3 Feb 2020

Aborsi


“Kamu harus menggugurkan kandunganmu.” Bisik Reza di telinga Sari. Bisikan itu nyaris tidak terdengar sama sekali. Tapi bagi Sari, bisikan itu tak lebih seperti gelegar petir di siang bolong. Dia tidak bisa membayangkan sebelumnya bahwa Reza akan mengatakan perkataan seperti itu. Tidak. Bahkan dia sebelumnya berangan-angan tentang senyum yang mengembang di bibir Reza sembari berkata, ‘Aku akan bertanggungjawab. Aku akan menikahimu dan menjelaskan semua ini kepada ibumu.’ Tapi itu tidak terjadi. Itu hanya khayalan.

“Kenapa kamu menyuruhku untuk aborsi?” tanya Sari dengan suara bergetar. Ada nada pedih, kecewa dan marah yang campur aduk dan mengoyak hati serta nuraninya. Ada perih yang tertanam di kedalaman jiwanya. Rasa percayanya kepada Reza memudar. 

“Karena itu jalan terbaik, sayang.” Jelas Reza. Tatapan mata elangnya masih menghunjam sepasang mata kekasihnya. Itu tandanya dia serius dengan semua perkataannya. “Jika mau, aku akan mengantarkanmu ke dokter kandungan yang memiliki praktek. Aku dengar dia juga biasa memberi layanan aborsi.”

Sari menggeleng lemah. Gelengan itu bukan bermakna ‘tidak’ atau penolakan. Itu hanya ekspresi rasa gamang dan ragu yang menguasainya. Banyak pertimbangan yang harus dia selesaikan. Banyak perdebatan yang mengisi benaknya.

“Atau kamu mau aborsi di dukun beranak. Aku juga tahu seorang dukun beranak yang diam-diam biasa memberi layanan aborsi. Tapi letaknya agak jauh.”

Sari masih terdiam. Dia menunduk untuk beberapa detik lamanya dan kembali menatap mata kekasihnya. “Beri aku waktu sampai besok.” Setelah itu dia mendesah panjang.
“Sudah berapa bulan?”

“Aku menyadari terlambat datang bulan dua minggu yang lalu. Dan kemarin sore aku mengetahuinya lewat tespek.” Jawab Sari masih dengan suara pelan.

“Yakinlah Sar, aborsi jalan terbaik untuk kita.” Untuk kali kedua Reza meyakinkan kekasihnya. Kali ini tangan kanannya yang kukuh memegang dagu Sari dan mendongakan kepalanya sehingga mereka kembali bersitatap.

“Tidak adakah jalan lain, Rez?”

“Jalan lain? Maksudmu?”

“Tidak bisakah kau bertanggungjawab? Mungkin kamu bisa menikahiku dan pekan besok bisa pulang dan melamarku kepada bapak.”

“Tidak semudah itu.” Jawab Reza cepat. Roman mukanya mendadak berubah seakan-akan apa yang dikatakan Sari barusan adalah vonis seorang hakim yang dilontarkan kepada terdakwa dan harus segera disanggah oleh seorang pengacara. Dia harus bersikap defensive.
“Kenapa? Apanya yang tidak mudah? Jika kamu bisa menghamiliku dengan mudah, kenapa kamu tidak bisa menikahiku dengan cara yang sama?”

Reza terdiam.

Sari bangkit dari bangku taman dan berbicara untuk yang terakhir kalinya, “Aku harus memikirkannya. Besok aku akan menghubungimu lagi.”
“Perlu aku antar, sayang?”

“Tidak perlu.” Sambar Sari dengan nada ketus. Dia berlalu seiring dengan rintik gerimis yang berubah  menjadi rintik hujan yang semakin besar. Di ujung taman sana dia bisa memesan taksi online untuk bisa sampai ke kostan.

***
Sari sudah sering mendengar tentang cerita orang yang hamil di luar nikah. Diantara mereka selalu memiliki kisah yang berbeda satu sama lain. Ada yang putus asa da nada juga yang berusaha untuk merajut kehidupan baru, tergantung bagaimana kehidupan mempermaikan mereka. Apakah takdir akan berlaku baik atau bahkan berlaku kejam sehingga tidak akan mengampuni mereka karena noda yang sudah terlanjur ditorehkan di dahi mereka sebagai perempuan lugu. Sari pernah membaca kisah seorang mahasiswi yang menggantung dirinya dengan seprai di kamarnya yang sempit demi mendengar kekasih yang telah menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Memikirkan hal itu, mata Sari tertuju pada langit-langit kamar kostan. Jika dia melakukan hal yang sama, dimana kira-kira dia bisa menggantungkan seprei, mengingat langit-langit kamarnya tertutup dan tidak ada palang kayu yang bisa dijadikan pangkal dari simpul sepreinya. Itu pun jika dia punya nyali untuk mengakhiri hidupnya hanya karena lelaki tak tahu diri. Oh, atau jangan-jangan dirinya yang tidak tahu diri dan terlalu bodoh?

Sebenarnya, ada banyak cara untuk bisa mati bagi orang-orang yang putus asa. Kali ini Sari berpikir tentang cara-cara lain yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang putus asa dengan kehidupannya. Putus asa karena bisnis, korban kedzaliman, kemiskinan, penderitaan dan rasa sakit. Diantara mereka ada yang menenggak racun, over dosis obat tidur, meloncat ke arah kereta api yang melesat, menjatuhkan diri dari gedung tertinggi atau dari atas jembatan atau…Ah, membayangkan semua itu saja membuat Sari merinding. 

Bagi Sari, mengakhiri hidup bukan hal yang mudah. Sama tidak mudahnya mengikuti apa yang disarankan Reza untuk menggugurkan jabang bayi yang baru tumbuh di rahimnya itu. Sama tidak mudahnya untuk memikirkan membiarkan si jabang bayi tumbuh. Ya, mungkin opsi terakhir bisa saja dia lakukan, tapi Sari berpikir tentang konsekuensi yang akan dia hadapi. 

Sari membayangkan perutnya semakin membengkak dan menggelembung. Kemudian para tetangga, teman-teman, dosen, bahkan mungkin kucing yang sering nongkrong di teras depan pun akan menatapnya dengan tatapan aneh. Dia bisa membayangkan gossip para tetangga di hadapan mang Romli, tukang sayur yang selalu mangkal di depan kostan putri. 

‘Eh, Jeng Eny. Aku lihat kok perut si Sari semakin hari makin gembung ya.’
‘Jangan-jangan dia hamil.’
‘Idih…emang jaman sekarang udah edan ya. Ya gitu, orang tuanya minta anaknya belajar yang serius, eh malah main wik-wik.’

‘Makanya jeng, saya nggak mau si wiwin pisah sama saya. Pokoknya saya nggak mau dia hidup di kostan. Ya gitu, rentan.’

‘Tergantung anaknya sih bu. Kalau nggak nakal ya nggak mungkin hamil di luar nikah.’
Membayangkan isi pergosipan ibu-ibu tetangga tentang kehamilannya saja membuat Sari merinding ngeri. Badannya mendadak panas dingin. 

Dia juga bisa membayangkan tatapan mencemooh dari teman-teman sesama kostan dan tanda tanya yang selalu mereka perlihatkan lewat tatapan mata.

Jika dia memilih opsi terakhir, bagaimana mungkin dia bisa menyembunyikan kehamilannya? Sari juga pernah mendengar tentang orang-orang hamil yang bahkan orang lain tidak menyadari kehamilannya. Itu dialami oleh orang-orang yang memiliki bobot tubuh lebih. Sementara dia? Tubuh tirusnya tidak akan pernah bisa menyembunyikan perut yang perlahan menggelembung. Akankah dia mengarang cerita bahwa dia tertimpa penyakit aneh dan misterius? Ya, bisa saja dia mengarang cerita tentang penyakit yang membuat perutnya membusung sebagaimana yang biasa dia lihat di laman-laman media social kampanye penggalangan dana bagi para pengidap penyakit aneh. Sari menggeleng cepat. Itu bukan pilihan tepat. Bisakah dia berbohong? Bahkan selama ini dia tidak memiliki keahlian dan kelihaian dalam berbohong. Lalu jika seandainya dia berbohong, sampai kapan dia bisa menutupi aibnya yang busuk tersebut? Kelak, tepat setelah Sembilan bulan lamanya si jabang bayi akan mendesak rahimnya supaya bisa menghirup udara kebebasan di luar. Perutnya akan kontraksi dan semua aib itu akan terbongkar juga. Bahkan bukan hanya aib tentang si jabang bayi yang lahir tanpa ayah, tapi juga ditambah parah dengan aib kebohongan yang dia sebarkan selama Sembilan bulan lamanya.

‘Gampang!’ Tiba-tiba suara di dalam hatinya menyambar dengan cepat. Suara yang terdengar asing dan aneh. Suara yang penuh dengan aura kejahatan sekaligus rasa ganjil yang membuat hati Sari gigil. 

Suara itu kembali berkata, ‘Ketika kontraksi itu tiba kamu bisa bersembunyi di dalam toilet dan membenamkan bayimu ke dalam closet. Atau kamu bisa berlari dan mencari perkebunan dan semak-semak yang sepi. Dan bisa membuang bayimu di semak-semak. Habis perkara.’

Sari semakin menggigil. Dia marah kepada dirinya sendiri karena entah kenapa suara itu bisa masuk ke dalam benaknya. Manusia macam apa aku ini? Sari mengakui bahwa dirinya tidak lagi suci dan penuh dengan noda dosa. Tapi dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang pembunuh. Benak sari meloncat pada kucing piaraannya di rumah dulu. Dia masih ingat ketika si belang melahirkan tiga ekor anaknya yang lucu-lucu. Si belang mencintai anak-anaknya dan menyusui tiga anaknya. Menjilatinya dengan penuh kasih dan terbaring mendengkur dengan tiga ekor anak kucing yang berlendotan di putingnya yang berjajar rapi. Tidak ada hewan yang membunuh anaknya sendiri, tapi kenapa manusia…

Sari menggelengkan kepalanya dan kali ini air mata merembes di kedua kelopak matanya.
Kini benak sari meloncat kepada opsi sebelumnya; menggugurkan si jabang bayi yang tak berdosa yang kini bersemayam dengan nyaman di dalam rahimnya. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Dia bisa terbebas dari aib. Tapi mungkin dia tidak terbebas dari rasa bersalah sepanjang hidupnya. Atau bisa jadi dia juga ikut binasa Karena masih ada sisa-sisa si jabang bayi yang tertinggal di Rahim. Rahimnya rusak, dia akan menjadi perempuan mandul dan tidak akan pernah ada lelaki yang mau menikah dengan perempuan mandul.

Sari berteriak frustasi dan menangis sekencang-kencangnya.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment