6 Feb 2020

Senja di Kolkata


Sore yang gerimis. Saat itu aku tidak memiliki kegiatan apa pun selain melihat Jani dan Juan, dua keponakanku bertengkar memperebutkan bola kasti tepat di hadapanku. Mereka bergumul di atas karpet layaknya anak kucing yang bertengkar mainan. Aku hanya tersenyum simpul melihat tingkah dua bocah kembar berusia empat tahun itu. Tiba-tiba –entah dari mana datangnya- timbul pikiran di benakku untuk memiliki anak yang lahir dari rahimku sendiri. Anak yang akan mewarnai hari-hari tuaku dan menjadi permata hatiku. Mengobati rasa sepi yang semakin hari semakin menggerogotiku. 

“Kembalikan, itu bola Juan.” Seru si Juan dengan mimik marah.

“Bukan, ini punya Jani. Wee…” balas Jani sembari meleletkan lidah.

Kali ini aku tertawa. Maaf, aku harus menginterupsimu dengan kisah mereka berdua. Ayolah, jika kamu ada di sini, kamu tidak akan bisa mengabaikan senyum tanpa dosa diantara mereka berdua. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakan bayi dan anak-anak dengan wajah yang terlihat lucu di mata orang dewasa? Kenapa mereka terlihat begitu menggemaskan dan selalu mengundang rasa cinta dari orang-orang dewasa di sekitarnya? Mungkin karena mereka tidak memiliki dosa dan tidak pernah berpikir untuk mencurangimu. Mungkin bayi dan anak kecil tidak pernah tahu arti dari kosakata ‘pengkhianatan’ atau ‘kecurangan’. Ya, mungkin itulah alasannya kenapa aku mencintai anak-anak. Dan kamu juga kan?

Aku sangat menginginkan anak. Tapi itu sepertinya satu hal yang mustahil seperti mustahilnya seekor ayam bisa terbang layaknya elang. Rahimku telah diangkat dua tahun yang lalu karena kanker yang menggerogotinya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. 

“Jani, Juan, ayo mandi sayang.” Itu teriakan Hasna, adik perempuanku sekaligus ibu dari dua malaikat kecil yang sekarang masih bergumul di hadapanku. 

“Ayo, mandi dulu bareng Ummi.” Bujukku kepada dua bocah kecil itu. Tanpa menunggu lama mereka berlarian menuju arah belakang, menghampiri ibunya yang sudah siap dengan dua ember air hangat. Cuaca hari ini sangat dingin dan tentunya dua bocah itu tidak kuat mandi dengan air dingin.
Sudah dua malam mereka menginap di rumah ini, rumah peninggalan almarhum emak dan bapak. Hampir sepekan dua kali Hasna selalu menyempatkan diri untuk menginap di rumah ini hanya untuk mengusir rasa suwung dan menghilangkan kesepian yang selalu menyergap hatiku.

Kini aku tidak memiliki objek yang bisa aku perhatikan selain melihat rintik-rintik hujan lewat kaca jendela yang buram. Tiba-tiba samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari arah luar. Suara langkah kaki itu semakin mendekat, mengetuk papan teras depan yang terbuat dari kayu jati. Aku menduga yang datang adalah seseorang yang memakai sepatu. Dan setelah itu disusul oleh ketukan di daun pintu.

“Assalamu alaikum.” Sapa seseorang dari luar. Tunggu, aku sepertinya familiar dengan suara itu. Tapi siapa?

“Waalaikum Salam.” Jawabku, tanpa menunggu lama segera beranjak dari sofa kumal -yang entah keberapa ribu kalinya menjadi sandaran punggungku- untuk membuka pintu. Daun pintu terbuka, aku menemukan siluet tubuh yang membawaku menuju masa lalu. Membawaku kepada kepedihan yang selama ini aku simpan di arsip hatiku.

“Safena?”

“Aapi…bagaimana kabarmu.” Ujar sosok gadis cantik itu dengan senyum canggung. Sepertinya perpisahan satu tahun setengah telah membuat hubungan antara diriku dengannya menjadi canggung seperti sekarang ini. Tidak salah lagi, dialah Safina Kaseem, mantan adik iparku. Maskudnya, dia adalah adik dari mantan suamiku dulu. Kau penasaran bagaimana kata ‘suami’ itu harus diimbuhi ‘mantan’ di depannya? Nanti aku akan cerita kepadamu.

“Bagaimana kabarmu, Meere Aapi?” ini tanya yang kedua yang terlontar dari mulut safina karena aku mengabaikan tanya yang pertama. Aku terlalu shock sehingga lupa menjawabnya.

“Aku baik-baik saja.” Jawabku dengan senyuman simpul.” Dan kamu sendiri bagaimana?”

“Me thik hu.”

“Dan Javed, Aabu, Aami, Khandan?”

“Semua baik-baik saja.”

Javed. Nama itu pernah terpahat di hatiku. Dan nama itu juga yang telah menorehkan luka di hatiku sehingga aku harus menghapus semua kenangan yang pernah aku renda bersama lelaki itu. Memang, orang bilang melenyapkan kenangan yang sudah terpatri itu seperti membakar besi hingga meleleh. Butuh waktu yang lama untuk benar-benar meleburnya. Tak peduli kenangan manis atau kenangan pahit, semuanya sama saja.

Dulu, aku bertemu dengan Javed di AMU. Aku seorang mahasiswi kere dari pedalaman Garut mencoba peruntungan untuk mengirimkan aplikasi lamaran beasiswa pendidikan bachelor degree yang ditawarkan kedubes India. Dan hasilnya tidak pernah dibayangkan, aku berhasil mendapatkannya. Allah Maha Baik. Selain meluluskan mimpiku untuk melanjutkan study, ternyata beasiswa itu juga jalan untuk menemukan jodohku di negeri tujuan.


Semua bermula dari satu hal yang tidak pernah aku duga di hari pertama kehadiranku di Kolkata. Terjadi begitu saja. Malam itu, Sebuah mobil berwarna hitam menyerempetku yang tengah berjalan di pinggir jalan sembari menjinjing belanjaan di pinggiran kota Kolkata. Plastik sayuran dan buah-buahan yang aku bawa terlempar da nisi kantung plastic berupa sayur, tomat dan kentang berhamburan di tengah jalan.  Jelas aku merutuk. Apakah pengemudi sedan hitam itu tidak memiliki mata sehingga bisa-bisanya menyerempet pejalan kaki sepertiku. 

Si pengemudi menghentikan kendaraannya. Syukurlah. Itu artinya dia bukan pengemudi bajingan yang melarikan diri dari tanggung jawab. Pintu sedan hitam itu terbuka dan sesosok lelaki dengan setelan yang perlente turun, menghampiriku yang sibuk memunguti tomat dan kentang yang berserakan di atas aspal. Sial, sebagian tomat itu hancur.

“Mujhse maaf karna.” Ujarnya dengan mimic khawatir sembari menatapku. 

Aku mendongakan mata dan menyipitkan mataku. Kekesalanku masih belum sirna. “Apakah kau bisa membantuku memunguti tomat dan kentang?”

“Yeah, sure.” Balasnya dan dengan sigap, kedua tangannya mengumpulkan kentang yang kebetulan tergeletak menyedihkan di bawah sepatu botnya. 

“Dan ada dua buah kentang di bawah mobilmu.” Seruku sembari menunjuk dua buah kentang yang berada di kolong mobil sedannya.

Lelaki itu tersenyum. Mengembalikan tiga kentang yang dia kumpulkan ke dalam kantong plastik, setelah itu membungkuk dan menggapai-gapai di kolong sedannya yang mewah. Tak berapa lama dia sudah berhasil mendapatkan kentangku dan mengembalikannya ke dalam kantong.

“Shukriya.” Ujarku sembari bergegas.

“Kenapa kau harus berterimakasih. Ini jelas salahku. Aku harusnya minta maaf kepadamu.” Timpal lelaki itu.

Aku mengangguk. “Aku sudah memaafkanmu. Tolong jangan sampai ada yang bernasib sama sepertiku. Kamu tadi mengantuk ya. Atau mabuk? Jika mengantuk atau mabuk sebaiknya tidak usah mengemudi.” Sindirku.

Lelaki itu tertawa. Tapi sebelum dia menyelesaikan tawanya aku sudah berlalu dari hadapannya.
“Hai, siapa namamu?” lelaki itu berteriak. 

Aku menghentikan langkah, menoleh dan menyebutkan namaku kepadanya. “Arti.”

“Aku Javed Kaseem.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya setelah mendengar namaku. Masih dengan senyuman yang bertengger di kedua bibirnya.

Aku mengangguk dan berlalu dari hadapannya. Meski aku yakin bahwa lelaki yang menyebut dirinya Javed itu masih menatap punggungnya. Itulah pertemuan pertamaku dengan Javed. Dan siapa sangka, takdir mempertemukanku dengan Javed di kampus, di fakultas yang sama dan di jurusan yang juga sama. Benar-benar sebuah kebetulan.

“Itu bukan kebetulan, tapi memang Tuhan sudah merencanakan semua ini. Bahkan sebelum kita berdua lahir.” Ujar Javed ketika aku mengatakan kepadanya bahwa pertemuan kami berdua benar-benar sebuah kebetulan.

Aku tidak ingin menceritakan kepadamu sebuah kisah roman picisan. Tapi yang jelas, aku harus jujur mengatakan kepadamu bahwa kami berdua saling jatuh cinta satu sama lain. Javed menceritakan hubungan kami kepada keluarganya. Tapi mereka semua menolak hubungan kami berdua dengan alasan bahwa Javed sudah dijodohkan jauh-jauh hari dengan saudara sepupunya. Anak paman dari pihak ayahnya.

“Aku tidak akan pernah menyerah, sampai keluargaku merestui hubungan kita.” Ujar Javed suatu hari di kantin kampus sembari menatapku. Seakan-akan tatapan itu meyakinkan diriku bahwa semuanya baik-baik saja. “Sab theek hai.”

Dan aku percaya dengan semua apa yang dikatakan Javed sehingga entah bagaimana semua itu berawal, yang jelas keluarga Javed merestui hubungan kami. Kami menikah, aku pulang ke garut bersamanya dan melangsungkan akad nikah di depan penghulu. Setelah itu, berlangsung pesta pernikahan kecil-kecilan di kampungku yang sunyi dan tersembunyi dari keramaian. Selang tiga hari kami kembali ke Kalkota. Disana begitu kontras. Keluarga Javed menyelenggarakan pesta yang begitu meriah sampai-sampai aku sendiri begitu lelah karena banyaknya hal yang harus kami berdua lakukan.

Javed selalu melontarkan mantra ‘Sab theek hai. Semuanya baik-baik saja.’ Tapi itu ternyata tidaklah mempan. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa semua kisah kehidupanku akan baik-baik saja selama javed selalu berada di sisiku. Tapi siapa yang akan menjamin dia selalu membersamaiku? Siapa? Bahkan aku sendiri tidak yakin setelah tumor ganas itu menggerogoti rahimku sehingga dokter memutuskan untuk mengangkatnya sebelum benar-benar menyebar ke organ lain di dalam tubuhku yang ringkih dan lemah.

Sejak saat itu kehidupanku seakan kelam dan kehilangan warna. Tidak hanya hidupku, tapi juga kehidupan Javed dan keluarganya juga berubah. Sikap mereka berubah. Aami menuntut Javed untuk segera punya anak. Dia ingin menimang cucu, sementara aku tidak bisa memberikan cucu kepada mertuaku yang terkadang terlalu cerewet ketika berbicara soal anak atau cucu. 

Diam-diam, Javed menjalin hubungan dengan seorang gadis tanpa sepengetahuanku. Aku mengetahuinya ketika suara panggilan masuk di handphone Javed mengusikku yang tengah tercenung. Sementara Javed tengah membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku mengangkatnya dan dari seberang sana aku mendengar seorang wanita dengan suara yang mendayu dan menggoda. “Mere janu, aku merindukanmu. Kapan kita bertemu. Aku akan menunggumu di tempat biasa.”

Dan dari sanalah titik pertengkaran kami berdua. Semuanya telah berubah tanpa pernah aku duga sebagaimana pertemuanku dengan Javed yang juga tak pernah aku duga.

“Harusnya kau tahu diri. Kau tidak bisa memeriku anak dan memberi Aami cucu. Jadi apa salahnya jika aku memiliki hubungan dengan gadis lain.”

“Setidaknya kau bilang baik-baik.”

“Aku berhak melakukannya tanpa perlu izin darimu, Arti.” Ketus Javeed. Hatiku hancur berkeping-keping.

Sudahlah, aku tidak akan berpanjang lebar menceritakan semua kepedihan ini. Itu terlalu sakit untuk aku ulang sebagaimana membaca ulang kisah tragis laila dan majnun. Aku tidak ingin membuang air mataku hanya mengenang semua kepahitan yang pernah aku lalui dalam hidupku. Biarlah semua itu menjadi prasasti masa lalu.

Tapi sepertinya aku tidak layak menyebutnya prasasti sejak Safena menjejakan kakinya di lantai rumahku untuk memintaku kembali ke Kolkata. 

“Aapi, Javeed Bhai terbaring di ranjang rumah sakit sejak dua bulan yang lalu karena kecelakaan. Sedannya menabrak pohon di pinggir jalan. Dia koma selama sebulan lamanya. Syukurlah, setelah itu dia kembali sadar. Tapi dia selalu menyebut namamu.” Safena menghentikan kata-katanya dan mengusap air mata yang lolos di kedua pelupuk matanya. Aku tahu sejak tadi dia mencoba menahan kepedihan lewat air mata yang berusaha dia tahan.

“Aku datang kesini karena aku tahu Javeed sangat menginginkanmu. Dia selalu menyebut namamu bahkan aku baru sadar dia masih menyimpan banyak potretmu. Dia masih mencintaimu, Aapi.”

Aku menghela napas panjang. Benarkah dia masih mencintaiku? Sementara aku sendiri tidak pernah memungkiri bahwa aku masih menyimpan kenangan-kenangan indah itu di dalam prasasti hatiku.

“Maukah kau kembali, hanya untuk menjenguk dan melihatnya. Itu saja sudah cukup.” Safena kembali memecahkan keheningan yang tercipta karena sikap diamku.

Aku mendongakan kepala. Tersenyum dan mengangguk pelan. Entahlah, apakah aku siap melihat Javeed? Sementara aku meyakinkan diriku bahwa aku telah memaafkannya.


Keterangan istilah
Aapi : panggilan untuk kakak perempuan     
Meere Aapi : kakakku
Me thik hu : aku baik-baik saja
Aabu : ayah (urdu)
Aami : ibu (urdu)
Khandan : keluarga
Mujhse maaf karna : aku minta maaf
Bhai : Saudara laki-laki, mas, abang
 
Bersambung
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment