Seminggu kemudian.
Keluarga ustadzah aminah sudah bersiap-siap untuk segera
kembali berangkat ke Jakarta setelah menjalani liburan tujuh hari di kampong
nur.
Setidaknya, banyak pengalaman yang mereka dapaatkan selama
tujuh hari tersebut. Hari pertama di kampong nur, wafa dan ustadzah aminah ikut
tandur padi dengan bibi santi di sawahnya yang hanya dua petak sawah. Mereka
belajar bagaimana menanam padi yang baik.ternyata gampang-gampang susah menanam
padi yang berumur dua minggu di penyemaian.
Tak ketinggalan dengan arif. Dia ikut para lelaki kampong
berburu sarang lebah madu ke perbukitan di sekitar kampong. Lelaki itu tanpak
sangat antusias ketika ia diberi satu ember penuh sarang lebah yang penuh madu
oleh atang, kenalan barunya yang tetangga paman salim. Selain itu, arif juga
ikut mencangkul bedengan tanah untuk menanam ubi jalar di kebun paman salim.
Yang tak kalah seru adalah wafa. Ia ikut dani untuk
memancing di sungai yang berair jernih. Banyak ikan lele dan betok yang ia
dapatkan. Selain itu, ia ikut ngurek belut di pinggiran sawah. Dan malam hari
di hari kedua mereka menggoreng hasil tangkapan dani dan menghidangkannya untuk
makan malam.
Ibu ustadzah aminah dan arif sudah merampungkan mengepak
barang-barang mereka. Tak ketinggalan oleh-oleh dari kampong berupa singkong,
satu tandan pisang kapas, beberapa buah nanas dan jagung. Kemdian mereka berkumpul dan berpamitan
kepada si tuan rumah.
Nur menyeka matanya yang berair. Rasanya seperti perpisahan
yang pertama kali ketika ia dibawa oleh tante viola. Bedanya, ia dulu masih
merasa ragu harus meninggalkan kampong.tapi justru sekarang ia merasa menjadi
keharusan untuk berangkat bersama ustadzah aminah. Ia akan menjadi pembantu
rumah tangga di ustadzah aminah. Oh tidak, ia tak ubahnya seperti anak angkat bagi
ustadzah aminah. Ustadzah aminah sangat menyayangi nur dan tak pernah merasa
tidak puas dengan apa yang dikerjakan nur. Jadi, justru nur merasa bahagia bisa
bersama dengan keluarga terseabut walaupun di sisi lain, ia harus bersedih
dengan perpisahannya yang kedua kalinya. Tapi kali ini ia tak merasa sesedih
dulu.
“sekolah yang rajin ya ti. Kalau kamu kangen sama teteh,
kamu bisa telpon teteh.”ujar nur dengan mata yang berkaca-kaca. Tangannya
menggenggam tangan arti yang hitam manis.
Kemarin, nur sudah memberikan handphone kepada bibi santi supaya
memudahkan berkomunikasi dengannya.
Arti mengangguk dan kembali memeluk tetehnya dengan erat.
Dani hanya tersenyum tipis. Ia memang tegas. Dan memang
seharusnya seorang lelaki tidak cengeng ketika terjadi perpisahan. Seperti
biasa, bibi santi dan paman salim member nur beberapa wejangan layaknya para
orang tua yang melepas pengembaraan anaknya ke kota.
*****
Dua bulan kemudian.
Saat itu nur sedang meniram tanaman-tanaman hias de halaman
depan ketika sebuah mobil putih mengkilat terparkir di depan gerbang. Nur
menghentikan aktifitasnya dan memastikan siapa yang dating. Dari mobil itu
keluar seorang lelaki dengan tubuh yang atletis tinggi besarnya dan seorang
wanita muda yang menggendong anak berumur tiga tahun. Nur memicingkan matanya.
Lelaki bertubuh atletis itu adalah yadi. Sementara wanita muda dan bocah lelaki
itu, baru pertama ini ia lihat.
Yadi dan kedua orang yang masih asing di mata nur itu
melangkah dan masuk ke dalam pelataran halaman rumah.
“assalamualaikum.”ujar
yadi memberi salam. Seperti biasa senyumnya merekah. Hal itu membuar nur
kembali berdebar.
“waalikum salam.”jawab nur dan membalas senyumnya.”bagaimana
kabarnya yadi?”
Yadi kembali tersenyum.”Alhamdulillah baik. Kamu sendiri
bagaimana.”
Nur mengangguk.”baik. ayo silakan masuk.”kali ini nur
melirik wanita muda cantik yang berdiri di samping yadi dan tersenyum
kepadanya.
Yadi masuk diikuti wanita muda dan anak lelaki yang berusia
tiga tahun itu. Nur yakin bahwa wanita itu adalah istri yadi, dan anak lelaki
berumur tiga tahun itu adalah anak yadi. Tanpa ia sadari, ada rasa cemburu yang
menjalari hatinya. Ada luka yang kembali menganga. Tapi nur mencoba menetralisir
semua perasaan itu dengan istighfar dan istighfar yang tak berkesudahan.
“ustadzah aminahnya ada nur?”Tanya yadi.tanpa disuruh lagi,
Ia duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Yadi sudah tidak canggung
lagi dengan keluarga ustadzah aminah.
“barusan baru keluar sama wafa dan arif. Memangnya ada apa?”
Kali ini wanita yang duduk di samping yadi buka suara.”kami
mau mengadakan syukuran pernikahan kami yang keempat tahunnya. Jadi, kami
mengundang ibu ustadzah untuk mengisi pengajian dalam acara tersebut.”
Nur mengangguk pelan. Benar apa yang dikatakan yadi beberapa
waktu yang lalu. Yadi dan wanita itu sudah akur dan menjalani kehidupan rumah
tangga dengan bahagia. “insya allah akan saya sampaikan nanti ke ibu
ustadzah.”ujar nur dan bangkit dari duduknya.”sebentar, saya ambilkan minum
dulu. Mau kopi atau the?”
“nggak usah repot-repot nur. Kami ada urusan yang lain.
Jadi, harus berangkat lagi.” Ujar yadi dan berdiri dari duduknya.
“yakin nih? Tidak minum dulu?”
Wanita muda itu tersenyum.”iya, kami harus segera
berangkat.” Ia meraih anak lelaki berumur tiga tahun itu dan menggendongnya.
“assalamualaikum.” Ujar mereka serempak dan berlalu dari
ruang tamu.
****
Suatu sore yang mendung dan berkabut.
“nur, ini ada kartu undangan untuk kamu.”ujar arif yang
tiba-tiba muncul dari ruang depan ketika nur sedang asyik mengulek sambal di
atas ulekan batu.
Nur mengerutkan keningnya.”undangan? undangan apaan?”
“undangan pernikahan.”jawab arif. Ia melihat sekilas sampul
undangan.”dari ninon.”
Nur terbelalak kaget.”ninon? ninon mau nikah?”
Arif malah merasa heran melihat keterkejutan nur.”kenapa
memangnya? Kamu merasa iri ya dilangkahi temanmu.”
Nur cemberut dan merebut kartu undangan itu dari tangan
arif.”sotoy banget sih kamu!” ia membawa undangan itu ke pojok ruangan.
Sementara arif cengengesan. Arif memang tidak secanggung dulu ketika pertama
kali nur mengenalnya. Sekarang, ia lebih terbuka. Bahkan suka melontarkan
guyonan-guyonan yang segar. Setidaknya,
nur salah mengira bahwa lelaki itu adalah lelaki pendiam saat ia pertama kali
mengenalnya.
“ini satu lagi.”seru arif sembari membuka tangannya yang
sedari tadi ia sembunyikan.”kalau ini surat khusus dari ninon.”
Tanpa ba bi bu, nur segera mengambil surat itu dan membuka
sampulnya.
“heh rif, kamu ke luar sana. Nggak baik berdua dengan wanita
yang bukan mahram!”tiba-tiba bibi datang dari ruang tengah. Di tangannya
terdapat sapu dan pengki; bersiap-siap untuk membersihkan semua ruangan dapur.
Bibi tidak memanggil arif dengan sebutan den atau wafa dengan sebutan non,
sebagaimana kebiasaan para pembantu kepada anak majikannya. Lagi pula, mereka
berdua tidak keberatan dengan panggilan langsung. Dan mereka sangat menghormati
bibi. Tak pernah sekalipun mereka meminta hal-hal yang tidak sanggup bibi
kerjakan. Mereka juga tidak pernah membentak bibi ketika merasa tidak puas
dengan apa yang mereka inginkan. Baik arif maupun wafa sama-sama menyayangi
pembantu mereka. Nur pun merasakan hal yang sama.
Wajah nur merona merah ketika mendengar omelan bibi. Hati
kecilnya merasa tersentil dan ia tahu, lelaki dengan wanita yang bukan mahram
memang tidak baik bedua di tempat yang sama. Itu yang ia tahu dari nasihat
ustadzah aminah diantara nasihat-nasihat yang lain yang pernah ia dengar. Baik
dari pengajian yang ia ikuti –kadang ia ikut kemana ustadzah aminah pergi
layaknya seorang asisten- atau nasihat langsung ibu ustadzah aminah kepada
dirinya.
“kalau kalian sudah mahram, baru boleh berduaan.”ujar bibi
dengan enteng. Rupanya celotehannya belum selesai.
Arif tersenyum dari ambang pintu. Ia menghentikan langkahnya
demi mendengar kata-kata pembantunya barusan.
“apa bi, coba ulangi sekali lagi.”
Bibi tersenyum dan mengulangi kata-katanya yang tadi ia
lontarkan. Arif tersenyum lebar dan berkata,”insya allah bi, doakan saja.”
Nur tercekat kaget. Ia hamper menjatuhkan kartu undangan
yang ia pegang sedari tadi.
*****
Untuk sahabatku,
Nurani
Nur, kangen rasanya
ingin mengetahui bagaimana perkembanganmu di sana. aku sempat merasa khawatir
dengan keadaanmu. Tapi aku cukup merasa lega ketika mengetahui bahwa kau dibawa
yadi dan bisa tinggal untuk sementara di rumah seorang ustadzah. Paling tidak,
kau bisa aman dari gangguan tante viola.
Dan aku semakin merasa
senang mendengar kabr bahwa tante viola telah ditangkap dan dijebloskan ke
penjara.
Nur,
Dalam waktu dekat ini
aku akan menikah dengan malaikat penyelamat hidupku. Aku akan sangat bahagia
untuk bisa mendampingi fernandes yang telah berbuat banyak untuk hidupku.
Dialah harapanku dan dia yang selalu menghiasi asa demi asa yang tak pernah
pudar.
Kau tahu nur? Seminggu
setelah aku pulang. Dia menyusulku. Sebelumnya dia sudah tahu alamat rumahku.
Dan fernandes dengan gentlemen melamarku di hadapan kedua orang tuaku. Ibuku
merasa keberatan karena dia seorang katolik. Tapi ayahku brsikap masa bodoh
dengan status agama calon menantunya. Jelas sikapku sama dengan ayah. Aku tak
setuju dengan penolakan ibu.
Setidaknya aku merasa
lega, karena yang menolak ibuku (walau aku tidak bisa memungkiri bahwa aku
merasa sedih). Tapi setidaknya, ayahku bisa menjadi wali untuk pernikahanku
nanti.
Nur, aku juga sangat
berharap dukunganmu. Aku sangat mencintai fernandes seperti aku mencintai
hidupku sendiri. Aku merasa takut kehilangan dia. Sungguh tidak adil jika
seandainya aku harus menghapus cinta yang sudah tumbuh itu dengan alasan beda
agama. Kenapa tidak? Toh kita saling mencintai satu sama lain. Lagi pula
fernandes itu orangnya moderat kok.
Syukurlah, tak lama
ibu menyetujui setelah dibujuk aku dan ayah. Lagi pula, mana mungkin ia akan
bertahan dengan egonya, sementara fernandes itu seorang lelaki yang sangat
sopan dan santun dalam bertindak.
Rencananya, seminggu
lagi kami akan mengadakan pesta pernikahan di gereja. Aku berharap kamu bisa
datang ke pesta pernikahanku nur.
Sahabatmu yang selalu
merindukanmu
Ninon
Nur menghela nafas. Bagaimana mungkin ninon bisa menikah
dengan seorang katolik. Lagi pula, nur baru tahu bahwa fernandes adalah seorang
non-muslim. Apakah ninon sudah terbutakan oleh cinta. Hingga rela menggadaikan
agamanya untuk cinta yang ia anggap suci itu?
Malamnya, nur menanyakan perihal itu kepada ustadzah aminah.
Ustadzah aminah menjelaskan kepada nur, bahwa seorang muslimah itu haram
menikah dengen seorang non-muslim.
“pernikahan beda agama itu haram hukumnya. Ini sudah
dijelaskan secara gamblang baik di al-qur’an maupun di hadits. Para ulama pun
telah mufakat dengan keharamannya.”
nur menghela nafas. Ia benar-benar menyayangkan keputusan ninon untuk menikah dengan fernandes.
nur menghela nafas. Ia benar-benar menyayangkan keputusan ninon untuk menikah dengan fernandes.
“tapi saya diundang ke pesta pernikahannya di gereja bu.
Apakah saya boleh masuk ke gereja untuk menghadiri upacara pernikahannya?”Tanya
nur.
Ibu ustadzah terdiam sejenak.”jelas itu hal yang makruh atau
dibenci oleh allah swt. Kalau memang kamu ingin menghadiri pesta pernikahannya,
lebih baik sih tidak hadir. Jika memang kamu merasa tidak enak menjelaskannya,
kamu bisa mencari alasan untuk itu.”
Nur kembali menghela nafas. Ia merasa prihatin dengan
pernikahan ninon dengan fernandes. Tapi nur juga sadar, bahwa ninon sudah
terlanjur mencintai fernandes tanpa ia bayangkan, sebesar apa cintanya itu. Nur
juga tak yakin, jika seandainya ia menjadi ninon, ia akan bisa mengelak dari
kenyataan itu.
Ah ninon, aku hanya
berharap yang terbaik untukmu. Aku tak bisa mencelamu Karena pernikahan itu.
Tapi aku akan selalu berdoa, gusti allah akan memberimu petunjuk ke jalan yang
benar dan terang benderang.
Lima bulan kemudian….
Keringat dingin membanjiri kening dan leher nur. Ia duduk
dengan perasaan tak nyaman. Ustadzah aminah duduk di sampingnya dengan
tatapannya yang teduh. Tapi tatapan itu tidak mampu membuat hatinya tenang.
Justru tatapan itu yang membuatnya gundah. Hatinya bergemuruh tidak karuan.
“bagaimana nur?”Tanya ustadzah aminah dengan nada yang
pelan.
Bibir nur bergetar. Ia tak mampu mengangkat kepalanya dan
menatap mata ustadzah aminah.”saya tidak pantas untuk menjadi pendamping arif
bu.”
“kenapa?”Tanya ustadzah aminah dengan tatapan yang tidak
lepas. Bagai induk elang yang mengawasi kawanan anak ayam.
“saya ini orang bodoh. Tidak sepintar dan sealim mas arif.
Mana mungkin dia mau beristrikan gadis seperti saya.”
Ustadzah aminah menghela nafas panjang.”kamu terlalu
merendahkan dirimu nur. Tentunya, ibu memintamu karena ibu tahu siapa kamu.
Bagaimana kepribadianmu.”
“tapi masa lalu saya kelam bu. Bahkan mungkin arif juga tahu
bahwa aku mantan seorang__”
Buru-buru ustadzah aminah menutup mulut nur dengan
tangannya.”jangan kamu ungkit masa lalumu nur. Yang lalu sudahlah berlalu.
Allah juga maha tahu apa yang telah menimpamu. Allah juga maha pengampun bagi
hambanya yang bertobat. Tidak pantas seorang hamba brputus asa hanya karena
dosa yang pernah ia perbuat dalam hidupnya.”
Nur menghela nafas. Kemudian diam.
Ustadzah aminah juga menghela nafas.”tapi….bagaimana pun
juga, itu semua kembali kepada dirimu. Jika kamu memang mau menjadi menantu
ibu, itu adalah anugerah terindah buat ibu.”
Kali ini nur menatap mata ustadzah aminah.”ibu yakin dengan
apa yang ibu ucapkan?”
“jika kamu masih ragu, kamu bisa tanyakan langsung pada
arif. Dia sangat mencintaimu dan berharap kamu bisa menemaninya melanjutkan
study di turki untuk program S2-nya.”
Mata nur berkaca-kaca. Ia tak mampu berkata-kata.
“ibu tak ingin mengintervensimu. Jika kamu tidak siap
menikah sekarang, arif bisa menunggu. Kalau kamu punya lelaki idaman yang lain,
arif akan leghowo dan akan menikah dengan gadis lain.”
Nur kembali menatap
ustadzah aminah.”kalau memang arif bisa menerima kekuarangan saya dan tidak
menyesal….saya siap untuk menjadi__”
Belum selesai nur mengucapkan kata-katanya ustadzah aminah
sudah memeluknya dengan hangat. Nur mengangis dalam pelukannya. Ini benar-benar
tak pernah ia duga sebelumnya. Ia tak pernah menyangka hal ini bakalan terjadi
dalam hidupnya. Bagaimana mungkin ustadzah aminah memintanya untuk menjadi
menantunya dengan menikah dengan arif yang lebih muda setahun darinya.
“minggu depan kita akan berangkat ke kampong untuk bertemu
paman dan bibi kamu.”ujar ustadzah aminah melepaskan pelukannya. Ia menyeka air
matanya. Nur hanya terdiam. Dalam hatinya, diam-diam merekah rasa bahagia yang
membuncah.
Tuhan,
Ini benar-benar
seperti mimpi yang datang di siang hari. Ini tak pernah ada dalam anganku.
Datang secara tiba-tiba dan tanpa terduga sebelumnya
No comments:
Post a Comment