20 Dec 2023

Cerpen: Teluh



Dahulu, kampung kami pernah digegerkan oleh isu teluh yang merebak bagai wabah penyakit yang tak bisa dibendung. Kabar tak mengenakan itu mengatakan bahwa para pengamal teluh konon bisa menyantet siapa pun untuk menaikan level ilmu hitam mereka. Semakin banyak korban yang berhasil mereka bunuh, semakin tinggi ilmu hitam yang mereka kuasai. Menurut Boye, sahabatku, korban teluh itu semacam ujian caturwulan untuk anak sekolah sebagai tolok ukur penilaian dalam rapot. 


Sebenarnya aku tidak tahu pasti dari mana desas desus itu bermula, siapa yang pertama kali menghembuskannya dan bagaimana kabar burung itu menyebar bak wabah kolera. Hanya saja yang aku tahu, semua orang percaya berita itu. Semua orang khawatir akan menjadi korban dari teluh yang menyebarkan mantra hitamnya lewat pandangan dengki dan jahat. Mantra itu konon dihembuskan lewat asap dupa dan boneka kain perca. 


Kabar burung itu bukan hanya tentang teluh yang konon bisa merenggut nyawa siapa pun tanpa pandang bulu, tapi juga siapa dalang dari ilmu hitam itu. Siapa pelakunya. Awalnya itu menjadi misteri. Tapi kemudian semuanya cukup jelas. Semua telunjuk dan pandangan mata tertuju pada seorang yang dituduh sebagai pelakunya. 


"Ki Mahdi pelakunya," ujar seseorang diantara penduduk kampung kami kepada orang-orang yang ditemuinya. 


Orang-orang percaya. Sebagian bertanya karena mengandalkan logika. "Dari mana kamu mendapatkan kabar itu. Apa buktinya?"


"Buktinya semua anggota keluarganya mati. Sudah pasti ia telah menumbalkan semua anggota keluarganya supaya ilmu hitamnya semakin tinggi."


Kami semua tahu bahwa Ki Mahdi adalah seorang lelaki renta sebatang kara yang ditinggal mati semua anggota keluarganya. Istrinya mati karena asma di usia 40 tahun. Ketiga anaknya mati di usia yang masih belia. Itu yang aku dengar. 


Pada mulanya, kabar itu padam dengan sendirinya dan orang-orang sudah melupakan kabar yang tak jelas dari mana muasalnya. Bahkan sebagian berpikir itu hanyalah kabar yang mengada-ada. Penduduk kampung tahu betul bahwa Ki Mahdi adalah lelaki tua yang sangat ramah. Dia selalu menyapa siapa pun yang dia temui, murah senyum dan tak pernah sungkan menolong sesama. Meski banyak yang mengakui bahwa konon dia agak tertutup dan tidak pernah ikut tahlilan di masjid kampung. Orang ada yang bilang dia ikut aliran sesat. Tapi beberapa orang pernah dengan berani bertanya langsung kepada lelaki itu dan dia bilang begini, "Ah, kalian ini. Siapa yang bilang aku sesat. Aku masih percaya Gusti Allah."


Sebenarnya orang tidak memiliki masalah apa pun meski Ki Mahdi agak tertutup dan tidak pernah ikut kenduri tahlilan, selamatan dan sedekah bumi yang selalu diadakan secara rutin. Bagi penduduk kampung, itu masalah pribadi yang tidak perlu dipertanyakan lebih dalam.


Tapi hembusan kabar tak mengenakan itu itu kembali menguat ketika seorang pemuda desa mati secara mendadak setelah mengidap penyakit aneh. Tubuhnya melepuh seperti luka bakar tanpa tahu apa sebabnya. Tiba-tiba saja ada orang bilang itu ulah Ki Mahdi. Seminggu setelahnya, seorang perempuan muda mati ketika melahirkan anak pertamanya. Lagi-lagi orang-orang sepakat itu ulah Ki Mahdi.


Berminggu-minggu kabar itu menyebar dan mencengkeram penduduk kampung layaknya wabah yang dibawa angin musim. 


Di satu malam yang gigil, pintu rumah kami diketuk orang dari luar. Bapak yang tengah menelaah kitab Sulamun Taufik di atas tikar pandannya segera beranjak dan membuka pintu. Aku yang tengah membaca novel 'Senopati Pamungkas' di kamarku mengintip dari gorden karena ingin tahu siapa yang datang. 


Ketika kulihat wajah Ki Mahdi di ambang pintu, hatiku mencelos dan buku romaku meremang. Aku khawatir jika aku, bapak, emak atau bahkan adikku menjadi korban teluhnya. Seperti yang aku dengar dari gosip para tetangga.


Meski hatiku dicekam rasa takut, aku tetap merasa penasaran apa kiranya yang menjadi sebab lelaki tua itu datang ke rumah kami pada jam sebelas malam begini. 


'Saya berani bersumpah demi nama Gusti Allah bahwa saya tidak memiliki ilmu teluh, Ajengan. Demi Allah saya...'


'Iya. Saya paham, Ki. Saya juga tidak percaya hal itu. Hanya saja saya tidak bisa berbuat banyak. Saya bukan siapa-siapa di kampung ini. Saya bahkan tidak tahu siapa yang menyebarkan berita itu.'


'Rohali!' seru Ki Mahdi dengan gemetar. 'Saya pikir tak ada yang membenci saya dengan kebencian yang begitu besar selain Rohali. Dahulu dia tak menyukai saya karena saya dianggap merebut Partinah darinya. Padahal saya tidak tahu menahu bahwa dia menyukai Partinah bahkan saya tak tahu andai Partinah tidak mengatakan hal itu kepada saya. Lebih dari pada itu, dia membenci saya karena saya pernah mempertanyakan dana desa yang tidak pernah kami rasakan manfaatnya. Pertama kali istri saya meninggal dunia, desas desus bahwa saya menumbalkan istri saya sudah saya dengar. Dan sekarang berita busuk itu semakin menjadi.'


Ki Mahdi terisak di hadapan bapak. Aku yang setia mendengarkan percakapan itu dari balik tirai ikut menghela napas panjang. Aku bisa merasakan beban derita batin yang ditanggung lelaki renta itu. Sungguh malang nasibnya. Kali ini aku tidak lagi percaya soal kabar tak mengenakan itu. 


Bapak menghela napas panjang. 'Apa yang bisa saya lakukan untuk Ki Mahdi?'


'Tolong beritahukan warga apa pun yang Ajengan bisa bahwa saya tidak seburuk itu. Saya bukan pengamal teluh!'


Tiga hari kemudian, di khutbah jum'at yang jamaahnya hanya 8 orang itu, bapak menyampaikan khutbah tentang buruknya tuduhan dan fitnah tanpa disertai bukti. Aku pikir, khutbah jum'at yang hanya didengar segelintir orang tak ada artinya jika dibandingkan ratusan kepala keluarga di kampung kami. Pasalnya, mereka tak pernah shalat Jum'at. Mereka hanya ramai datang ke masjid ketika Ajengan mengadakan tahlilan dan kenduri. Mereka akan ramai datang jika sepulang dari masjid mereka menbawa besek berkat yang bisa mereka makan. 


Hingga pada satu malam yang mencekam, aku mendengar kabar rumah lelaki renta itu dibakar oleh masa. Rumah panggung yang beratap rumbia dan berdinding bilik bambu itu rata dengan tanah. Berubah menjadi abu dan puing hanya dalam waktu beberapa menit lamanya. Lidah-lidah api itu seakan menjadi defini dari kemarahan dan amuk yang datang tanpa diundang. 


Belakangan, aku mengetahui bahwa ada yang lebih mengerikan dari sekedar rumah panggung yang dilalap api. Kabar itu aku peroleh dari Boye, teman sebangku di kelasku yang selalu mengetahui tentang apa pun yang terjadi.


"Kau tahu, Husni. Sebelum rumahnya dibakar, Ki Mahdi diseret oleh penduduk kampung, dipukuli ramai-ramai dan kemaluannya dip0tong untuk menjadi santapan anjing-anjing lapar. Kudegar pula lubang telinga kanan lelaki malang itu ditusuk hingga tembus ke telinga kiri. 


Aku pening. Aku tidak tahu kenapa manusia bisa sebuas itu. 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment