Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al-Quran 28:77)
Kita hidup di dunia sehingga tidak bijak jika
kita melupakan dunia, dan terminal akhir yang kita tuju adalah akhirat sehingga
bodoh jika kita tidak mempersiapkan bekal untuknya. Tapi pada kenyataannya betapa banyak orang
yang salah kaprah dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat.
Ada segelintir orang yang begitu sibuk dengan
urusan akhirat sehingga dia melupakan dunia. Dia berpikir bahwa ibadah hanya
melulu tentang shalat, puasa, dzikir dan
khalwah (menyendiri) demi memuji Allah subhanahu wata'ala. Dia berpikir bahwa
berniaga, mencari nafkah untuk keluarga dan mencari harta tidak termasuk ke
dalam definisi ibadah.
Bukankah Rasulullah shallallahu Alaihi
wassalam berniaga sejak belia? Beliau ikut kafilah dagang pamannya, Abi Thalib.
Pun setelah tumbuh menjadi seorang pemuda, Rasulullah shallallahu Alaihi
wassalam berniaga dengan menjual barang dagangan Khadijah Radiyallahu anha
hingga tanah Syam. Lalu kita juga mengenal Abdurrahman bin Auf yang ulung dalam
berniaga. Juga Utsman bin Affan yang hartanya jangan ditanya, selalu melimpah.
Bukankah Rasulullah shallallahu Alaihi
wassalam juga pernah bersabda bahwa
sebaik-baik sedekah adalah nafkah terhadap keluarga? Bukankah dengan begitu,
kita mencukupi kebutuhan keluarga adalah sebuah ibadah yang agung.
Bukankah kita bersedekah, zakat, umrah dan
haji membutuhkan harta yang tidak sedikit? Bukankah umat juga membutuhkan
uluran tangan saudara-saudaranya yang memiliki harta yang lebih? Bukankah
banyak saudara kita yang kesusahan? Lalu siapa yang akan memberikan mereka kesejahteraan kalau bukan kita? Lalu darimana
mereka berpikir bahwa berurusan dengan emas, uang dan harta perniagaan sebagai
bentuk berpalingnya hati dari akhirat? Sungguh pemikiran yang sempit.
Ketika kita berniaga dengan niat untuk
menafkahi keluarga, menjaga kehormatan diri dari meminta-minta terhadap orang
lain, untuk beribadah dan untuk menolong umat, maka disitu tersimpan niat yang
angung dan suci. Dan insya Allah pahala akan terus mengalir selama ikhitar kita dalam mencari rezeki-Nya.
Kebalikan dari para ‘sufi ekstrim’ yang tidak
mau bekerja, ada juga kelompok manusia
yang terlena dengan kehidupan dunia sehingga melupakan akhiratnya. Ini adalah
kelompok mayoritas yang terbius oleh gemerlap dunia yang begitu memabukan. 24 jam waktunya habis untuk memikirkan
bagaimana supaya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bagaimana supaya rekeningnya selalu penuh dan
bisa memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Istrinya selalu meminta uang
belanja. Anaknya meminta gadget dan kendaraan keluaran terbaru. Dia sendiri
terobsesi untuk membangun rumah baru yang lebih besar.
Dia lupa bahwa kehidupan dunia hanyalah
sementara. Dia juga abai bahwa waktu, usia dan kesehatan adalah anugerah Allah
subhanahu wata'ala yang harus disyukuri. Allah telah memberikan apa yang dia
inginkan dan apa yang dia butuhkan, tapi dia lupa kepada Sang Pemberi Rezeki
dan kehidupan. Sehingga dia lupa kampung halaman yang akan dia tuju. Dia
melupakan kehidupan akhiratnya yang lebih kekal.
Karena hatinya telah terkunci dari mengingat
Allah subhanahu wata'ala, maka dia pun melupakan apa yang telah Allah
syariatkan. Dia lupa mana yang halal dan yang haram. Dia abaikan aturan dan nilai
sehingga semuanya halal bagi dirinya. Korupsi, suap menyuap, dan berbagai macam
bentuk kefasikan lainnya dia lakukan dengan hati yang tak pernah merasa
bersalah. Dia merasakan kebebasan untuk melakukan apa pun yang dia mau.
Maka tak heran jika Rasulullah shallallahu
Alaihi wassalam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga
bagi orang kafir” (HR. Muslim)
Begitulah, manusia terbius oleh harta dan
dibuat mabuk olehnya. Banyak sekali yang terjerumus ke dalam kubangan harta
dunia sehingga dia tidak lagi ingat dengan Allah subhanahu wata'ala layaknya
Qarun yang tidak lulus dari ujian berupa harta kekayaan yang melimpah.
Jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu Alaihi
wassalam tercinta telah mewanti-wanti kita dari godaan harta dunia yang membuat
kita terlena dan melupakan akhirat sebagai kampung halaman kita.
Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap umat
memiliki fitnah, sedangkan fitnah ummatku adalah harta” (HR. Tirmidzi)
Pertama kita telah berbicara tentang
segelintir manusia yang tenggelam dalam peribadatan sehingga lupa untuk mencari
kehidupan dunia. Kedua kita juga telah berbicara tentang mayoritas manusia yang
terlena dengan kehidupan dunia sehingga lupa terhadap kampung akhirat, maka yang terakhir kita akan
berbicara tentang mereka yang susah payah mencari kehidupan dunia dengan
mengorbankan akhiratnya. Sayangnya, mereka tidak mendapatkan kehidupan dunia
yang menghiasi angan dan harapan mereka. Mereka melupakan akhirat demi dunia,
tapi tidak juga mendapatkan dunia yang mereka idamkan. Pada akhirnya, sengsara
di dunia, sengsara juga di akhirat kelak. Naudzubillah.
Golongan yang ketiga ini adalah mereka yang
bodoh terhadap kehidupan akhirat dan hanya mengisi hari-harinya dengan mimpi
dunia yang tidak bisa mereka gapai. Mereka persis seperti orang-orang di
sekeliling Qarun yang merasa kagum dengan harta benda, emas dan perak yang
dimiliki Qarun. Sehingga mereka baru tersadar dari kekeliruannya setelah Allah
subhanahu wata'ala menenggelamkan Qarun.
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)". (Quran surat al-Qasas ayat 82)
Untuk golongan ketiga ini Rasulullah
shallallahu Alaihi wassalam telah memberi nasihat dengan nasihatnya yang
sungguh indah. Rasulullah shallallahu Alaihi wassalam bersabda,
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian” (HR. Muslim)
Seorang muslim yang ideal adalah mereka yang
memiliki sikap al-wasathiyah. Dia berada di tengah-tengah dengan sikap moderat
yang proporsional dan elok. Dia tidak berat sebelah dalam urusan dunia dan
akhiratnya. Dia tidak terjerumus dalam sikap ekstrim layakanya segelintir kaum
yang hanya beribadah saja atau mayoritas manusia yang hanya disibukan oleh
dunia. Dia tidak melupakan akhiratnya sebagai kampung halamannya yang kekal.
Dia juga tidak melupakan dunia karena disinilah dia hidup dan di dunia pula dia
menyiapkan bekal untuk akhirat. Dia juga tidak merasa sedih dengan dunia yang
luput darinya. Dia yakin bahwa Allah subhanahu wata'ala sudah mengatur rezeki
bagi para hamba-Nya. Dia tidak memenuhi angan dan mimpinya dengan dunia, tapi
justru dia menyibukan dengan mimpi kehidupan akhirat disertai dengan amal
ibadah yang mumpuni. Neraca dunia dan akhiratnya seimbang dan tidak pernah
berat sebelah. Bahkan keseimbangan itu ada karena dia menggunakan dunia untuk
membeli akhiratnya. Dia menggunakan hartanya di jalan yang telah diridhai oleh
Allah subhanahu wata'ala. Tidak sudi mengeluarkan harta untuk kemakasiatan
walau hanya secuil.
Bagi mukmin yang memiliki keimanan yang
sejati, dunia tidak diletakan di hati, tapi di genggaman tangan yang bisa
digenggam dan dilepas kapan pun dia mau. Maka tak heran jika Abu Bakar ash-Shidiq
Radiyallahu anhu pernah berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala, “Ya Allah,
letakan dunia di tanganku, jangan kau letakkan dunia di hatiku.”
No comments:
Post a Comment