27 Mar 2019

Suami Pengekang (Bagian 2)



Undangan itu mendarat di rumah orang tuaku. Undangan pernikahan Andri dengan gadis yang belakangan aku tahu bernama Arini. Gadis muda berparas cantik yang baru saja lulus dari program diploma kebidanan. Itu yang aku tahu dari cerita ibuku. Jangan tanya bagaimana reaksi ibu dengan perceraianku. Dia tidak setuju. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah ada wanita lain yang mengisi hati Andri. Aku teledor dan terlambat menyadari semuanya. Tapi aku berpikir jika Allah berkehendak ini terjadi, tidak ada yang bisa mencegahnya. Tidak aku. Tidak Andri. Tidak juga ibu.

Ibu datang ke undangan mantan menantunya. Tapi aku tidak. Bukan karena aku tidak rela Andri menikah dengan wanita lain setelah bercerai denganku. Tapi aku masih ingin menyembuhkan luka. Aku tidak menyalahkan andri karena aku sendiri yang menciptakan luka itu. seandainya aku tidak menggugat dan meminta cerai, selamanya ini tidak akan terjadi. Tapi sudahlah, tidak baik berandai-andai dengan takdir. Ustadz bilang, berandai-andai itu pintu setan untuk menjerumuskan kita kepada sikap tidak rela menerima takdir. Aku rela.

Lebih dari itu, aku takut tidak bisa menahan gejolak perasaanku jika aku datang ke pernikahan Andri dan Arini. Bagaimana jika tiba-tiba aku menangis terisak-isak ditengah kebahagiaan mereka berdua. Bagaimana jika tiba-tiba aku membenci Arini, meski hal ini kecil kemungkinan terjadi, tapi aku tidak ingin membenci siapa pun.

***

Hari-hari berlalu dan aku berusapa untuk melupakan semua kepedihan yang aku rasakan. Aku berharap Allah mempertemukan aku dengan lelaki lain yang lebih baik dari Andri, atau setidaknya setara dengan Andri. Bukan lelaki ringan tangan, lelaki malas dan lelaki mata keranjang seperti mantan suami ketiga temanku.

Tapi seiring hari aku merasakan hal yang aneh pada tubuhku. Pertama, aku mual-mual dan selalu pusing di pagi hari. Kemudian setelah itu aku menyadari bahwa diriku hamil. Ya Tuhan aku hamil dan aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih. Aku mulai menghitung mundur dan menyadari bahwa bulan ini aku terlambat datang bulan. Aku menangis dan menangis. Bagaimana mungkin aku harus hamil, sementara tiga pekan yang lalu kami bercerai dan sepekan yang lalu suamiku telah menikah dengan wanita lain.

Hari demi hari perutku semakin membesar dan orang-orang mulai bertanya. Apakah itu bayi Andri? Tentu saja aku berang mendengar tanya itu, seakan-akan merekan meragukan siapa ayah jabang bayi yang berada di perutku. Tentu saja itu anaknya Andri. Seakan mereka meragukan kesucian dan kehormatanku sebagai wanita yang baik. Mungkin mereka berpikir ada seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil sebagai tanda bahwa suaminya tersebut tidak mengakui si jabang bayi sebagai anaknya. Atau…ah, terlalu banyak dugaan dan aku tidak mau peduli dengan semua itu.

Ibuju jelas prihatin. Dia selalu menjaga dan menguatkan diriku. Hingga suatu hari Andri datang bertamu ke rumah ibu. Aku yakin dia sudah tahu tentang kehamilanku. Karena alasan itulah dia datang. ibuku menyambutnya dengan baik tapi aku tidak ingin menemuinya. Terlalu banyak rasa dan alasan yang menjadi sebab aku tidak ingin menemuinya.

“Andri menunggumu, Mil.” Ujar ibuku yang muncul di pintu kamar. Aku terkesiap dan menghela napas panjang.

“Suruh pulang aja bu.”

“Lho kok gitu?”

“Mau apa dia datang kesini?” tanyaku kepada ibu.

“Ibu nggak tahu. Katanya Cuma ingin ketemu kamu.” Jelas ibuku.
“Aku nggak mau ketemu dia bu. Suruh aja dia pulang.”

Aku mendengar ibu menghela napas panjang dan kembali meninggalkanku sendiri. sekarang aku kembali menangis dengan semua keadaan rumit yang aku alami. Andai aku tidak bercerai. Andai aku tidak hamil. Andai Andri tidak menikah lagi. Andai Andri tidak datang kesini. Mau apa dia datang kesini.

“Mil.” Satu suara baritone terdengar di ambang pintu kamarku. Kali ini aku lebih terkesiap. Suara itu adalah suara yang familiar di telingaku. Suara yang selalu aku dengar selama kehidupan rumah tanggaku bersama Andri. Dia Andri. Jantungku seakan copot dan aku cepat-cepat menoleh ke sumber suara. Tidak salah lagi. Andri berdiri di ambang pintu kamarku.

“Kamu ngapain disini?!” seruku dan aku kalangkabut mencari kain yang pantas untuk menutupi tubuhku yang hanya memakai kaus tipis dan celana selutut. Andri masih berdiri di ambang pintu kamarku dan tersenyum lebar.

“Kamu hamil?”

“Bisakah kau keluar dari sini?” seruku tak senang.

“Kenapa?”

“Kamu nyadar nggak sih, kamu siapa?” seruku frustasi.

“Aku akan tetap menjadi suamimu jika kamu mau.” Ujar Andri. Kali ini dia masuk ke dalam ruangan. “Dan kita bisa memperbaiki semuanya.”

“Aku tidak akan mau menyakiti Arini.”

“Kenapa kamu nggak pernah bilang, kalau kamu hamil?” alih-alih menjawab kekhawatiranku tentang Arini, dia malah bertanya tentang kehamilanku.

“Aku nggak merasa perlu memberitahumu. Toh aku bukan istri kamu lagi.” Elakku.

“Tapi aku ayah si bayi.” Balasnya.

Tiba-tiba ada kepedihan yang kembali muncul di hatiku. Mataku kembali berkaca-kaca. Andri duduk disampingku dan memelukku. Tapi aku berusaha melepaskan diriku darinya. “Jangan sentuh aku.”
Andri melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua telapak tanganku dan mempermainkan jarinya disana. “Ustadz bilang, masa iddah seorang wanita hamil itu sampai dia melahirkan bayinya. Dan itu artinya bisa kembali rujuk kapan pun kita mau. Maukah kamu kembali, sayang?”

Aku menggeleng kuat-kuat. “Tidak akan pernah! Lupakan aku Ndri, dan hiduplah bahagia dengan Arini.”

“Bagaimana jika Arini mengizinkan kita kembali?”

“Dan kau akan menceraikannya? Lelaki macam apa kamu, Dri?”

“Tidak. Kita akan hidup bersama. Aku, kamu dan Arini.”

Aku kembali menggeleng dan membayangkan betapa rumitnya hubunganku nanti.

“Arini juga ada disini. Ayo temui dia. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu.”

Aku terkesiap untuk yang kedua kalinya.

“Aku tunggu ya.” timpal Andri. Dia berdiri dari ranjangku dan berlalu dari hadapanku. Detak jantungku kembali terpacu. Apa yang akan kami lakukan? Bagaimana mungkin dia dan istrinya datang kesini?

Aku segera memakai baju gamis dan kerudungku dan menyusul ke ruang depan. Benar apa yang Andri katakan. Disana aku melihat seorang perempuan berkerudung hijau muda duduk di samping Andri. Sementara ibu duduk membelakangiku. Mereka terlibat percakapan yang begitu akrab. Demi melihat kemunculanku, perempuan berkerudung hijau muda itu tersenyum lebar dan berdiri. Aku menghampirinya dan menyalaminya dengan kikuk dan membalas senyumannya dengan senyuman yang kaku. Tapi dia tidak cukup membalas jabat tanganku. Tapi juga memelukku. “Kak Mila, gimana kabarnya?”

“Baik.” Jawabku pendek.

“Jabang bayinya gimana?”

“Baik.” Lagi-lagi aku menjawab pendek. Kemudian aku duduk di samping ibuku dalam diam yang semakin mencekam.

Arini masih menatapku. Dia sepertinya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, lebih dari yang aku duga. Seharusnya aku yang membuat dia terintimidasi, bukan dia yang membuat segenap perasaanku terintimidasi. Tapi aku lemah.

Tanpa sungkan Arini bangkit dari sofa tempatnya duduk dan menghampiriku. Duduk di kursi pelastik yang berada di sampingku. “Kak Mila, aku bahagia kalau Kak Mila kembali ke Kak Andri.”
“Aku nggak mau menyakitimu.”

“Aku nggak akan merasa tersakiti. Justru aku nggak tega jika melihat Kak Mila pisah sama Kak Andri. Apalagi kak Mila sekarang hamil. Sebentar lagi melahirkan.”

Aku menatap Arini sangsi. Kemudian setelah itu menatap Andri. Ada senyum yang bertengger di bibir Andri dan Arini.

“Lahirannya kapan, kak?” tanya Arini. Kali ini dia tidak memintaku menjawab iya atau tidak tentang tawarannya untuk kembali.

“Dua minggu lagi, kata dokter.” Jawabku.

“Nanti yang bantu persalinan aku aja ya kak.” Timpalnya. “Aku akan menganggap anak kakak anakku sendiri nanti. Kali ini tangannya kembali menggenggam tanganku dan meremasnya. “Dan anggap saja aku adik kak Mila.

Aku menangis. Antara tangis haru dan bahagia. Aku menatap Andri dan Andri mengangguk kepadaku.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment