27 Nov 2023

Gadis Penjaja Kue

 


1

Nia masih ingat hari yang kelam itu. Dalam benaknya, hari itu adalah hari dimana dia mendapati kesedihan yang paling besar dalam hidupnya. Saat itu pelajaran matematika. Seperti biasa, Bu Rohayati tengah menulis lima soal matematika di papan tulis untuk segera dikerjakan oleh Nia dan kawan-kawannya yang berjumlah dua puluh orang.

Tepat ketika Nia mulai mengerjakan soal pertama di buku tugasnya, pintu kelas diketuk dari luar. Tak berapa lama, tampaklah Pak Sarjono, Kepala sekolah yang disayangi anak-anak karena sikap welas asihnya. Pak Sarjono tampak berbisik kepada Bu Rohayati. Seisi kelas bisa melihat ada perubahan dari roman wajah bu Rohayati. Sejurus kemudian, Bu Rohayati menatap Nia dengan tatapan penuh arti.

Setelah itu, Pak Sarjono pamit undur diri. Bu Rohayati tidak lagi menulis di papan tulis. Padahal masih ada 5 soal lagi yang harus dia berikan pada murid-muridnya.

“Nia,” ujar Bu Rohayati. Yang dipanggil mendongak. “Iya, Bu.”

“Kamu disuruh pulang oleh Emak, Nur. Ada sesuatu yang mengharuskan kamu pulang.”

“Kejadian apa, Bu?” tanya Nia sembari berkerut kening. Jelas dia tidak tahu apa yang dimaksud dengan sesuatu itu.

“Pulanglah. Nanti juga kamu tahu sendiri. Oh iya. Pak Sarjono juga akan mengantarmu pulang sekarang. Dia menunggumu di luar.

Meski hatinya penuh tanya, Nia tidak ingin banyak melontarkan pertanyaan. Dia segera mengemasi peralatan tulisnya dan menggendong tas bututnya yang sudah dijahit berkali-kali karena talinya sering putus. Pada dasarnya memang tas ransel itu sudah harus diganti. Tapi mau bagaimana pun juga Nia harus tetap setia memakainya karena tak ada pilihan lain selain dengan tetap memakai tas butut itu. Tak mungkin rasanya dia bisa membeli tas baru. Atau bisa saja dia membeli tas baru dengan resiko tak bisa makan. Andai kamu ditanya apakah memilih untuk membeli beras atau tas, tentu saja kamu akan memilih untuk bisa membeli beras meski tak punya tas. Idealnya sih bisa membeli keduanya. Tapi harapan tas baru bagi Nia sudah terlampau jauh dari bayangan seorang gadis cilik yang tak ingin merepotkan emaknya sendiri.

Setibanya di teras depan, Nia melihat kerumunan orang di halaman depan. Dari wajah-wajah yang dia lihat, sebagian besar adalah kerabat dan para tetangga.

“Ada apa, Bi Saroh?” tanya Nia kepada bibinya yang saat itu tengah berbincang dengan Bi Salma, tetangga samping rumah dengan wajah yang muram dan mata berkaca-kaca.

Bi Saroh mengalihkan pandangannya kea rah Nia. “Kamu sudah pulang, Nia.”

“Ada apa Bi?”

Bi Saroh hanya diam saja. Tapi sebelum Bi Saroh mengucapkan sepatah kata, Nia melihat ke dalam rumah dan mendapati orang-orang melingkar di ruang tengah. Di tengah-tengah mereka, ada benda -lebih tepatnya jasad, sesuatu yang seperti jasad yang terbujur- yang ditutupi oleh kain jarik. Kain jarik berwarna cokelat milik Emak.

Jantung Nia berdekat lebih kencang. Dia menghambur ke dalam ruang tamu yang bertembok kusam itu. Orang-orang yang sebagian besar adalah kerabat dan tetangganya memberi jalan. Nia menyibak kain itu dan mendapati wajah Emak yang pias memutih di sana.

Pada saat itu, Nia menjerit dan tidak inga tapa-apa. Sejak saat itu, dunianya gelap gulita.

2

 

Hampir setiap pagi Emak berkeliling kampung untuk menjajakan gorengan dan kue-kue basah bikinannya. Sayangnya, sejak dua hari yang lalu Emak sakit sehingga tidak bisa berjualan gorengan seperti biasanya. Ketika memeriksakan diri ke puskesmas, dokter bilang Emak terkena penyakit asma sehingga harus banyak istirahat di rumah dan menghindari aktivitas berat.

Kebetulan Nia sedang libur sekolah sehingga dia bisa menggantikan Emak berjualan.

Malam kemarin, Nia mengutarakan niatnya untuk menggantikan Emak berjualan.

 “Mak, besok biar Nia yang menjajakan gorengan, ya,” ujar Nia kepada Emak yang tengah terbaring lemah di dipan yang dialasi dengan kasur tipisnya.

Emak batuk tiga kali, kemudian berusaha bangkit dari dipan. Nia membantu Emak untuk bersandar di tembok rumah kontrakannya yang tampak kusam dan berjamur.

“Memangnya kamu tidak keberatan untuk menggantikan Emak?”

“Tidak, Ma. Nia kan sudah besar. Sudah kelas enam. Masa berjualan saja tidak bisa,” jawab Nia dengan senyum lebar.

Emak terharu mendengar apa yang dikatakan Nia kepadanya. Dengan mata berkaca-kaca, Emak mengelus puncak kepala Nia dan mengecupnya dengan penuh kasih sayang. “Ya sudah, kalau itu keinginanmu. Tapi, kalau kamu ingin belajar berjualan, kamu juga harus belajar membuat kue dan gorengan.”

“Gampang. Yang penting Emak mengajari Nia,” jawab Nia sembari mengacungkan jempolnya.

Malam itu juga, Emak mengajari Nia cara membuat kue apem dan berbagai jenis gorengan. Malam hari itu, Nia membuat adonan gorengan sehingga keesokan paginya dia hanya tinggal menggorengnya saja. Ternyata membuat kue apem dan gorengan itu tidak begitu sulit. Bahkan menurut Nia sangat mudah.

**

Sebelum adzan subuh berkumandang, Nia sudah bangun. Dia kemudian beranjak ke dapur untuk mencuci peralatan makan dan gelas yang kotor. Kemudian dilanjutkan dengan mencuci baju-baju kotor di pemandian umum yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan. Pagi sebelum subuh, pemandian itu belum terlalu ramai sehingga Nia bisa leluasa mencuci dan mandi.

Selepas mandi, Nia kembali ke rumah, mengerjakan sholat subuh dan dilanjutkan dengan menggoreng adonan gorengan. Pada pukul enam pagi Nia sudah menyelesaikan kegiatannya. Dengan dibantu Emak, Nia menata kue dan gorengan itu di baskom.

“Nah, sudah selesai!” seru Nia sembari mengangkat baskom itu dan menyimpannya di meja. Kemudian Nia meraih tangan Emak dan menciumnya. “Nia berangkat dulu ya, Mak.”

“Iya, hati-hati di jalan ya, Nak,” balas Emak. Mencium pipi Nia dan mengantar Nia hingga pintu depan.

Nia menyunggi baskom yang berisi kue apem dan gorengan dan menjajakannya keliling kampung.

“Kue apem…kue apem…gorengannya….”

Suara kecil Nia membahana dari gang ke gang. Dari satu jalan ke jalan yang lain. Satu dua orang pembeli menghampiri Nia dan membeli kue atau gorengan yang dijajakannya. Setiap kali ada orang mengatakan ‘beli dek,’ Nia merasa sangat senang. Seakan-akan Allah menggerakan hati mereka untuk membeli dagangan Nia.

Menjelang pukul 07.30, dagangan Nia sudah hampir habis. Setelah dihitung-hitung, tinggal sepuluh buah bakwan dan enam kue apem yang tersisa.

“Alhamdulillah,” lirih Nia dengan hati yang penuh rasa syukur.

Nia merasa kelelahan. Dia kemudian memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon kersen yang sangat rindang di tepi gang. Sembari menyeka keringat yang mengucur di dahinya, Nia menghitung penghasilannya hari ini. Matanya kembali berbinar-binar setelah menghitung semua uang yang berhasil dia kumpulkan hasil dari pengalaman jualan pertamanya itu. Dia mendapatkan 75 ribu rupiah.

Ketika hendak memasukan uang ke saku roknya, tiba-tiba Nia mendengar suara geraman dari arah belakang. Nia menengokan kepalanya dan didapatinya seekor anjing herder tengah menatapnya dengan galak.

Hati Nia mencelos. Lututnya gemetaran. Seumur-umur, baru kali ini dia berhadapan dengan anjing. Sendirian pula. Tiba-tiba terbayang di benaknya tentang pemberitaan penyakit rabies yang disebabkan oleh gigitan anjing gila. Hiy….!

Nia tidak bisa berpikir lagi. Yang dia pikirkan saat ini adalah melarikan diri dari terkaman anjing itu. Dengan hati yang berdebar-debar, Nia meraih baskom yang dia letakan di sampingnya kemudian lari terbirit-birit. Nia berharap anjing itu tidak mengejarnya. Tapi tentu saja itu hanya harapannya saja. Karena dia mendengar salakan anjing itu mengikutinya. Dia mendengar tapak kaki anjing di belakangnya.

Nia ingin menangis. Dia berharap ada orang yang lewat di gang itu. Sayangnya, gang itu tampak sepi dan tidak ada siapa pun di sana. Nia benar-benar ketakutan. Sembari berlari dia komat-kamit menyebut nama Allah. Dia berdoa supaya diselamatkan dari anjing galak itu. Tiba-tiba Nia mendengar anjing itu mendengking. Seperti sedang kesakitan. Ketika dia menoleh, anjing itu sudah pergi menjauh. Di atas jalan gang dia melihat satu buah sepatu tergeletak. Sebelum menyadari apa yang sedang terjadi, Nia melihat seorang anak lelaki -kira-kira berumur 15 tahun- memungut sepatu itu. Nia melihat lelaki itu hanya memakai sepatu di kaki kirinya. Oh, kakak itu menyelamatkanku, begitu pikirnya.

“Terimakasih banyak, kak,” ujar Nia dengan perasaan lega.

“Sama-sama,” jawab anak muda itu. Kali ini dia sudah kembali mengenakan kedua sepatunya. “Lain kali kalau lewat sini hati-hati. Ada satu warga tak tahu diri yang membiarkan anjingnya berkeliaran di sini. Kalau bisa jangan lewat sini, ya, dek.”

“Iya, kak. Sekali lagi terimakasih.”

“Kamu jualan?” tanyanya lebih lanjut. Kali ini  menghampiri Nia.

“Iya, kak. Jualan gorengan.”

“Kecil-kecil sudah pintar jualan. Kakak beli ya. Sisa berapa itu?”

“Sisa sepuluh,” jawab Nia sembari membuka tutup baskom dan memperlihatkan isinya.

“Wah, tinggal sedikit lagi, ya. Kalau begitu kakak beli semuanya ya.”

“Tidak usah dibayar kak. Karena kakak sudah menyelamatkan Nia, jadi Nia kasih gratis saja,” ujar Nia. Jujur, dia merasa berhutang budi karena telah ditolong anak muda itu dari kejaran anjing.

“Wah, tidak bisa begitu. Nanti ibu kamu marah. Ini bukan dagangan kamu, kan. Kamu hanya menggantikan ibu kamu. Ya kamu harus bersikap amanah. Kamu tidak bisa memberikan dagangan cuma-cuma tanpa dapat izin dari ibu kamu,” terang anak muda itu panjang lebar.

Nia terpana. Sepertinya kakak yang satu ini sudah tahu kalau dia anak Emak. Atau barangkali pelanggan emak? Nia tidak ingin berpikir terlalu lama, dia sibuk memasukan semua kue dan gorengan ke dalam plastik yang berbeda, kemudian menyerahkannya kepada anak muda itu. Sementara si anak muda itu memberikan uangnya kepada Nia.

“Kembaliannya ambil saja, ya.”

Nia benar-benar tidak habis pikir dengan kebaikan kakak ini. Untuk yang kesekian kalinya dia mengucapkan terimakasih.

“Belajar yang rajin ya,” pungkas kakak itu dan dia berlalu, membuka pintu gerbang sebuah rumah besar dan menutupnya. Pada saat itu Nia jadi terpikir untuk menanyakan nama kakak yang baik hati itu. Tapi kakak itu sudah terlanjur pergi.

Nia melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan riang gembira. Misi jualan hari ini berhasil dengan sukses!

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment