20 Dec 2023

Perempuan yang Dibuat Kesal Karena Buku

 


Ketika aku kembali ke rumah yang telah menyisakan luka itu, aku mendapati buku-bukuku telah hilang. Entah kemana. Aku tahu persis bahwa sebelum aku pulang ke rumah Emak, tiga tumpukan besar buku milikku masih teronggok di sudut kamar. Belum termasuk puluhan buku yang kusimpan di buffet. 


“Kemana buku-bukuku, Ma?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya yang pernah menjadi mertuaku tiga bulan yang lalu. 

Perempuan yang kupanggil Mak itu hanya mendengkus pelan dan menjawab dengan suara pelan yang lebih mirip dengan suara bisikan, “Pekan kemarin Yarmin menjualnya ke Saprudin.”


“Siapa pula Saprudin?”


“Tukang loak di kampung ini,” jawab Mama dengan ekspresi datar. Acuh tak acuh. 


“Dijual?” tanyaku dengan jantung yang serasa mencelos. Aku tidak bisa membayangkan nasib buruk ratusan buku milikku. Bagaimana mungkin Yarmin seberani itu? Dia tahu persis bahwa aku memiliki hobi mengoleksi buku. Dia bahkan lebih dari sekedar tahu bahwa aku sangat mencintai koleksi buku itu. Hampir setiap pekan dia selalu melihat bagaimana aku membersihkan debu-debu dari sampulnya, menata ulang letaknya dan bahkan menaburkan beberapa bubuk kapur barus di setiap sudut kardus karena tak ada rak buku yang mampu kubeli untuk rumah bagi koleksi bukuku itu. 


Pernah suatu hari aku meminta Yarmin untuk membelikanku rak kayu untuk buku-buku malang itu. Tanpa rak, buku itu hanya akan menjadi santapan rayap yang seringkali usil memanjat dan membuat jalur di bawah lantai kayu rumah Mama. Dia bilang, ‘Pemborosan! Untuk apa kau beli rak. Lebih berguna jika uangnya kita belikan beras sehingga membuat perut keluarga kita kenyang.’


Saat itu aku mendecak tapi berusaha untuk sabar. Ingin sekali aku menimpali kalimat Yarmin dengan kalimat begini; ‘Buat apa beli rokok dan kopi. Uangnya lebih baik dibelikan beras saja. Rokok itu pemborosan.’ Jika kalimat itu terlontar dari mulutku, sudah pasti Yarmin marah besar. Jadi aku lebih memilih diam saja. 


Bukan sekali ini saja Yarmin menganggapku boros hanya perkara buku. Setiap kali aku membeli buku baru, dia menampakan muka tak senang seakan-akan aku baru saja melakukan dosa besar. 


“Tidak puaskah kau membeli buku, Yosi? Mau sampai kapan kau menumpuk kertas-kertas tak berguna itu?’


Aku lagi-lagi mendengkus dan menyimpan kejengkelan itu di dalam hati. Jika aku meladeni omongannya, sudah barang tentu urusan akan semakin panjang. Urusan semakin panjang yang kumaksud adalah pertengkaran diantara aku dan Yarmin, ditambah oleh pembelaan Mama kepada anak lelakinya. Ya, Mama tidak pernah membela menantunya yang tak tahu diuntung ini. 


Aku maklum saja jika Yarmin bicara tentang pemborosan ketika aku membeli buku. Itu karena otaknya kosong melompong dan dia tidak akan pernah paham tentang pentingnya buku bagi kehidupanku. Dia barangkali masa bodoh jika aku mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia yang membuka banyak sumber wawasan untuk pembacanya. 

Aku pernah mengatakan itu. Dan dia bilang begini, ‘Alaah…kalau saja buku itu memberikan keuntungan, baru kau bicara. Apa bedanya aku punya istri yang suka baca dengan istri yang tidak suka baca. Rasanya sama saja.’


Jadi, tolong maklumi aku jika aku memilih untuk diam karena aku tidak ingin mencari keributan.


Tapi, saat ini, ketika aku melihat ratusan koleksi buku punyaku lenyap begitu saja, aku tiba-tiba saja merasa perlu untuk mencari keributan. Ribut dengan mantan suami dan mertua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ratusan buku yang telah mereka lenyapkan. 


“Kenapa kalian jual buku-bukuku?” tanyaku dengan napas yang mulai memburu. Aku pada mulanya khawatir terkena serangan jantung saking kagetnya mendengar kabar buruk itu.

Mantan ibu mertuaku hanya mengerutkan kening. “Lha, justru lebih berguna dijual, kan Yosi. Ada duitnya. Daripada numpuk begitu saja. Masih untung juga tidak dimakan rayap.”


“Memangnya itu punya kalian. Itu barang-barang pribadiku. Paham kau!?”


“Hei, sopanlah kalau bicara. Kau ini macam tidak pernah diajari tatakrama saja. Beruntung saja anakku pisah sama kamu.”


“Jangan sok ngajarin aku btentang tatakrama. Mama menjual buku koleksiku yang jumlahnya 345 itu saja jauh dari tatakrama. Macam punya kalian saja,” balasku sengit. Aku mulai bisa merasakan panas di kedua bola mataku.

Syukurlah, sekonyong-konyong, Yarmin datang dengan keringat yang masih berleleran di wajah dan dadanya. Seperti biasa, waktu selepas beduk dzuhur begini dia akan pulang ke rumah untuk makan siang dan nanti akan melanjutkan pekerjaannya sebagai kuli bangunan selepas pukul dua siang. 


“Ada apa kau kemari?” tanyanya dengan tatapan kurang senang.


“Untuk membawa pulang bukuku yang belum sempat kubawa. Tapi ternyata kalian sudah menjualnya tanpa sepengetahuan diriku. Berapa kau jual, Yarmin?”


“Empat ribu satu kilo.”


Rasa-rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Jantungku berhenti berdetak dan mataku melotot. “Empat ribu per kilo? Setan betul kau ini!”


Aku bisa mengkalkulasikan di benakku bahwa satu kilo buku kurang lebih ada tiga sampai empat jilid buku. Satu buku paling murah kubeli dengan harga dua puluh ribu. Artinya, buku yang kutukar dengan uang minimal enam puluh ribu, ditukar kembali oleh Yarmin ke tukang loak dengan harga empat ribu. Benar-benar biadab!


“Sekarang, tolong tunjukan kepadaku dimana rumah Sarpudin itu.”


“Saprudin, bukan Sarpudin,” ralat Mama sembari mengunyah kue apemnya.


“Terserahlah. Aku hanya ingin buku-bukuku kembali.


“Sudah seminggu yang lalu aku menjualnya. Jika kau ingin, aku akan mengembalikan uangnya kepadamu. Kemarin buku itu ada seberat 60 kilo. Aku dapat dua ratus empat puluh ribu. Nanti kalau aku sudah dapat upah, kukasih uang itu kepadamu.” Rupanya si Yarmin ini merasa bersalah pula dia. Dia tidak paham betapa aku tidak butuh uang itu. Aku hanya ingin buku-bukuku kembali.


“Masa bodoh dengan uang itu. Aku ingin buku-bukuku kembali. Tunjukan dimana rumah si Sarpudin itu.”


“Saprudin!”


“Terserahlah!”


Aku benar-benar sakit hati. Jika aku berniat menjual ratusan buku itu dengan harga wajar kepada kolektor buku dan kepada orang-orang yang menghargai buku dengan layak, aku bisa mendapatkan nominal uang berjuta-juta jumlahnya. 


Maka, sore itu aku pun mendatangi rumah Sarpudin dan berharap buku-buku koleksiku masih bersemayam di sana. Saat itu aku memasuki halaman rumah yang sangat luas. Halaman luas itu dipenuhi oleh rongsokan yang dikelompokan sesuai dengan jenisnya yang beraneka ragam dan rupa. Di dekat gerbang masuk, aku menemukan tumpukan barang bekas berupa gelas minuman instan dan segala jenis plastik. Di sebelahnya ada tumpukan kardus, tumpukan besi-besi tua dan tumpukan kertas dan buku. Hatiku mencelos karena aku tidak menemukan buku-buku itu di sana. Ah, barangkali bukuku masih di sini dan ditempatkan entah dimana. 


“Aku ingin bertemu Saprudin,” ujarku kepada seorang pekerja yang tengah memilah beberapa besi tua.


“Teteh siapa? Ada perlu apa? Apa sebelumnya sudah ada janji?” 


Aku mendecak tak sabar. Macam di sebuah korporat besar saja bocah ini sampai bertanya begitu. Dia pikir perusahaan rongsokan ini adalah perusahan bonafide? 


“Mari saya antar,” akhirnya dia menagkap rasa tidak sukaku dan aku mengekorinya menuju teras belakang. Di sana kutemui seorang lelaki bertubuh tambun yang disebut Saprudin itu. 

“Ada perlu apa, Teh?”


“Saya ingin mengambil kembali buku-buku saya yang dijual Yarmin pekan lalu. Biar saya ganti uangnya,” jelasku tanpa basa basi.


“Waduh, maaf, Teh. Buku-buku si Yarmin sudah saya setor ke kota kemarin,” jelas Saprudin dengan menggaruk kepalanya yang setengah botak. Pada detik itu pula aku serasa ingin mati saja.


Cibungbulang, 20 Desember 2023

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment