10 Jan 2015

Nurani yang Terkoyak >>> Part 01


#01
Pagi masih perawan ketika Nurani mengemasi bekal di bakulnya. Nasi timbel dan sambal terasi telah ia masukan ke dalam bakul beranyam bambu. Lengkap  dengan ikan asin yng kemarin sore ia beli di pasar rabu. Bagi Nurani dan kedua adiknya, ikan asin sudah termasuk lauk yang istimewa dibanding dengan sambal terasi yang biasa mereka temui di saat sarapan dan makan malam. Kadang kala tiada makan siang jika memang persediaan beras tidak memungkinkan. Setidaknya Nurani berjaga-jaga-jangan sampai beras habis bukan pada waktunya.
Bagaimana tidak, Nurani tak pernah memagang uang lebih atau boleh dikatakan cukup. Nurani harus pintar-pintar menggunakan uang hasil jerih payahnya bekerja seharian disawah supaya cukup untuk  seminggu. Ia harus mempunyai taksiran yang tepat. Berapa kilogram beras bakal ia habiskan dalam seminggu. Maka ia akan membeli beras  ketika jatuh tempo mendapatkan upah dari Tuan Samsuri, tuan tanah dimana dikebunnya Nurani bekerja.
Ya, Nurani bekerja sebagai buruh rambet di sawah Tuan Samsuri.Dan ia diupah seminggu sekali sebagai imbalan karena telah mengurus sawah dan kebun-kebun Tuan Samsuri yang luasnya hektaran di kampungnya. Dan pagi ini pun Nurani bersiap-siap untuk berangkat ke salahsatu swah milik Tuan  Samsuri.
Setelah semua pekerjaan dapur selesai Nurani memulai aktifitas dengan membereskan rumah kecilnya. Masih sempat ia membangunkan Arti untuk salat subuh. Ia mengoyang-goyangkan tubuh adik pertamanya itu hingga menggeliat dengan malas.
“Ayo bangun! Salat jangan selalu terlambat.”seru Nurani sembari membuka kedua daun jendela kamar lebar-lebar. Serta merta hawa sejuk terhirup rangga hidungnya. Sesaat kemudian Nurani menolehkan kepala, didapatinya Arti masih mendengkur halus. Iamenggelengkan kepala dan sejurus kemudian membuka selimut tipis kusam yang menutupi tubuh mungil adiknya,”Ayo, masa kalah sama si Dani. Dia sudah bangun dari tadi.”
Mau tak mau Arti bangun dengan berjalan sempoyongan. Mungkin rasa kantuk masih merajam matanya. Sementara  Nurani kembali berbenah di kamar. Ia melipat kasur tipis dan kumal yang biasa digunakan unutk tidur dia dan adik-adiknya.
Semasa Emak dan Bapak amsih hidup, mereka berdua tidur di tikar demi anak-anaknya. Walaupun Nurani dan kedua adiknya tidak pernah memaksa, tetapi emak selalu menyuruhnya untuk tidur di kasur kumal itu.
Tapi semenjak Emak sakit, Nurani selalu mengkhususkan kasur kumal itu unutk tempat berbaring tubuh ringkih Emaknya. Itu terjadi setahun setelah kematian Bapak akibat penyakit stroke yang telah lama dideritanya. Kematian Bapak begitu cepat secepat angin berhembus.  Disaat ketidak siapan Nurani akan arti dari kehilangan, ia berharap kepada emaknya. Ya, sisa-sisa harapan itu bersemi setiap melihat emaknya, setiap mendengar nasihat emaknya dan tentu saja Nurani percaya bahwa ada asa yang begitu besar di dada emaknya. Asa untuk bisa membahagiakan anak-anaknya yang yatim  setelah kepergian bapaknya. Itu bisa Nurani rasakan dari senyuman tulus yang selalu menghiasi bibir emak. Sekalipun gurat-gurat lelah begitu kentara di wajah emak.
Nurani tak pernah menginginkan kehilangan untuk yan g kedua kalinya. Tapi tetap saja kehilangan merupakan sebuah simfoni dari perputaran kehidupan manusia itu sendiri. Sama seperti berputarnya bumi dalam rotasi. Pun begitu dengan kematian emaknya. Emak meninggal setahun setelah kematian Bapak, dan Nurani tak pernah tahu penyakit apa yang  diderita Emak sebelum kematiannya. Yang ia tahu Emak batuk-batuk dan demam . Dan batuknya akan semain menjadi bila malam tiba. Kalau sudah begitu Nurani akan setia menunggui emak di atas kasur kumalnya. Suara batuk emak mendengkung bersama desiran angin yang membawa pesan kesunyian. Emak hanya bergumam bahwa ia hanya merasa kelelahan setelah bekerja seharian. Nurani tahu, emak hanya ingin membuat hatinya tentram.
Pagi harinya Nurani mendapati Emak sudah dalam keadaan pias. Awalnya Nurani beranggapan Emak masih nyenyak dalam tidurnya. Tapi ada sesuatu yang ganjal. Nurani tak mendapati desah nafas emak atau kembang kempis dadanya ketika tidur. Lagi pula emak selalu bangun sebelum dia dan adik-adiknya bangun.  Saat itulah Nurani menangis dengan kepiluan yang tak pernah ia duga.  Memang, musibah selalu datang tak terduga. Tapi kadang kita tak pernah siap untuk menghadapi kedatangannya.
                                                                      *****
Nurani berkaca-kaca. Ia berusaha membendung semua kenangan yang selalu membawa sinyal kepiluan di dadanya. Serta merta ia melipat kasur  bekas tidur Arti. Kemudian kembali ke belakang untuk mencuci baju-baju yang kotor.
Ketika ia melewati dapur, didapatinya Dani, adik keduanya tengah berjongkok di depan tungku. Kebiasaan Dani di setiap pagi untuk mengusir hawa dingin.
“Nanti jangan lupa mengambil beras di warung Nyi Hajah jang.”seru Nurani kepada Dani.
Dani mengangguk.” Ya! Pagi juga bisa. Sekolah kan pere.”
“Pere?”
“Hari waisak. Di kalender merah”
Nurani hanya mengangguk. Ia tak pernah tahu dan tak pernah peduli dengan tanggal. Baginya semua hari sama saja. Dimulai dari bangun tidur, rutinitas pagi di rumah, berangkat ke sawah, pulang menjelang sore hingga tidur kembali adalah rutinitas yang sama bagi Nurani. Tak ada yang berubah dan tak ada yang istimewa. Lagipula, tak ada kalender yang tergantung di dinding rumah kecilnya. Yang Nurani tahu hanya pergantian hari dan jam. Itu saja.
Nurani memunguti baju yang teronggok di sudut ruangan dan beranjak menuju sungai yang terletak tak jauh dari rumah panggungnya. Masih punya waktu satu jam lamanya sebelum ia mulai merambet di sawah seperti biasa.
                                                                           ****
Keringat masih belum kering di tubuhnya. Peluh berleleran di dahinya. Sementara kedua kakinya masih belepotan lumpur sawah. Nurani baru saja menyelesaikan dua petak sawah.  Menyiangi rumput-rumput liar di sekitar padi yang baru  ditanam seminggu yang lalu. Selain itu ia juga harus membersihkan keong emas yang memakan daun-daun padi. Ia beranjak ke selokan kecil yang mengalir di pinggir saung. Membersihkan kakinya hingga betis dan membasuh mukanya yang kemerah-merahan karena terpapar panas mentari. Beberapa saat lamanya ia sudah duduk di palupuh saung dan membuka bekal timbel nasi lengkap dengan terasi dan daun singkong rebus.
Nurani baru akan membuka bekalnya ketika tiba-tiba Arti datang menyusulnya ke sawah.
“Euceu! Euceu!”sahutnya tergopoh-gopoh menghampiri Nurani.
“Ada apa?’ Tanya Nurani keheranan. Tak biasanya Arti menyusulnya. Apalagi satu jam lagi ia akan segera pulang. Pasti ada hal yang begitu penting atau__’
Adik perempuannya itu hanya tersenyum simpul. Kini ia sudah duduk di samping kakaknya.
“Ada apa Arti?”
Arti tersenyum misterius.”Pokoknya Teteh harus pulang sekarang juga.”
“Memangnya da apa. Ngomong atuh ke teteh.”
“Pokoknya ada kejutan.” Ujar Arti masih dengan senyum lesung pipitnya. Nurani mengerutkan keningnya. “Teteh sejam lagi baru akan selesai. Apa susahnya ngomong.”
“Ini kan kejutan.”
“Tiap hari juga kejutan mah ada. Kejutan harga bawang dan beras yang selalu naik”
“Ya sudah, pokoknya kalau Teteh sudah selesai cepat pulang yah, arti tunggu!”pungkas Arti dan ngeloyor pergi.
Nurani masih tertegun. Jelas dia dibuat penasaran dengan kedatangan adiknya. Apa sebenarnya kejutan yang dimaksud Arti.
Nurani sempat berubah pikiran untuk meyudahi pekerjaannya. Tapi ia tak berani untuk melakukan hal itu. Itu sama saja dengan melakukan korupsi. Korupsi waktu. Gaji akan ia terima seperti biasanya akan tetapi Tuan Samsuri tak pernah tahu ia bekerja tidak sesuai dengan kesepakatan waktu. Nurani menghela nafas dan tersenyum.
Gusti Allah Maha Tahu apa yang diperbuat hambanya. Sawah ini amanah buatku. Allah mengujiku, apakah aku akan tergoda dengan kejutan itu.
Nurani tak ingin menunggu lebih lama lagi. Kakinya menginjak lumpur yang pejal dan mulai menyiangi satu petak sawah yang masih tersisa untuk digarap hari ini. Sementara matahari semakin meninggi di atas kepalanya.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment