalu kuat dari keterpurukan. Tiba-tiba saja ia ingat kata-kata suaminya di
malam pertama mereka.”Akang ingin,
cinta kita berlandaskan cinta Allah, Aminah. Jika cinta kita adalah celupan
cinta-Nya, maka tak ada lagi perpisahan hingga negeri akhirat nanti.”
****
Aminah
menghela nafas panjang. Semburat jingga semakin kentara memenuhi garis lengkung
cakrawala. Tak berapa lama, kumandang adzan bersahutan dari setiap penjuru
kampung. Sementara, burung-burung yang semupama noktah hitam sudah menghilang
secara perlahan dari kanfas langit jingga.
“Ayo
Aminah, sudah maghrib.”seru emaknya dengan senyum sumringah. Di belakangnya
tampak kedua buah hatinya tengah tersenyum kepada Aminah. Si kakak sudah
bersarung dengan kopiah hitam di kepalanya. Sementara adiknya, anak dari Farhan
memakai mukena yang sebulan yang lalu baru ia beli.
“Ayo,
Aminah mau ambil mukena dulu mak.”jawab Aminah sembari melangkah ke dalam. Tak
berapa lama ia sudah kembali dengan sajadah yang tersampir di pundak. Mereka
pun berlalu untuk melaksanakan sembahyang maghrib di surau kampung.
Tasikmalaya, 07
April 2015
KETERANGAN
Eneng : panggilan sayang seorang suami
terhadap istri. Panggilan untuk adik perempuan
Khodimah : pelayan, pembantu (b. arab)
Kamana wae atuh : kemana aja
Piraku : masa
Akang : kakak, panggilan seorang istri
untuk suami
Ujang : panggilan saying untuk anak
lelaki
Kabogoh : kekasih
Khitbah : lamaran (b. arab)
Ana uhibbuki fillah : aku mencintaimu karena Allah
Akhi
: saudara /untuk lelaki (arab)
No comments:
Post a Comment