Akhir-akhir ini hangat berita tentang WNI eks kombatan ISIS yang berada di Suriah. Konon, jumlah mereka lebih dari 600 orang. Wow, ini angka yang cukup besar jika dibanding negara-negara lain penyumpang ISISer. Meski angka dari negara-negara eropa jauh lebih besar. Semua negara sepakat bahwa mereka harus menolak eks ISISers kembali pulang dalam artian negara telah mencabut kewarganegaraan mereka. Contoh nyata adalah apa yang dilakukan inggris, Belanda dan negara Eropa pada umumnya. Bagaimana dengan Indonesia? Muncul polemic antara yang menyetujui untuk menerima mereka kembali atau menolak mereka mentah-mentah.
Well, sebenarnya saya tidak peduli dan tidak mau tahu apakah
mereka akan diterima kembali di Indonesia sebagai WNI atau tidak. Saya juga
tidak perlu berpusing ria memikirkan hal ini dan beropini kesana kemari. Track
record ISIS yang begitu mengerikan membuat saya tidak memiliki empati sama
sekali, alih-alih justru merasa mual meski hanya mendengar namanya. Para khawarij
tidak pantas untuk dikasihani dan diratapi
Tapi kemudian semua itu berbalik 180 derajat demi membaca
beberapa berita yang sebelumnya belum pernah saya baca. Saya membaca tentang
para janda ISISers yang ditinggal mati suaminya atau terpaksa berpisah dengan
suaminya karena sang suami harus mendekam di penjara. Saya juga membaca tentang
anak-anak yang kembali di kirim ke Negara asal mereka, sementara sang ibu tidak
diperbolehkan ikut dengan sang anak karena kewarganegaraannya dicabut. Pada akhirnya,
sang anak dikembalikan kepada anggota keluarga di Negara asalnya, jika tidak
ada, maka akan diasuh oleh Negara.
Bisa kau bayangkan? Betapa hancur hati sang anak. Pun hati
sang ibu. Lalu bagaimana dengan para lelaki atau para suami? Baiklah, disini
saya akan membahasnya.
Dulu, saya pernah begitu takjub dan terbius dengan semua
propaganda ISIS yang begitu melenakan, menjanjikan dan menggairahkan. Bak
seruan dari langit yang akan memberikan kepada kita jaminan akan tegaknya
khilafah ala minhajin nubuwah yang telah dijanjikan oleh utusan yang mulia,
ambiyaul mursalin. Saya begitu percaya bahwa Allah Subhanahu Wata'ala akan
menurunkan kemenangan dan kemuliaan kepada islam lewat keberadaan ISIS. Tapi
lambat laun saya mulai kecewa karena saya terlanjur percaya dengan begitu mudah
terhadap propaganda mereka. Saya mulai membaca tentang keburukan mereka. Memenggal
dan membakar para tawananan hidup-hidup, memperkosa dan menculik perempuan
Yazidi, mengkafirkan jihadis diluar kalangan mereka dan setumpuk kengerian
lainnya. Tiba-tiba, ISIS telah berubah menjadi monster di mataku. Monster yang
telah merusak nama baik islam yang begitu anggun.
Perlu dicatat, bukan berarti saya anti khilafah atau anti
syariat. Saya masih percaya kelak islam akan kembali jaya dan kemuliaan islam
akan kembali bangkit dalam sistem khilafah. Tapi bukan khilafah Ala ISIS.
Lalu, tidakkah saya berpikir bahwa diantara para pemuda yang
konon memiliki semangat yang tinggi itu terbius oleh propaganda ISIS. Sama
seperti ketika saya terbius, mereka berbondong-bondong hijrah ke Suriah. Memimpikan
bumi yang berkah dibawah naungan khilafah. Mereka bangga menjadi ISISers. Tapi pada
akhirnya mereka sadar. Mereka korban propaganda. Mereka sadar bahwa ISIS tidak
seindah yang dibayangkan. Mereka berperang dengan terpaksa dan dibawah tekanan.
Mau pulang tidak mungkin.
Bagaimana dengan para wanita? Mereka dibujuk atau sama-sama
takjub seperti para suami mereka. Lalu, para gadis? Sama, mereka takjub dengan
keberadaan ISIS sehingga harus membohongi atau melarikan diri dari keluarga
mereka dan ‘hijrah’ ke negeri Suriah. Pada akhirnya, mereka menikah dengan
kombatan ISIS dan memiliki anak dari pernikahan tersebut. Suaminya mati di
medan laga, menjadi janda, menikah kembali, anak kembali lahir dari suami ke
sekian. Hingga pada akhirnya ISIS hancur, para lelaki mati atau dipenjara. Para
perempuan itu bingung dan menyesali nasib mereka.
Betapa sering saya membaca kisah-kisah mereka yang menyesal
dan ingin kembali pulang. Saya juga membaca bahwa mereka menangis putus asa
ketika kewarganegaraan mereka dicabut dan tidak lagi diakui oleh Negara asalnya.
Wajar. Menurutku wajar jika negara asal tidak mau menerima
mereka kembali. Terlalu besar resiko yang harus ditanggung oleh negara jika
mantan para pengikut kelompok khawarij itu kembali pulang. Tapi suatu hal yang
harus dipikir ulang bahwa banyak diantara mereka yang justru korban dari
propaganda ISIS. Mereka korban yang terbius oleh janji-janji ISIS yang
dikemudian hari mereka menyesalinya.
Mereka hanya ingin pulang dan menyesali perbuatan mereka. Menjadi
warga negara yang nggak neko-neko dan bisa berkumpul bersama keluarga mereka di
kampung halaman. Mereka tidak ingin berpisah dengan anak mereka, istri mereka
atau suami mereka.
Saya kembali melihat kepada diri saya sendiri. Mungkin,
seandainya dulu di masa awal kemunculan khawarij ISIS ada yang menawari saya
untuk ikut ‘hijrah’ dengan gratis. Tentu saya akan senang hati ikut bersama
mereka. Dan aku berpikir banyak mereka yang seperti saya. Pergi ke negeri
impian ala ISIS dan berakhir dengan penyesalan karena tidak sesuai dengan
harapan.
Ya, saya setuju mereka kembali diterima di Indonesia. Tentunya
harus dilihat track recordnya. Apa yang mereka lakukan selama menjadi ISISers. Apakah
mereka pelaku kekejaman atau hanya seorang supporters yang hanya tinggal dan
mau tak mau menurut dengan semua intruksi.
Ya, saya peduli mereka dan sudah selayaknya mereka bisa
diterima kembali dan diakui sebagai warga negara setelah menjalani serangkaian
pembinaan.
Tulisan ini hanya opini dari penulis.
No comments:
Post a Comment