Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid harus diatur agar tercipta hubungan yang lebih harmonis dalam kehidupan antarumat beragama.
Dia pun mengibaratkan gonggongan anjing yang menggangu hidup bertetangga.
“Kita bayangkan, saya Muslim saya hidup di lingkungan nonmuslim, kemudian rumah ibadah mereka membunyikan toa sehari lima kali dengan keras secara bersamaan, itu rasanya bagaimana?”
“Contohnya lagi, misalkan tetangga kita kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya menggonggong di waktu yang bersamaan, kita terganggu tidak? Artinya semua suara-suara harus kita atur agar tidak menjadi gangguan.” Begitulah apa yang dikatakan Menag kita.
Yaqut menyatakan tidak melarang rumah ibadah umat Islam menggunakan pengeras suara atau toa. Namun penggunaannya, kata Yaqut, harus diatur agar tidak mengganggu kehidupan umat beragama nonmuslim.
Saya pribadi tidak ada masalah dengan pengaturan toa masjid demi kenyamanan. Karena memang ada beberapa masjid yang toanya memiliki suara yang hingar bingar sehingga barangkali bisa mengganggu yang sakit atau mengganggu non-muslim. Apalagi di kota-kota besar yang masjid dan mushola hanya berjarak ratusan atau puluhan meter sehingga suara-suara itu bersipongang satu sama lain.
Jika di kampung, saya belum pernah menemukan masalah dengan bunyi dari toa masjid. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada yang merasa terganggu. Lebih-lebih masyarakat homogen (muslim semua).
Hanya saja aturan ini hendaknya memperhatikan beberapa pertimbangan
Hendaknya aturan melihat kearifan local. Jika memang lingkungan heterogen dengan banyak latar agama, aturan ini bisa diterapkan. Beda dengan masyarakat homogen yang masjidnya jarang-jarang.
Dan telinga saya –omong-omong- sangat gatal dengan pernyataan menag kita yang menganalogikan suara toa masjid dengan gonggongan binatang najis semacam anjing. Ada apa dengan Menag kita ini??

No comments:
Post a Comment