Sore yang gerimis. Saat itu aku tidak memiliki kegiatan apa pun selain melihat Jani dan Juan, dua keponakanku bertengkar memperebutkan bola kasti tepat di hadapanku. Mereka bergumul di atas karpet layaknya anak kucing yang bertengkar mainan. Aku hanya tersenyum simpul melihat tingkah dua bocah kembar berusia empat tahun itu. Tiba-tiba –entah dari mana datangnya- timbul pikiran di benakku untuk memiliki anak yang lahir dari rahimku sendiri. Anak yang akan mewarnai hari-hari tuaku dan menjadi permata hatiku. Mengobati rasa sepi yang semakin hari semakin menggerogotiku.
“Kembalikan, itu bola Juan.” Seru si Juan dengan mimik
marah.
“Bukan, ini punya Jani. Wee…” balas Jani sembari meleletkan
lidah.
Kali ini aku tertawa. Maaf, aku harus menginterupsimu dengan
kisah mereka berdua. Ayolah, jika kamu ada di sini, kamu tidak akan bisa
mengabaikan senyum tanpa dosa diantara mereka berdua. Terkadang aku
bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakan bayi dan anak-anak dengan wajah yang
terlihat lucu di mata orang dewasa? Kenapa mereka terlihat begitu menggemaskan
dan selalu mengundang rasa cinta dari orang-orang dewasa di sekitarnya? Mungkin
karena mereka tidak memiliki dosa dan tidak pernah berpikir untuk mencurangimu.
Mungkin bayi dan anak kecil tidak pernah tahu arti dari kosakata
‘pengkhianatan’ atau ‘kecurangan’. Ya, mungkin itulah alasannya kenapa aku
mencintai anak-anak. Dan kamu juga kan?
Aku sangat menginginkan anak. Tapi itu sepertinya satu hal
yang mustahil seperti mustahilnya seekor ayam bisa terbang layaknya elang.
Rahimku telah diangkat dua tahun yang lalu karena kanker yang menggerogotinya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Jani, Juan, ayo mandi sayang.” Itu teriakan Hasna, adik
perempuanku sekaligus ibu dari dua malaikat kecil yang sekarang masih bergumul
di hadapanku.
“Ayo, mandi dulu bareng Ummi.” Bujukku kepada dua bocah
kecil itu. Tanpa menunggu lama mereka berlarian menuju arah belakang,
menghampiri ibunya yang sudah siap dengan dua ember air hangat. Cuaca hari ini
sangat dingin dan tentunya dua bocah itu tidak kuat mandi dengan air dingin.
Sudah dua malam mereka menginap di rumah ini, rumah
peninggalan almarhum emak dan bapak. Hampir sepekan dua kali Hasna selalu
menyempatkan diri untuk menginap di rumah ini hanya untuk mengusir rasa suwung
dan menghilangkan kesepian yang selalu menyergap hatiku.
Kini aku tidak memiliki objek yang bisa aku perhatikan
selain melihat rintik-rintik hujan lewat kaca jendela yang buram. Tiba-tiba
samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari arah luar. Suara langkah kaki
itu semakin mendekat, mengetuk papan teras depan yang terbuat dari kayu jati.
Aku menduga yang datang adalah seseorang yang memakai sepatu. Dan setelah itu
disusul oleh ketukan di daun pintu.
“Assalamu alaikum.” Sapa seseorang dari luar. Tunggu, aku
sepertinya familiar dengan suara itu. Tapi siapa?
“Waalaikum Salam.” Jawabku, tanpa menunggu lama segera
beranjak dari sofa kumal -yang entah keberapa ribu kalinya menjadi sandaran
punggungku- untuk membuka pintu. Daun pintu terbuka, aku menemukan siluet tubuh
yang membawaku menuju masa lalu. Membawaku kepada kepedihan yang selama ini aku
simpan di arsip hatiku.
“Safena?”
“Aapi…bagaimana kabarmu.” Ujar sosok gadis cantik itu dengan
senyum canggung. Sepertinya perpisahan satu tahun setengah telah membuat
hubungan antara diriku dengannya menjadi canggung seperti sekarang ini. Tidak
salah lagi, dialah Safina Kaseem, mantan adik iparku. Maskudnya, dia adalah
adik dari mantan suamiku dulu. Kau penasaran bagaimana kata ‘suami’ itu harus
diimbuhi ‘mantan’ di depannya? Nanti aku akan cerita kepadamu.
“Bagaimana kabarmu, Meere Aapi?” ini tanya yang kedua yang
terlontar dari mulut safina karena aku mengabaikan tanya yang pertama. Aku
terlalu shock sehingga lupa menjawabnya.
“Aku baik-baik saja.” Jawabku dengan senyuman simpul.” Dan
kamu sendiri bagaimana?”
“Me thik hu.”
“Dan Javed, Aabu, Aami, Khandan?”
“Semua baik-baik saja.”
Javed. Nama itu pernah terpahat di hatiku. Dan nama itu juga
yang telah menorehkan luka di hatiku sehingga aku harus menghapus semua
kenangan yang pernah aku renda bersama lelaki itu. Memang, orang bilang
melenyapkan kenangan yang sudah terpatri itu seperti membakar besi hingga
meleleh. Butuh waktu yang lama untuk benar-benar meleburnya. Tak peduli
kenangan manis atau kenangan pahit, semuanya sama saja.
Dulu, aku bertemu dengan Javed di AMU. Aku seorang mahasiswi
kere dari pedalaman Garut mencoba peruntungan untuk mengirimkan aplikasi
lamaran beasiswa pendidikan bachelor degree yang ditawarkan kedubes India. Dan
hasilnya tidak pernah dibayangkan, aku berhasil mendapatkannya. Allah Maha
Baik. Selain meluluskan mimpiku untuk melanjutkan study, ternyata beasiswa itu
juga jalan untuk menemukan jodohku di negeri tujuan.
Semua bermula dari satu hal yang tidak
pernah aku duga di hari pertama kehadiranku di Kolkata. Terjadi begitu saja. Malam
itu, Sebuah mobil berwarna hitam menyerempetku yang tengah berjalan di pinggir
jalan sembari menjinjing belanjaan di pinggiran kota Kolkata. Plastik sayuran
dan buah-buahan yang aku bawa terlempar da nisi kantung plastic berupa sayur,
tomat dan kentang berhamburan di tengah jalan. Jelas aku merutuk. Apakah pengemudi sedan
hitam itu tidak memiliki mata sehingga bisa-bisanya menyerempet pejalan kaki
sepertiku.
Si pengemudi menghentikan
kendaraannya. Syukurlah. Itu artinya dia bukan pengemudi bajingan yang
melarikan diri dari tanggung jawab. Pintu sedan hitam itu terbuka dan sesosok lelaki
dengan setelan yang perlente turun, menghampiriku yang sibuk memunguti tomat
dan kentang yang berserakan di atas aspal. Sial, sebagian tomat itu hancur.
“Mujhse maaf karna.” Ujarnya dengan mimic
khawatir sembari menatapku.
Aku mendongakan mata dan menyipitkan
mataku. Kekesalanku masih belum sirna. “Apakah kau bisa membantuku memunguti
tomat dan kentang?”
“Yeah, sure.” Balasnya dan dengan
sigap, kedua tangannya mengumpulkan kentang yang kebetulan tergeletak
menyedihkan di bawah sepatu botnya.
“Dan ada dua buah kentang di bawah
mobilmu.” Seruku sembari menunjuk dua buah kentang yang berada di kolong mobil
sedannya.
Lelaki itu tersenyum. Mengembalikan tiga
kentang yang dia kumpulkan ke dalam kantong plastik, setelah itu membungkuk dan
menggapai-gapai di kolong sedannya yang mewah. Tak berapa lama dia sudah
berhasil mendapatkan kentangku dan mengembalikannya ke dalam kantong.
“Shukriya.” Ujarku sembari bergegas.
“Kenapa kau harus berterimakasih. Ini
jelas salahku. Aku harusnya minta maaf kepadamu.” Timpal lelaki itu.
Aku mengangguk. “Aku sudah
memaafkanmu. Tolong jangan sampai ada yang bernasib sama sepertiku. Kamu tadi
mengantuk ya. Atau mabuk? Jika mengantuk atau mabuk sebaiknya tidak usah
mengemudi.” Sindirku.
Lelaki itu tertawa. Tapi sebelum dia menyelesaikan
tawanya aku sudah berlalu dari hadapannya.
“Hai, siapa namamu?” lelaki itu
berteriak.
Aku menghentikan langkah, menoleh dan
menyebutkan namaku kepadanya. “Arti.”
“Aku Javed Kaseem.” Lelaki itu
memperkenalkan dirinya setelah mendengar namaku. Masih dengan senyuman yang
bertengger di kedua bibirnya.
Aku mengangguk dan berlalu dari
hadapannya. Meski aku yakin bahwa lelaki yang menyebut dirinya Javed itu masih
menatap punggungnya. Itulah pertemuan pertamaku dengan Javed. Dan siapa sangka,
takdir mempertemukanku dengan Javed di kampus, di fakultas yang sama dan di
jurusan yang juga sama. Benar-benar sebuah kebetulan.
“Itu bukan kebetulan, tapi memang
Tuhan sudah merencanakan semua ini. Bahkan sebelum kita berdua lahir.” Ujar Javed
ketika aku mengatakan kepadanya bahwa pertemuan kami berdua benar-benar sebuah
kebetulan.
Aku tidak ingin menceritakan kepadamu
sebuah kisah roman picisan. Tapi yang jelas, aku harus jujur mengatakan
kepadamu bahwa kami berdua saling jatuh cinta satu sama lain. Javed
menceritakan hubungan kami kepada keluarganya. Tapi mereka semua menolak
hubungan kami berdua dengan alasan bahwa Javed sudah dijodohkan jauh-jauh hari
dengan saudara sepupunya. Anak paman dari pihak ayahnya.
“Aku tidak akan pernah menyerah,
sampai keluargaku merestui hubungan kita.” Ujar Javed suatu hari di kantin
kampus sembari menatapku. Seakan-akan tatapan itu meyakinkan diriku bahwa
semuanya baik-baik saja. “Sab theek hai.”
Dan aku percaya dengan semua apa yang
dikatakan Javed sehingga entah bagaimana semua itu berawal, yang jelas keluarga
Javed merestui hubungan kami. Kami menikah, aku pulang ke garut bersamanya dan
melangsungkan akad nikah di depan penghulu. Setelah itu, berlangsung pesta
pernikahan kecil-kecilan di kampungku yang sunyi dan tersembunyi dari
keramaian. Selang tiga hari kami kembali ke Kalkota. Disana begitu kontras. Keluarga
Javed menyelenggarakan pesta yang begitu meriah sampai-sampai aku sendiri
begitu lelah karena banyaknya hal yang harus kami berdua lakukan.
Javed selalu melontarkan mantra ‘Sab
theek hai. Semuanya baik-baik saja.’ Tapi itu ternyata tidaklah mempan. Aku selalu
meyakinkan diriku bahwa semua kisah kehidupanku akan baik-baik saja selama
javed selalu berada di sisiku. Tapi siapa yang akan menjamin dia selalu
membersamaiku? Siapa? Bahkan aku sendiri tidak yakin setelah tumor ganas itu
menggerogoti rahimku sehingga dokter memutuskan untuk mengangkatnya sebelum
benar-benar menyebar ke organ lain di dalam tubuhku yang ringkih dan lemah.
Sejak saat itu kehidupanku seakan
kelam dan kehilangan warna. Tidak hanya hidupku, tapi juga kehidupan Javed dan
keluarganya juga berubah. Sikap mereka berubah. Aami menuntut Javed untuk
segera punya anak. Dia ingin menimang cucu, sementara aku tidak bisa memberikan
cucu kepada mertuaku yang terkadang terlalu cerewet ketika berbicara soal anak
atau cucu.
Diam-diam, Javed menjalin hubungan
dengan seorang gadis tanpa sepengetahuanku. Aku mengetahuinya ketika suara
panggilan masuk di handphone Javed mengusikku yang tengah tercenung. Sementara Javed
tengah membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku mengangkatnya dan dari seberang
sana aku mendengar seorang wanita dengan suara yang mendayu dan menggoda. “Mere
janu, aku merindukanmu. Kapan kita bertemu. Aku akan menunggumu di tempat
biasa.”
Dan dari sanalah titik pertengkaran
kami berdua. Semuanya telah berubah tanpa pernah aku duga sebagaimana
pertemuanku dengan Javed yang juga tak pernah aku duga.
“Harusnya kau tahu diri. Kau tidak
bisa memeriku anak dan memberi Aami cucu. Jadi apa salahnya jika aku memiliki
hubungan dengan gadis lain.”
“Setidaknya kau bilang baik-baik.”
“Aku berhak melakukannya tanpa perlu
izin darimu, Arti.” Ketus Javeed. Hatiku hancur berkeping-keping.
Sudahlah, aku tidak akan berpanjang
lebar menceritakan semua kepedihan ini. Itu terlalu sakit untuk aku ulang
sebagaimana membaca ulang kisah tragis laila dan majnun. Aku tidak ingin
membuang air mataku hanya mengenang semua kepahitan yang pernah aku lalui dalam
hidupku. Biarlah semua itu menjadi prasasti masa lalu.
Tapi sepertinya aku tidak layak
menyebutnya prasasti sejak Safena menjejakan kakinya di lantai rumahku untuk
memintaku kembali ke Kolkata.
“Aapi, Javeed Bhai terbaring di
ranjang rumah sakit sejak dua bulan yang lalu karena kecelakaan. Sedannya menabrak
pohon di pinggir jalan. Dia koma selama sebulan lamanya. Syukurlah, setelah itu
dia kembali sadar. Tapi dia selalu menyebut namamu.” Safena menghentikan
kata-katanya dan mengusap air mata yang lolos di kedua pelupuk matanya. Aku tahu
sejak tadi dia mencoba menahan kepedihan lewat air mata yang berusaha dia
tahan.
“Aku datang kesini karena aku tahu
Javeed sangat menginginkanmu. Dia selalu menyebut namamu bahkan aku baru sadar
dia masih menyimpan banyak potretmu. Dia masih mencintaimu, Aapi.”
Aku menghela napas panjang. Benarkah dia
masih mencintaiku? Sementara aku sendiri tidak pernah memungkiri bahwa aku
masih menyimpan kenangan-kenangan indah itu di dalam prasasti hatiku.
“Maukah kau kembali, hanya untuk
menjenguk dan melihatnya. Itu saja sudah cukup.” Safena kembali memecahkan
keheningan yang tercipta karena sikap diamku.
Aku mendongakan kepala. Tersenyum dan
mengangguk pelan. Entahlah, apakah aku siap melihat Javeed? Sementara aku
meyakinkan diriku bahwa aku telah memaafkannya.
Keterangan istilah
Aapi : panggilan untuk kakak
perempuan
Meere Aapi : kakakku
Me thik hu : aku baik-baik saja
Aabu : ayah (urdu)
Aami : ibu (urdu)
Khandan : keluarga
Mujhse maaf karna : aku minta maaf
Bhai : Saudara laki-laki, mas, abang
Bersambung
No comments:
Post a Comment