Terimakasih kepada mbak Iin Setiawati yang
telah mempercayakan kepada saya untuk mengisahkan sepenggal episode hidupnya
POV Iin
Pak pandi masih
terdiam dari tadi. Matanya hanya focus menatap jalanan yang lenggang. Honda
Civic yang kami tumpangi melesat ditengah-tengah kelenggangan malam yang
semakin pekat. Sementara aku yang tengah menyandarkan tubuhku di jok belakang
asyik menikmati alunan music dari Walkman yang melantunkan lagu-lagu
favoriteku.
“Masih lama nggak
pak?” tanyaku kepada Pak Pandi yang sedari tadi terdiam.
“Masih Teh. Ini kurang
lebih 5 kilometer lagi kita nyampe.” Timpal Pak Pandi sembari melirik dari kaca
depan.
Aku menghela napas
perlahan dan kembali duduk senyaman mungkin. Perjalanan berjam-jam lamanya
cukup membuatku sedikit kelelahan. Meski tidak selelah bepergian dengan
angkutan umum, tetap saja yang namanya perjalanan selalu menyisakan rasa lelah.
Tapi rasa lelah itu
tak membuatku mengeluh. Bahkan mungkin rasa lelah itu hilang karena antusiasme
yang memenuhi jiwaku. Bagiamana tidak antusias, hari kemarin adalah hari ulang
tahunku. Dan di hari ulang tahun itu ada keistimewaan tersendiri bagiku.
Bagaimana tidak, orang tuaku setuju untuk menikahkan aku dan Mas Irfan dua
bulan mendatang. Tepatnya tanggal 23 November 1996.
Awalnya aku merasa
takut dan khawatir mendengar kabar tersebut. Apakah aku siap untuk menikah?
Apakah aku bisa menjadi istri yang baik. Apakah Mas Irfan benar-benar akan
mencintaiku? Ah, ada sejuta tanya yang mendera benakku karena kekhawatiran itu.
Aku adukan semua kekhawatiran
itu kepada Rini sepupuku, “Rin, kok aku takut banget ya.”
“Takut kenapa?” tanya
Rini, masih sibuk merapikan ruangan setelah syukuran ulang tahunku selesai.
“Aku takut untuk
menikah.” Lirihku disampingnya.
Rini langsung tergelak
dan menjawil pipiku yang memang pada dasarnya tembem, “Kamu itu nggak usah
mikir yang aneh-aneh. Takutnya kenapa?”
“Ya macem-macem. Takut
suamiku nggak sayang. Takut aku nggak bisa menjadi istri yang baik. Takut…”
“Sudah! Jangan
diteruskan. Aku paham kok. Setiap orang yang hendak menikah pasti merasakan
ketakutan tersebut. Tenang saja. Itu wajar sih In. tapi jangan sampai rasa
takut itu membuat kamu paranoid. Lagi pula kan suami kamu itu orangnya baik.”
“Calon suami kali.”
Sergahku.
“Eh iya, maksudku,
calon suamimu.” Jawab Rini cepat. Kemudian dia kembali sibuk menumpuk bantal di
kursi.
Setelah itu aku
kembali ke kamar.
Aku hanya tersenyum mengingat obrolanku dengan Rini kemarin. Aku pun kembali
memejamkan mata dan beberapa detik kemudian mulai terbuai oleh rasa kantuk dan
tidak ingat apa-apa lagi. Tapi aku mendengar sebuah benturan dalam tidurku.
Apakah itu sebuah mimpi atau memang benar-benar nyata? Aku tidak tahu. Aku
merasakan tubuhku terdorong ke depan, kemudian aku merasakan duniaku berputar
dan aku merasakan benturan, lagi dan lagi. Mimpi apa aku ini?
***
Dalam waktu satu jam
lamanya, kelenggangan malam itu berubah menjadi keriuhan yang tak berkesudahan.
Suara dengungan dan teriakan orang bersahutan. Kemudian disusul oleh suara
sirene polisi, dan setelahnya suara sirene ambulan yang datang tepat waktu. Suaranya
begitu memekakan telinga sehingga memaksa orang-orang yang berada di sekitar
untuk melihat, ada apa gerangan.
‘Oh, itu lho, barusan
ada kecelakaan di jalan utama.’ Ujar seorang ibu yang menonton dari lapak
warungnya.
‘Katanya sih sedan
yang di depan itu nyalip, tahu-tahunya dari depan melesat sedan lain. Tabrakan deh.”
Timpal seorang bapak yang menandaskan kopi terakhirnya dari gelas.
Suara-suara itu
semakin ramai. Dan orang-orang beropini macam-macam tentang kecelakaan
tersebut. Oh, mungkin si sopir mengantuk. Kemudian dibantah oleh yang lain,
bahwa bukan si sopir yang mengantuk, tapi si sopir yang tidak sabaran sehingga
menyalip di saat yang tidak tepat dan tidak bisa mengukur jarak.
Berbeda dengan para
penonton, beda juga dengan kesibukan bapak-bapak polisi yang sibuk mengevakuasi
para korban. Mereka harus bersusah payah
membuka pintu mobil yang sepenuhnya penyok, bahkan hampir tak bisa dibuka. Sementara
korban terjebak di dalam. Tak menunggu lama, dua sosok tubuh bersimbah darah
berhasil dikeluarkan dari Honda civic yang terbalik dengan sempurna dan tak
lagi berbentuk akibat benturan.
Orang-orang kembali
berdengung ramai dan mulai berasumsi satu sama lain.
‘Sepertinya sudah
meninggal.’ Ujar seseorang membuka obrolan.
‘Iya, lha wong udah
berdarah-darah gitu. Pasti nafasnya udah nggak ada.’
‘Tapi yang satunya
masih bergerak lho.’
Dengungan itu masih
berlanjut. Sementara brankas dikeluarkan dari ambulan untuk membawa korban. Para
petugas medis berseragam putih sibuk mengangkat kembali brankas ke dalam
ambulan. Tak menunggu lama, mereka melesat pergi meninggalkan sisi jalan utama
tempat kejadian. Malam tak lagi lengang hingga siang nanti. Karena masih ada
pak polisi dan orang-orang yang masih penasaran.
***
Mata perempuan paruh
baya itu tampak sembab karena menangis yang tak mengenal jeda. Sesekali ia
menangis di dada lelaki yang sedari tadi berdiri di sebelahnya. Sesekali wanita
paruh baya itu beranjak melihat ke jendela kamar operasi. Disanalah, di atas
meja operasi, wanita paruh baya itu melihat putri semata wayangnya tengah
bertarung dengan alat-alat medis yang mencoba untuk memanggilnya kembali. Berharap
dia hanya pingsan atau jika bukan pingsan koma. Dan jika koma dia berharap
putrinya itu kembali seperti sedia kala.
Setelah berpuas diri
melihat dari jendela kecil itu, perempuan paruh baya itu kembali ke samping
suaminya yang sedari tadi hanya diam, sementara lisannya terus menerus merapal
nama tuhan dalam dzikir perlahan.
‘Pa…’ lirih wanita
paruh baya itu.
‘Ya. Yang sabar ya bu.
Insya Alloh Gusti Allah akan memberikan jalan terbaik kepada kita semua. Ini semua
ujian.’ Timpal si bapak paruh baya sembari mengelus punggung istrinya. Berusaha
menyabarkan sang istri meski hatinya juga ikut merasakan kepedihan yang dalam. Bapak
mana yang tidak khawatir demi melihat putrinya bersimbah darah di atas ranjang
operasi dengan semua kerusakan di dalam tubuhnya.
‘Padahal, dua bulan
lagi Iin menikah…” lirih wanita paruh baya itu. Kemudian dia kembali
sesenggukan.
‘Sabar bu…sabar…kita
berdoa yang terbaik.
Tak berapa lama,
seorang dokter lelaki keluar dari dalam ruang operasi. Demi melihat seseorang
yang keluar dari ruang operasi, sepasang suami istri paruh baya itu pun
menghampirinya dengan harap-harap cemas. “Bagaimana anak saya, dok?”
Dokter lelaki itu
menghela napas panjang seakan mengeluarkan beban yang dia simpan. “Ada yang
harus saya sampaikan kepada ibu dan bapak. Sebaiknya kita bicara di ruangan
saya.”
Dokter itu mengangguk,
kemudian dia beranjak diikuti oleh sepasang suami istri paruh baya tersebut
menuju ruangannya yang letaknya tak jauh dari ruang operasi putri mereka.
“Silakan duduk.” Si dokter
mempersilakan mereka berdua duduk di dua kursi yang tersedia di depan mejanya.
Tanpa menunggu lama,
mereka berdua duduk, sementara hati mereka berdetak semakin kentara.
“Apakah putri saya
bisa diselamatkan dok? Dia hanya pingsan kan? Dia masih…”
Bapak paruh baya yang
duduk di samping istrinya meremas tangan istrinya, mencoba mengirimkan rasa
tenang lewat sentuhan tangannya.
Untuk yang kedua kalinya,
dokter itu menghela napas panjang. “Jujur pak, bu, rumah sakit Asy-Syifa tidak
sanggup menangani putri ibu. Saya akan merujuk operasi lanjutan ke rumah sakit
Abdul Muluk.”
“Tidak apa. Kami manut
saja. Kita bisa membawa anak kami ke rumah sakit Abdul muluk.” Timpal si bapak
cepat. “Tapi saya ingin tahu, bagaimana kondisi putri saya. Apa saja yang luka?”
“Kami menemukan banyak
serpihan tulang tengkorak di dalam otak. Sementara batok kepala sebelah kananya
remuk. Sepertinya perlu diimplan tempurung buatan. Selain itu ada banyak darah
di otak sehingga harus dilakukan penyedotan darah dan sebagian sel otak.”
Pecahlah tangis ibu
paruh baya itu mendengar apa yang dikatakan dokter tersebut.
Bersambung
No comments:
Post a Comment