(Fatah adalah seorang mahasiswa magister yang melanjutkan
S2nya di Amerika. Pagi itu fatah sedang berada di Islamic center Amerika. Dia
sudah ada janji dengan seorang temannya yang baru datang dari Indonesia untuk
melanjutkan study yang sama) / (terdengar suara bising orang bercakap-cakap
memakai bahasa inggris dengan sesekali salam)
Fatah : kamu dimana mad (via telepon)
Ahmad : saya di dekat toko kebab turki (dalam telepon)
Fatah : baik saya akan ke sana secepatnya (via telepon)
(Tak berapa lama kemudian, Fatah sampai di tempat yang
dituju.)
Fatah : Assalamualaikum
akhi, gimana nih kabarnya.
Ahmad : Waalaikum salam..alhamdulillah. kamu sendiri gimana
kabarnya?
Fatah : Alhamdulillah…sehat. Eh kita ngobrolnya di dalam aja
yuk. Sekalian beli kebab. Belum makan siang kan?”
Ahmad : (tertawa) wah, kebetulan nih belum. Yuk..
(di dalam toko kebab)
Fatah: eh, ngomong-ngomong ada yang beda dari tampilan kamu
Ahmad : apanya yang beda? (sambil tertawa)
Fatah : jenggot kamu yang lebat sekarang kemana? Kok
dipangkas habis?
Ahmad: oh yang itu… Anu bang, saya sebenarnya awalnya tidak
niat potong jenggot. Tapi kata temen saya yang udah duluan di sini, lebih baik
saya potong jenggot saja. Katanya di sini islamophobianya kuat. Liat laki-laki
berjenggot aja dicap teroris.
Fatah: oh gitu…etapi, selama saya di sini aman-aman aja nih.
Saya belum pernah merasakan diskriminasi. Padahal saya berjenggot lho. Istri
saya bercadar malah.
Ahmad: Iya, tapi kan jaga-jaga itu perlu.
Fatah: Tapi menurut saya, intinya kamu minder dengan
identitas muslim kamu. Bener kan?
Ahmad: wah, jangan suudzon dulu bang. Lagian kan jenggot itu
sunnah, bukan wajib
Fatah: Oke, saya tidak mau berdebat masalah jenggot. Tapi ini
masalah kepedean kita sebagai seorang muslim, mau jenggot itu sunnah kek, wajib
kek, tapi kan kita harus bangga dengan kemusliman kita. Kan tadi kamu bilang,
cukur jenggot karena takut disebut teroris atau ekstrimis. Nah, secara tidak
langsung kan berarti takut menampakan identitas islam.
Ahmad: iya juga sih.
(tiba-tiba ada seorang
yang menyapa Fatah dan memotong pembicaraan mereka)
Native: Hi guys, how are you?
Fatah: Very well thank. And how about you Patrick?
Native : Fine. I just wana tell you. Don’t forget to visite
our group discussion this evening.
Fatah: Ok, Insya Alloh.
Ahmad : Siapa dia bang.
Fatah : Nah, Mad. Yang barusan itu Namanya Patrick. Wah,
ngomong-ngomong ini pas nih sama masalah yang lagi kita omongin. Gini, awalnya
dia tuh benci banget sama yang namanya orang muslim. Dia kan satu fakultas sama
saya Mad. Tiap hari dia ngebuly saya dan teman-teman kita yang muslim.
Ahmad : tuh kan bener bang yang saya bilang. Islamophobia .
Fatah : Emang benar apa yang kamu katakan Mad. Tapi jangan
sampai kita kalah dengan keadaan. Kalau pola pikirnya lemah seperti itu, nggak
mustahil banyak wanita yang melepaskan hijab hanya karena takut, banyak
laki-laki yang malu berjenggot atau pake peci hanya karena takut menampakan
keislaman. Termasuk kamu.
Ahmad : hehe
(suara langkah kaki mendekat)
Pelayan : Here sir, happy to enjoy our dishes.
Ahmad : thank
(Suara gelas dan piring yang disimpan di atas meja)
Fatah : Jadi gini Mad, Kita jangan hanya terpaku bahwa
identitas muslim yang melekat di badan kita menjadi hambatan. Maka solusinya,
tampakan akhlak yang baik. Tampakan rasa hormat tanpa pernah merendahkan harga
diri sendiri.
Ahmad : ok, saya setuju bang
Fatah : Contohnya kasus Patrick yang tadi saya ceritain. Saya
dan teman-teman selalu menyikapinya dengan woles. Nggak dibawa serius.
Lama-lama dia bosan, dan malu. Bagaimana nggak malu coba, setiap kali
berpapasan kita selalu memberinya senyuman dan menyapanya, ‘what up bro’
Ahmad : jadi dia berhenti ngebuly gara-gara say helo dan
senyuman?
Fatah : Nggak juga sih. Awalnya ejekan dia berkurang. Dia
lebih sering menghindar. Hingga suatu hari tiba-tiba dia datang dan minta maaf.
Ujung-ujungnya ngajak kita diskusi. Dan Alhamdulillah, walaupun dia belum
islam, tapi dia sudah berpikir positif terhadap islam dan kaum muslimin. Tidak
seperti yang dia pahami selama ini.
Ahmad : Syukurlah kalo begitu
Fatah : Intinya mad, kita jangan merasa minder dengan
identitas muslim kita. Tampakanlah identitas kita apa adanya. Pede dengan
keislaman kita. Orang, lambat laun akan menilai kita dari akhlak kita. Dari apa
yang kita beri dan apa peran kita di masyarakat. Kan banyak kisah, orang-orang
musyrik yang awalnya membenci Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, justru
jatuh cinta kepada islam setelah bertemu dengan Rasulullah shollallahu 'alaihi
wasallam. Contohnya kisah Adi Bin Hatim.
Ahmad : Oke deh bang. Makasih banyak atas wejangannya.
Fatah : Masama, eh, ngomong-ngomong, nanti malam kamu bisa
ikut grup diskusi di rumah Patrick. Saya jamin, nanti punya pengalaman baru
yang berkesan.
Ahmad; Insya Allah.
(suara-suara pengunjung toko yang berdengung)
No comments:
Post a Comment