1
Nia masih
ingat hari yang kelam itu. Dalam benaknya, hari itu adalah hari dimana dia
mendapati kesedihan yang paling besar dalam hidupnya. Saat itu pelajaran
matematika. Seperti biasa, Bu Rohayati tengah menulis lima soal matematika di
papan tulis untuk segera dikerjakan oleh Nia dan kawan-kawannya yang berjumlah
dua puluh orang.
Tepat ketika
Nia mulai mengerjakan soal pertama di buku tugasnya, pintu kelas diketuk dari
luar. Tak berapa lama, tampaklah Pak Sarjono, Kepala sekolah yang disayangi
anak-anak karena sikap welas asihnya. Pak Sarjono tampak berbisik kepada Bu
Rohayati. Seisi kelas bisa melihat ada perubahan dari roman wajah bu Rohayati.
Sejurus kemudian, Bu Rohayati menatap Nia dengan tatapan penuh arti.
Setelah itu,
Pak Sarjono pamit undur diri. Bu Rohayati tidak lagi menulis di papan tulis.
Padahal masih ada 5 soal lagi yang harus dia berikan pada murid-muridnya.
“Nia,” ujar
Bu Rohayati. Yang dipanggil mendongak. “Iya, Bu.”
“Kamu disuruh
pulang oleh Emak, Nur. Ada sesuatu yang mengharuskan kamu pulang.”
“Kejadian
apa, Bu?” tanya Nia sembari berkerut kening. Jelas dia tidak tahu apa yang
dimaksud dengan sesuatu itu.
“Pulanglah.
Nanti juga kamu tahu sendiri. Oh iya. Pak Sarjono juga akan mengantarmu pulang
sekarang. Dia menunggumu di luar.
Meski hatinya
penuh tanya, Nia tidak ingin banyak melontarkan pertanyaan. Dia segera
mengemasi peralatan tulisnya dan menggendong tas bututnya yang sudah dijahit
berkali-kali karena talinya sering putus. Pada dasarnya memang tas ransel itu
sudah harus diganti. Tapi mau bagaimana pun juga Nia harus tetap setia
memakainya karena tak ada pilihan lain selain dengan tetap memakai tas butut
itu. Tak mungkin rasanya dia bisa membeli tas baru. Atau bisa saja dia membeli
tas baru dengan resiko tak bisa makan. Andai kamu ditanya apakah memilih untuk
membeli beras atau tas, tentu saja kamu akan memilih untuk bisa membeli beras
meski tak punya tas. Idealnya sih bisa membeli keduanya. Tapi harapan tas baru
bagi Nia sudah terlampau jauh dari bayangan seorang gadis cilik yang tak ingin
merepotkan emaknya sendiri.
Setibanya di
teras depan, Nia melihat kerumunan orang di halaman depan. Dari wajah-wajah
yang dia lihat, sebagian besar adalah kerabat dan para tetangga.
“Ada apa, Bi
Saroh?” tanya Nia kepada bibinya yang saat itu tengah berbincang dengan Bi
Salma, tetangga samping rumah dengan wajah yang muram dan mata berkaca-kaca.
Bi Saroh
mengalihkan pandangannya kea rah Nia. “Kamu sudah pulang, Nia.”
“Ada apa Bi?”
Bi Saroh
hanya diam saja. Tapi sebelum Bi Saroh mengucapkan sepatah kata, Nia melihat ke
dalam rumah dan mendapati orang-orang melingkar di ruang tengah. Di
tengah-tengah mereka, ada benda -lebih tepatnya jasad, sesuatu yang seperti
jasad yang terbujur- yang ditutupi oleh kain jarik. Kain jarik berwarna cokelat
milik Emak.
Jantung Nia
berdekat lebih kencang. Dia menghambur ke dalam ruang tamu yang bertembok kusam
itu. Orang-orang yang sebagian besar adalah kerabat dan tetangganya memberi
jalan. Nia menyibak kain itu dan mendapati wajah Emak yang pias memutih di
sana.
Pada saat itu, Nia menjerit dan tidak inga tapa-apa. Sejak saat itu,
dunianya gelap gulita.
2
Hampir setiap
pagi Emak berkeliling kampung untuk menjajakan gorengan dan kue-kue basah
bikinannya. Sayangnya, sejak dua hari yang lalu Emak sakit sehingga tidak bisa
berjualan gorengan seperti biasanya. Ketika memeriksakan diri ke puskesmas,
dokter bilang Emak terkena penyakit asma sehingga harus banyak istirahat di
rumah dan menghindari aktivitas berat.
Kebetulan Nia
sedang libur sekolah sehingga dia bisa menggantikan Emak berjualan.
Malam
kemarin, Nia mengutarakan niatnya untuk menggantikan Emak berjualan.
“Mak, besok biar Nia yang menjajakan gorengan,
ya,” ujar Nia kepada Emak yang tengah terbaring lemah di dipan yang dialasi
dengan kasur tipisnya.
Emak batuk
tiga kali, kemudian berusaha bangkit dari dipan. Nia membantu Emak untuk
bersandar di tembok rumah kontrakannya yang tampak kusam dan berjamur.
“Memangnya
kamu tidak keberatan untuk menggantikan Emak?”
“Tidak, Ma.
Nia kan sudah besar. Sudah kelas enam. Masa berjualan saja tidak bisa,” jawab
Nia dengan senyum lebar.
Emak terharu
mendengar apa yang dikatakan Nia kepadanya. Dengan mata berkaca-kaca, Emak
mengelus puncak kepala Nia dan mengecupnya dengan penuh kasih sayang. “Ya
sudah, kalau itu keinginanmu. Tapi, kalau kamu ingin belajar berjualan, kamu
juga harus belajar membuat kue dan gorengan.”
“Gampang.
Yang penting Emak mengajari Nia,” jawab Nia sembari mengacungkan jempolnya.
Malam itu
juga, Emak mengajari Nia cara membuat kue apem dan berbagai jenis gorengan.
Malam hari itu, Nia membuat adonan gorengan sehingga keesokan paginya dia hanya
tinggal menggorengnya saja. Ternyata membuat kue apem dan gorengan itu tidak
begitu sulit. Bahkan menurut Nia sangat mudah.
**
Sebelum adzan
subuh berkumandang, Nia sudah bangun. Dia kemudian beranjak ke dapur untuk
mencuci peralatan makan dan gelas yang kotor. Kemudian dilanjutkan dengan
mencuci baju-baju kotor di pemandian umum yang letaknya tidak terlalu jauh dari
rumah kontrakan. Pagi sebelum subuh, pemandian itu belum terlalu ramai sehingga
Nia bisa leluasa mencuci dan mandi.
Selepas
mandi, Nia kembali ke rumah, mengerjakan sholat subuh dan dilanjutkan dengan
menggoreng adonan gorengan. Pada pukul enam pagi Nia sudah menyelesaikan
kegiatannya. Dengan dibantu Emak, Nia menata kue dan gorengan itu di baskom.
“Nah, sudah
selesai!” seru Nia sembari mengangkat baskom itu dan menyimpannya di meja.
Kemudian Nia meraih tangan Emak dan menciumnya. “Nia berangkat dulu ya, Mak.”
“Iya,
hati-hati di jalan ya, Nak,” balas Emak. Mencium pipi Nia dan mengantar Nia
hingga pintu depan.
Nia menyunggi
baskom yang berisi kue apem dan gorengan dan menjajakannya keliling kampung.
“Kue apem…kue
apem…gorengannya….”
Suara kecil
Nia membahana dari gang ke gang. Dari satu jalan ke jalan yang lain. Satu dua
orang pembeli menghampiri Nia dan membeli kue atau gorengan yang dijajakannya.
Setiap kali ada orang mengatakan ‘beli dek,’ Nia merasa sangat senang. Seakan-akan
Allah menggerakan hati mereka untuk membeli dagangan Nia.
Menjelang
pukul 07.30, dagangan Nia sudah hampir habis. Setelah dihitung-hitung, tinggal
sepuluh buah bakwan dan enam kue apem yang tersisa.
“Alhamdulillah,”
lirih Nia dengan hati yang penuh rasa syukur.
Nia merasa
kelelahan. Dia kemudian memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon kersen
yang sangat rindang di tepi gang. Sembari menyeka keringat yang mengucur di
dahinya, Nia menghitung penghasilannya hari ini. Matanya kembali berbinar-binar
setelah menghitung semua uang yang berhasil dia kumpulkan hasil dari pengalaman
jualan pertamanya itu. Dia mendapatkan 75 ribu rupiah.
Ketika hendak
memasukan uang ke saku roknya, tiba-tiba Nia mendengar suara geraman dari arah
belakang. Nia menengokan kepalanya dan didapatinya seekor anjing herder tengah
menatapnya dengan galak.
Hati Nia
mencelos. Lututnya gemetaran. Seumur-umur, baru kali ini dia berhadapan dengan
anjing. Sendirian pula. Tiba-tiba terbayang di benaknya tentang pemberitaan
penyakit rabies yang disebabkan oleh gigitan anjing gila. Hiy….!
Nia tidak
bisa berpikir lagi. Yang dia pikirkan saat ini adalah melarikan diri dari
terkaman anjing itu. Dengan hati yang berdebar-debar, Nia meraih baskom yang
dia letakan di sampingnya kemudian lari terbirit-birit. Nia berharap anjing itu
tidak mengejarnya. Tapi tentu saja itu hanya harapannya saja. Karena dia
mendengar salakan anjing itu mengikutinya. Dia mendengar tapak kaki anjing di
belakangnya.
Nia ingin
menangis. Dia berharap ada orang yang lewat di gang itu. Sayangnya, gang itu
tampak sepi dan tidak ada siapa pun di sana. Nia benar-benar ketakutan. Sembari
berlari dia komat-kamit menyebut nama Allah. Dia berdoa supaya diselamatkan
dari anjing galak itu. Tiba-tiba Nia mendengar anjing itu mendengking. Seperti
sedang kesakitan. Ketika dia menoleh, anjing itu sudah pergi menjauh. Di atas
jalan gang dia melihat satu buah sepatu tergeletak. Sebelum menyadari apa yang
sedang terjadi, Nia melihat seorang anak lelaki -kira-kira berumur 15 tahun- memungut
sepatu itu. Nia melihat lelaki itu hanya memakai sepatu di kaki kirinya. Oh,
kakak itu menyelamatkanku, begitu pikirnya.
“Terimakasih
banyak, kak,” ujar Nia dengan perasaan lega.
“Sama-sama,”
jawab anak muda itu. Kali ini dia sudah kembali mengenakan kedua sepatunya.
“Lain kali kalau lewat sini hati-hati. Ada satu warga tak tahu diri yang
membiarkan anjingnya berkeliaran di sini. Kalau bisa jangan lewat sini, ya,
dek.”
“Iya, kak.
Sekali lagi terimakasih.”
“Kamu
jualan?” tanyanya lebih lanjut. Kali ini
menghampiri Nia.
“Iya, kak.
Jualan gorengan.”
“Kecil-kecil
sudah pintar jualan. Kakak beli ya. Sisa berapa itu?”
“Sisa
sepuluh,” jawab Nia sembari membuka tutup baskom dan memperlihatkan isinya.
“Wah, tinggal
sedikit lagi, ya. Kalau begitu kakak beli semuanya ya.”
“Tidak usah dibayar
kak. Karena kakak sudah menyelamatkan Nia, jadi Nia kasih gratis saja,” ujar
Nia. Jujur, dia merasa berhutang budi karena telah ditolong anak muda itu dari
kejaran anjing.
“Wah, tidak
bisa begitu. Nanti ibu kamu marah. Ini bukan dagangan kamu, kan. Kamu hanya
menggantikan ibu kamu. Ya kamu harus bersikap amanah. Kamu tidak bisa
memberikan dagangan cuma-cuma tanpa dapat izin dari ibu kamu,” terang anak muda
itu panjang lebar.
Nia terpana.
Sepertinya kakak yang satu ini sudah tahu kalau dia anak Emak. Atau barangkali
pelanggan emak? Nia tidak ingin berpikir terlalu lama, dia sibuk memasukan
semua kue dan gorengan ke dalam plastik yang berbeda, kemudian menyerahkannya
kepada anak muda itu. Sementara si anak muda itu memberikan uangnya kepada Nia.
“Kembaliannya
ambil saja, ya.”
Nia
benar-benar tidak habis pikir dengan kebaikan kakak ini. Untuk yang kesekian
kalinya dia mengucapkan terimakasih.
“Belajar yang
rajin ya,” pungkas kakak itu dan dia berlalu, membuka pintu gerbang sebuah
rumah besar dan menutupnya. Pada saat itu Nia jadi terpikir untuk menanyakan
nama kakak yang baik hati itu. Tapi kakak itu sudah terlanjur pergi.
Nia melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan riang gembira. Misi jualan hari ini berhasil dengan sukses!
No comments:
Post a Comment