Undangan itu mendarat di rumah orang tuaku. Undangan
pernikahan Andri dengan gadis yang belakangan aku tahu bernama Arini. Gadis
muda berparas cantik yang baru saja lulus dari program diploma kebidanan. Itu
yang aku tahu dari cerita ibuku. Jangan tanya bagaimana reaksi ibu dengan
perceraianku. Dia tidak setuju. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah ada wanita lain
yang mengisi hati Andri. Aku teledor dan terlambat menyadari semuanya. Tapi aku
berpikir jika Allah berkehendak ini terjadi, tidak ada yang bisa mencegahnya.
Tidak aku. Tidak Andri. Tidak juga ibu.
Ibu datang ke undangan mantan menantunya. Tapi aku tidak.
Bukan karena aku tidak rela Andri menikah dengan wanita lain setelah bercerai
denganku. Tapi aku masih ingin menyembuhkan luka. Aku tidak menyalahkan andri
karena aku sendiri yang menciptakan luka itu. seandainya aku tidak menggugat dan
meminta cerai, selamanya ini tidak akan terjadi. Tapi sudahlah, tidak baik
berandai-andai dengan takdir. Ustadz bilang, berandai-andai itu pintu setan
untuk menjerumuskan kita kepada sikap tidak rela menerima takdir. Aku rela.
Lebih dari itu, aku takut tidak bisa menahan gejolak
perasaanku jika aku datang ke pernikahan Andri dan Arini. Bagaimana jika
tiba-tiba aku menangis terisak-isak ditengah kebahagiaan mereka berdua.
Bagaimana jika tiba-tiba aku membenci Arini, meski hal ini kecil kemungkinan
terjadi, tapi aku tidak ingin membenci siapa pun.
***
Hari-hari berlalu dan aku berusapa untuk melupakan semua
kepedihan yang aku rasakan. Aku berharap Allah mempertemukan aku dengan lelaki
lain yang lebih baik dari Andri, atau setidaknya setara dengan Andri. Bukan
lelaki ringan tangan, lelaki malas dan lelaki mata keranjang seperti mantan
suami ketiga temanku.
Tapi seiring hari aku merasakan hal yang aneh pada tubuhku.
Pertama, aku mual-mual dan selalu pusing di pagi hari. Kemudian setelah itu aku
menyadari bahwa diriku hamil. Ya Tuhan aku hamil dan aku tidak tahu apakah aku
harus bahagia atau sedih. Aku mulai menghitung mundur dan menyadari bahwa bulan
ini aku terlambat datang bulan. Aku menangis dan menangis. Bagaimana mungkin
aku harus hamil, sementara tiga pekan yang lalu kami bercerai dan sepekan yang
lalu suamiku telah menikah dengan wanita lain.
Hari demi hari perutku semakin membesar dan orang-orang mulai
bertanya. Apakah itu bayi Andri? Tentu saja aku berang mendengar tanya itu,
seakan-akan merekan meragukan siapa ayah jabang bayi yang berada di perutku.
Tentu saja itu anaknya Andri. Seakan mereka meragukan kesucian dan kehormatanku
sebagai wanita yang baik. Mungkin mereka berpikir ada seorang wanita yang
diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil sebagai tanda bahwa suaminya
tersebut tidak mengakui si jabang bayi sebagai anaknya. Atau…ah, terlalu banyak
dugaan dan aku tidak mau peduli dengan semua itu.
Ibuju jelas prihatin. Dia selalu menjaga dan menguatkan
diriku. Hingga suatu hari Andri datang bertamu ke rumah ibu. Aku yakin dia
sudah tahu tentang kehamilanku. Karena alasan itulah dia datang. ibuku
menyambutnya dengan baik tapi aku tidak ingin menemuinya. Terlalu banyak rasa
dan alasan yang menjadi sebab aku tidak ingin menemuinya.
“Andri menunggumu, Mil.” Ujar ibuku yang muncul di pintu
kamar. Aku terkesiap dan menghela napas panjang.
“Suruh pulang aja bu.”
“Lho kok gitu?”
“Mau apa dia datang kesini?” tanyaku kepada ibu.
“Ibu nggak tahu. Katanya Cuma ingin ketemu kamu.” Jelas
ibuku.
“Aku nggak mau ketemu dia bu. Suruh aja dia pulang.”
Aku mendengar ibu menghela napas panjang dan kembali
meninggalkanku sendiri. sekarang aku kembali menangis dengan semua keadaan
rumit yang aku alami. Andai aku tidak bercerai. Andai aku tidak hamil. Andai
Andri tidak menikah lagi. Andai Andri tidak datang kesini. Mau apa dia datang
kesini.
“Mil.” Satu suara baritone terdengar di ambang pintu kamarku.
Kali ini aku lebih terkesiap. Suara itu adalah suara yang familiar di
telingaku. Suara yang selalu aku dengar selama kehidupan rumah tanggaku bersama
Andri. Dia Andri. Jantungku seakan copot dan aku cepat-cepat menoleh ke sumber
suara. Tidak salah lagi. Andri berdiri di ambang pintu kamarku.
“Kamu ngapain disini?!” seruku dan aku kalangkabut mencari
kain yang pantas untuk menutupi tubuhku yang hanya memakai kaus tipis dan
celana selutut. Andri masih berdiri di ambang pintu kamarku dan tersenyum
lebar.
“Kamu hamil?”
“Bisakah kau keluar dari sini?” seruku tak senang.
“Kenapa?”
“Kamu nyadar nggak sih, kamu siapa?” seruku frustasi.
“Aku akan tetap menjadi suamimu jika kamu mau.” Ujar Andri. Kali
ini dia masuk ke dalam ruangan. “Dan kita bisa memperbaiki semuanya.”
“Aku tidak akan mau menyakiti Arini.”
“Kenapa kamu nggak pernah bilang, kalau kamu hamil?”
alih-alih menjawab kekhawatiranku tentang Arini, dia malah bertanya tentang
kehamilanku.
“Aku nggak merasa perlu memberitahumu. Toh aku bukan istri
kamu lagi.” Elakku.
“Tapi aku ayah si bayi.” Balasnya.
Tiba-tiba ada kepedihan yang kembali muncul di hatiku. Mataku
kembali berkaca-kaca. Andri duduk disampingku dan memelukku. Tapi aku berusaha
melepaskan diriku darinya. “Jangan sentuh aku.”
Andri melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua telapak
tanganku dan mempermainkan jarinya disana. “Ustadz bilang, masa iddah seorang
wanita hamil itu sampai dia melahirkan bayinya. Dan itu artinya bisa kembali
rujuk kapan pun kita mau. Maukah kamu kembali, sayang?”
Aku menggeleng kuat-kuat. “Tidak akan pernah! Lupakan aku
Ndri, dan hiduplah bahagia dengan Arini.”
“Bagaimana jika Arini mengizinkan kita kembali?”
“Dan kau akan menceraikannya? Lelaki macam apa kamu, Dri?”
“Tidak. Kita akan hidup bersama. Aku, kamu dan Arini.”
Aku kembali menggeleng dan membayangkan betapa rumitnya
hubunganku nanti.
“Arini juga ada disini. Ayo temui dia. Dia sudah tidak sabar
ingin bertemu denganmu.”
Aku terkesiap untuk yang kedua kalinya.
“Aku tunggu ya.” timpal Andri. Dia berdiri dari ranjangku dan
berlalu dari hadapanku. Detak jantungku kembali terpacu. Apa yang akan kami
lakukan? Bagaimana mungkin dia dan istrinya datang kesini?
Aku segera memakai baju gamis dan kerudungku dan menyusul ke
ruang depan. Benar apa yang Andri katakan. Disana aku melihat seorang perempuan
berkerudung hijau muda duduk di samping Andri. Sementara ibu duduk
membelakangiku. Mereka terlibat percakapan yang begitu akrab. Demi melihat
kemunculanku, perempuan berkerudung hijau muda itu tersenyum lebar dan berdiri.
Aku menghampirinya dan menyalaminya dengan kikuk dan membalas senyumannya
dengan senyuman yang kaku. Tapi dia tidak cukup membalas jabat tanganku. Tapi juga
memelukku. “Kak Mila, gimana kabarnya?”
“Baik.” Jawabku pendek.
“Jabang bayinya gimana?”
“Baik.” Lagi-lagi aku menjawab pendek. Kemudian aku duduk di
samping ibuku dalam diam yang semakin mencekam.
Arini masih menatapku. Dia sepertinya memiliki kepercayaan
diri yang tinggi, lebih dari yang aku duga. Seharusnya aku yang membuat dia
terintimidasi, bukan dia yang membuat segenap perasaanku terintimidasi. Tapi aku
lemah.
Tanpa sungkan Arini bangkit dari sofa tempatnya duduk dan
menghampiriku. Duduk di kursi pelastik yang berada di sampingku. “Kak Mila, aku
bahagia kalau Kak Mila kembali ke Kak Andri.”
“Aku nggak mau menyakitimu.”
“Aku nggak akan merasa tersakiti. Justru aku nggak tega jika
melihat Kak Mila pisah sama Kak Andri. Apalagi kak Mila sekarang hamil. Sebentar
lagi melahirkan.”
Aku menatap Arini sangsi. Kemudian setelah itu menatap Andri.
Ada senyum yang bertengger di bibir Andri dan Arini.
“Lahirannya kapan, kak?” tanya Arini. Kali ini dia tidak
memintaku menjawab iya atau tidak tentang tawarannya untuk kembali.
“Dua minggu lagi, kata dokter.” Jawabku.
“Nanti yang bantu persalinan aku aja ya kak.” Timpalnya. “Aku
akan menganggap anak kakak anakku sendiri nanti. Kali ini tangannya kembali
menggenggam tanganku dan meremasnya. “Dan anggap saja aku adik kak Mila.
Aku menangis. Antara tangis haru dan bahagia. Aku menatap
Andri dan Andri mengangguk kepadaku.
No comments:
Post a Comment