22 Nov 2019

Mati Suri


Terimakasih kepada mbak Iin Setiawati yang telah mempercayakan kepada saya untuk mengisahkan sepenggal episode hidupnya

POV Iin

Pak pandi masih terdiam dari tadi. Matanya hanya focus menatap jalanan yang lenggang. Honda Civic yang kami tumpangi melesat ditengah-tengah kelenggangan malam yang semakin pekat. Sementara aku yang tengah menyandarkan tubuhku di jok belakang asyik menikmati alunan music dari Walkman yang melantunkan lagu-lagu favoriteku.

“Masih lama nggak pak?” tanyaku kepada Pak Pandi yang sedari tadi terdiam.

“Masih Teh. Ini kurang lebih 5 kilometer lagi kita nyampe.” Timpal Pak Pandi sembari melirik dari kaca depan.

Aku menghela napas perlahan dan kembali duduk senyaman mungkin. Perjalanan berjam-jam lamanya cukup membuatku sedikit kelelahan. Meski tidak selelah bepergian dengan angkutan umum, tetap saja yang namanya perjalanan selalu menyisakan rasa lelah.

Tapi rasa lelah itu tak membuatku mengeluh. Bahkan mungkin rasa lelah itu hilang karena antusiasme yang memenuhi jiwaku. Bagiamana tidak antusias, hari kemarin adalah hari ulang tahunku. Dan di hari ulang tahun itu ada keistimewaan tersendiri bagiku. Bagaimana tidak, orang tuaku setuju untuk menikahkan aku dan Mas Irfan dua bulan mendatang. Tepatnya tanggal 23 November 1996.

Awalnya aku merasa takut dan khawatir mendengar kabar tersebut. Apakah aku siap untuk menikah? Apakah aku bisa menjadi istri yang baik. Apakah Mas Irfan benar-benar akan mencintaiku? Ah, ada sejuta tanya yang mendera benakku karena kekhawatiran itu.

Aku adukan semua kekhawatiran itu kepada Rini sepupuku, “Rin, kok aku takut banget ya.”

“Takut kenapa?” tanya Rini, masih sibuk merapikan ruangan setelah syukuran ulang tahunku selesai.
“Aku takut untuk menikah.” Lirihku disampingnya.

Rini langsung tergelak dan menjawil pipiku yang memang pada dasarnya tembem, “Kamu itu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Takutnya kenapa?”

“Ya macem-macem. Takut suamiku nggak sayang. Takut aku nggak bisa menjadi istri yang baik. Takut…”

“Sudah! Jangan diteruskan. Aku paham kok. Setiap orang yang hendak menikah pasti merasakan ketakutan tersebut. Tenang saja. Itu wajar sih In. tapi jangan sampai rasa takut itu membuat kamu paranoid. Lagi pula kan suami kamu itu orangnya baik.”

“Calon suami kali.” Sergahku.

“Eh iya, maksudku, calon suamimu.” Jawab Rini cepat. Kemudian dia kembali sibuk menumpuk bantal di kursi.

Setelah itu aku kembali ke kamar.

Aku hanya tersenyum mengingat obrolanku dengan Rini kemarin. Aku pun kembali memejamkan mata dan beberapa detik kemudian mulai terbuai oleh rasa kantuk dan tidak ingat apa-apa lagi. Tapi aku mendengar sebuah benturan dalam tidurku. Apakah itu sebuah mimpi atau memang benar-benar nyata? Aku tidak tahu. Aku merasakan tubuhku terdorong ke depan, kemudian aku merasakan duniaku berputar dan aku merasakan benturan, lagi dan lagi. Mimpi apa aku ini?

***

Dalam waktu satu jam lamanya, kelenggangan malam itu berubah menjadi keriuhan yang tak berkesudahan. Suara dengungan dan teriakan orang bersahutan. Kemudian disusul oleh suara sirene polisi, dan setelahnya suara sirene ambulan yang datang tepat waktu. Suaranya begitu memekakan telinga sehingga memaksa orang-orang yang berada di sekitar untuk melihat, ada apa gerangan.
‘Oh, itu lho, barusan ada kecelakaan di jalan utama.’ Ujar seorang ibu yang menonton dari lapak warungnya.

‘Katanya sih sedan yang di depan itu nyalip, tahu-tahunya dari depan melesat sedan lain. Tabrakan deh.” Timpal seorang bapak yang menandaskan kopi terakhirnya dari gelas.

Suara-suara itu semakin ramai. Dan orang-orang beropini macam-macam tentang kecelakaan tersebut. Oh, mungkin si sopir mengantuk. Kemudian dibantah oleh yang lain, bahwa bukan si sopir yang mengantuk, tapi si sopir yang tidak sabaran sehingga menyalip di saat yang tidak tepat dan tidak bisa mengukur jarak.

Berbeda dengan para penonton, beda juga dengan kesibukan bapak-bapak polisi yang sibuk mengevakuasi para korban.  Mereka harus bersusah payah membuka pintu mobil yang sepenuhnya penyok, bahkan hampir tak bisa dibuka. Sementara korban terjebak di dalam. Tak menunggu lama, dua sosok tubuh bersimbah darah berhasil dikeluarkan dari Honda civic yang terbalik dengan sempurna dan tak lagi berbentuk akibat benturan.

Orang-orang kembali berdengung ramai dan mulai berasumsi satu sama lain.

‘Sepertinya sudah meninggal.’ Ujar seseorang membuka obrolan.

‘Iya, lha wong udah berdarah-darah gitu. Pasti nafasnya udah nggak ada.’

‘Tapi yang satunya masih bergerak lho.’

Dengungan itu masih berlanjut. Sementara brankas dikeluarkan dari ambulan untuk membawa korban. Para petugas medis berseragam putih sibuk mengangkat kembali brankas ke dalam ambulan. Tak menunggu lama, mereka melesat pergi meninggalkan sisi jalan utama tempat kejadian. Malam tak lagi lengang hingga siang nanti. Karena masih ada pak polisi dan orang-orang yang masih penasaran.

***

Mata perempuan paruh baya itu tampak sembab karena menangis yang tak mengenal jeda. Sesekali ia menangis di dada lelaki yang sedari tadi berdiri di sebelahnya. Sesekali wanita paruh baya itu beranjak melihat ke jendela kamar operasi. Disanalah, di atas meja operasi, wanita paruh baya itu melihat putri semata wayangnya tengah bertarung dengan alat-alat medis yang mencoba untuk memanggilnya kembali. Berharap dia hanya pingsan atau jika bukan pingsan koma. Dan jika koma dia berharap putrinya itu kembali seperti sedia kala.

Setelah berpuas diri melihat dari jendela kecil itu, perempuan paruh baya itu kembali ke samping suaminya yang sedari tadi hanya diam, sementara lisannya terus menerus merapal nama tuhan dalam dzikir perlahan.

‘Pa…’ lirih wanita paruh baya itu.

‘Ya. Yang sabar ya bu. Insya Alloh Gusti Allah akan memberikan jalan terbaik kepada kita semua. Ini semua ujian.’ Timpal si bapak paruh baya sembari mengelus punggung istrinya. Berusaha menyabarkan sang istri meski hatinya juga ikut merasakan kepedihan yang dalam. Bapak mana yang tidak khawatir demi melihat putrinya bersimbah darah di atas ranjang operasi dengan semua kerusakan di dalam tubuhnya.

‘Padahal, dua bulan lagi Iin menikah…” lirih wanita paruh baya itu. Kemudian dia kembali sesenggukan.

‘Sabar bu…sabar…kita berdoa yang terbaik.

Tak berapa lama, seorang dokter lelaki keluar dari dalam ruang operasi. Demi melihat seseorang yang keluar dari ruang operasi, sepasang suami istri paruh baya itu pun menghampirinya dengan harap-harap cemas. “Bagaimana anak saya, dok?”

Dokter lelaki itu menghela napas panjang seakan mengeluarkan beban yang dia simpan. “Ada yang harus saya sampaikan kepada ibu dan bapak. Sebaiknya kita bicara di ruangan saya.”

Dokter itu mengangguk, kemudian dia beranjak diikuti oleh sepasang suami istri paruh baya tersebut menuju ruangannya yang letaknya tak jauh dari ruang operasi putri mereka.

“Silakan duduk.” Si dokter mempersilakan mereka berdua duduk di dua kursi yang tersedia di depan mejanya.

Tanpa menunggu lama, mereka berdua duduk, sementara hati mereka berdetak semakin kentara.
“Apakah putri saya bisa diselamatkan dok? Dia hanya pingsan kan? Dia masih…”

Bapak paruh baya yang duduk di samping istrinya meremas tangan istrinya, mencoba mengirimkan rasa tenang lewat sentuhan tangannya.

Untuk yang kedua kalinya, dokter itu menghela napas panjang. “Jujur pak, bu, rumah sakit Asy-Syifa tidak sanggup menangani putri ibu. Saya akan merujuk operasi lanjutan ke rumah sakit Abdul Muluk.”

“Tidak apa. Kami manut saja. Kita bisa membawa anak kami ke rumah sakit Abdul muluk.” Timpal si bapak cepat. “Tapi saya ingin tahu, bagaimana kondisi putri saya. Apa saja yang luka?”

“Kami menemukan banyak serpihan tulang tengkorak di dalam otak. Sementara batok kepala sebelah kananya remuk. Sepertinya perlu diimplan tempurung buatan. Selain itu ada banyak darah di otak sehingga harus dilakukan penyedotan darah dan sebagian sel otak.”

Pecahlah tangis ibu paruh baya itu mendengar apa yang dikatakan dokter tersebut.

Bersambung

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment