22 Apr 2019

Rakeesh



Dua hari lamanya aku harus melawan ego dan perasaan gengsi yang menguasai hatiku. Bagaimana mungkin aku akan kembali dalam kehidupan lelaki itu setelah apa yang terjadi antara aku dan dirinya? Tapi aku sudah menimbang bahwa inilah yang terbaik untuk diriku, Rakeesh dan untuk Amjat anakku. Lebih dari semua itu, aku tidak tahan menanggung kerinduan yang semakin memuncak. Besarnya kekecewaan yang bersemayam di dadaku sebanding dengan rasa rindu dan iba yang selalu menekan perasaan. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa Rakeesh mengalami kebutaan. Kornea matanya rusak karena pukulan para preman sialan itu.

“Apakah Nyonya akan turun disini?” sopir Bajaj itu membuyarkan lamunanku.

Aku tergeragap, “Ya. disini.” Kemudian aku menyorongkan ongkos dan segera turun. Bajaj itu langsung pergi. Aku menghela napas dan mencoba menenangkan hati dan pikiranku. Aku menatap sekitar dan menemukan nostalgia masa lalu disini. Pohon akasia dan beringin yang rindang itu mengingatkanku bahwa aku dan Rakeesh pernah duduk berdua di bawahnya sembari melempar lelucon satu sama lain. Kemudian aku melihat bangunan bertingkat dua dan bercat putih itu. Mataku menelusuri putaran tangga menuju pintu lantai dua dimana Rakeesh tinggal.  Lihatlah, bahkan dengan melihat bangunan dimana lelaki itu tinggal hatiku sudah berdebar-debar. Lalu bagaimana aku akan menemuinya.

Aku melangkah menuju rumpun tanaman melati dan memetik dua bunganya, membauinya dan kenangan lain muncul di benakku. Aku masih ingat ketika Rakeesh menyelipkan beberapa bunga itu di jalinan rambutku dan mengatakan bahwa aku cantik dengan rangkaian bunga melati itu.
“Kamu seperti bidadari.” Ujarnya dengan senyum miringnya yang khas. Saat itu aku tersipu dan berjanji bahwa aku tak akan pernah melupakan Rakeesh.

 “Hai, Bibi Karina.” Seru seseorang dari arah sampingku. Dan aku melihat Zakir dan adiknya Ismail tengah menatapku dengan senyuman kecil mereka. “Aku sudah lama tidak melihatmu, Bibi.” Lanjut Zakir antusias.

“Ya. dan sekarang kalian sudah melihatku kan? Bagaimana kabar kalian.”

“Baik bibi.”

“Apakah Paman Rakeesh ada di atas sana?”

“Ada bibi. Tadi aku melihatnya menaiki tangga. Sejak kemarin paman Rakeesh memintaku untuk menuntunnya ke masjid.”

Aku tercenung. Mendengar pria itu mengunjungi masjid membuat hatiku sakit. Karena itulah aku meninggalkannya. Ia telah mengkhianati kepercayaan leluhurnya, dan itu artinya dia telah mengkhianati diriku sebagai istrinya. Ayahku memintaku untuk menjauh dari kehidupan Rakeesh dan aku mencoba untuk memahaminya. Tapi hingga saat ini aku tidak menerima kenyataan bahwa aku harus meninggalkan lelaki itu.

“Sepertinya dia belum terbiasa menggunakan tongkat ketika menuruni tangga. Dua hari yang lalu dia sempat tersandung ketika menuruni tangga ini.” Terang Zakir sembari menunjuk tangga yang dimaksud.

“Oke. Bibi akan menengoknya.” Pungkasku dan meninggalkan Zakir dan adiknya. aku menaiki anak tangga dengan hati yang berdebar. Aku melihat pintu rumah itu tidak terkunci, bahkan terbuka seperempatnya.  Meskipun aku pernah tinggal di rumah ini dan pernah menjadi bagian darinya, aku tidak ingin masuk tanpa permisi. Kehidupan telah berubah setelah perceraianku dengan Rakeesh. Tangan kananku menekan bel dengan gemetar.

“Masuklah. Pintu tidak aku kunci. Zakir, apakah itu kau?” tanya Rakeesh dari dalam rumah.
Aku menghela napas panjang dan mencomot sepatuku di pintu, menginjakan kakiku di karpet berwarna cokelat dan menutup kembali pintu. Hidungku menangkap aroma lavender dan telapak kakiku merasakan kehangatan karpet yang menutupi lantai. Ah, semuanya tidak berubah, hanya Rakeesh yang berubah dan membuatku lari darinya.

Lihatlah Rakesh yang tengah duduk di atas kursi sembari. Televisi 21 inci yang terletak di atas lemari dia nyalakan dengan volume sedang, menyiarkan berita terkini tentang ketegangan yang terjadi di Kashmir.

Tatapan matanya kosong. Kedua bola matanya yang kelabu hanya menatap dinding di depannya. Sementara tangannya bertumpu pada meja.

“Zakir.” Dia kembali memanggil nama bocah tetangga yang tadi bermain di halaman ketika mendengar langkah kakiku.

Mataku berkaca-kaca dan aku berdiri satu meter di hadapannya. Menekuri wajahnya dan tak melewatkannya seinci pun dari setiap garis di wajahnya. Jambang dan janggutnya lebih lebat dari yang terakhir aku lihat. Dia belum bercukur paling tidak selama sebulan lamanya.

“Bagaimana kabarmu, Rakeesh?”

Wajahnya memperlihatkan ekspresi terkejut, dia menoleh ke arah dimana aku berdiri tepat di ujung mejanya. Tatapan matanya yang kelabu jelas tidak bisa melihatku. Tatapannya menerawang dan menelengkan kepalanya. “Karina?”

Dia berdiri dari kursinya dan hanya diam mematung. Entah apa yang ada di benaknya, dan aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan disini.

“Kau mau kopi, Karina?” tanyanya dengan nada kaku. Kemudian dia melangkah dengan kedua tangannya yang terangkat untuk meraba benda-benda yang ada disekitarnya. Aku tidak tahu apakah dia sudah mengenal setiap inci dari rumahnya? Apakah dia sering tersandung? Apakah dia bisa memasak sendiri?

“Kau bisa memasak sendiri?” tanyaku pensaran.

“Ya. jika aku tidak bisa, tidak mungkin aku hidup dan mengobrol denganmu. Yang diambil hanya kedua mataku, anggota tubuhku yang lain masih berfungsi, Karina.”

Aku menghela napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. Ada kegetiran yang tiba-tiba masuk ke dalam hatiku dan menekan segenap perasaanku. “Biar aku yang buatkan kopi, Rakeesh.”
“Oke. “dia kembali duduk di atas kursinya. “Tapi pastikan kopiku tidak terlalu manis, Karina.”
“Aku sudah tahu. Tanpa kau memberitahunya pun aku sudah tahu dan tidak mungkin salah. Kau pikir aku ini siapa?”

Rakesh tertawa kecil, mendengus dan menggelengkan kepalanya.

“Apa tujuanmu datang kesini?” tanyanya lebih lanjut. Sementara aku mulai membuka tutup toples yang berisi kopi, mengambil gula dari toples yang lain, dan menjerang air di atas kompor gas. “Apakah kau tidak suka aku datang kesini, huh?”

“Maksudku...kenapa kau datang sekarang.”

Aku tercenung dan menghela napas panjang. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Rakeesh sudah pasti merasakan kegetiran yang sama dengan perpisahan ini. “Papa tidak mengizinkanku untuk menghubungimu lagi. Bahkan sekarang pun dia tidak tahu aku ada disini. Andai dia tahu, mungkin dia akan memarahiku habis-habisan.”

“Itu artinya kau datang kesini sama dengan mencari masalah besar, Karina.”



“Kurang lebih begitu.” Timpalku. Air sudah panas dan aku mengangkatnya. Mengambil dua cangkir putih bertuliskan ‘her’ dan ‘him’. Cangkir kami berdua yang menjadi wakil dari jiwa kami yang saling melengkapi satu sama lain. Lihatlah, bahkan sebuah cangkir pun selalu berhubungan dengan kenangan kami berdua.

“Kau tidak perlu lagi datang kesini.” Ujarnya pelan.

Aku menghentikan gerakan tangan kananku yang mengaduk kopi di cangkir ‘him’ untuknya. Aku menoleh kepadanya dengan tatapan yang terluka. “Kenapa?”

“Kita sudah berbeda, Karina. Aku tidak ingin mengambil resiko untuk diriku sendiri, dan aku tidak ingin kau melampui resiko dengan melawan keluargamu.”

Aku mendengus kesal. Kesal karena Rakeesh seakan tidak senang dengan kedatanganku. Tiba-tiba saja hatiku diliputi amarah. “Karena aku wanita hindu dan kau menjadi seorang muslim sialan? Kau pikir semudah itu melupakan masa lalu? Kau pikir aku bisa melupakanmu?” aku mulai terisak dan semuanya menjadi kacau.

“Karina, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tapi_”

“Tapi apa?”

“Oke, lupakan. Aku tidak ingin bertengkar atau berdebat dalam keadaan seperti ini.”

Aku mencoba menetralkan hatiku dan kembali mengaduk kopi yang terhenti sesaat. Menambahkan sesendok teh gula ke dalam cangkir Rakeesh, menambahkan tiga sendok gula ke dalam cangkirku sendiri dan membawanya ke atas meja. “Aku juga tidak ingin berdebat denganmu. Aku tidak ingin kita saling membenci atau_” aku kembali terisak.

“Hai, Karina. Lupakan pertanyaan konyolku. Aku senang kau ada disini.” Ujarnya. Dia mengulurkan tangannya, mencari pergelangan tanganku di atas meja dan dia tidak menemukan tanganku jika aku tidak meraih tangannya dan menggenggamnya. “Aku tahu semua ini sulit.”

Kami saling berpegangan tangan. Beberapa detik kemudian telapak tangannya yang kukuh melepas telapak tanganku. “Kopi ini akan segera dingin jika kita larut dalam nostalgia dan saling berpengangan seperti ini.” Selorohnya.

Aku tertawa kecil dan mulai menghirup kopiku dan dia juga menghirup kopinya dengan perlahan.
“Kau selalu pintar membuat kopi, Karina.”

“Terimakasih.” Aku mengapresiasi pujiannya. “Dengar, aku datang kesini bukan hanya ingin mengajakmu minum kopi berdua. Aku memiliki kabar gembira.”

“Apa itu?”

“Novel ketigaku akan segera diterbitkan.”

“Wah, selamat Karina. Aku ikut bahagia. Sayangnya sekarang mataku sudah tidak bisa melihat lagi. Aku tidak bisa membaca lagi. Novel perdanamu saja membuat aku ketagihan membaca fiksi. Padahal kau tahu aku paling tidak suka fiksi. Tapi membaca cerita yang kau tulis, itu sebuah pengecualian.”
“Kau tidak bisa melihat, tapi aku bisa membacakannya untukmu, Rakeesh.”

“Oh, tentu.”

“Coba tebak apa yang aku tulis di novel ketiga ini, Rakeesh?”

“Drama keluarga?”

“Ya, tepat. Karena memang itu spesialisasiku. Tapi cerita yang satu ini bukan sekedar fiksi Rakeesh. Ini diangkat dari kisah nyata. Based on true story.”

“Hmm, ini bisa menjadi daya tarik tersendiri, Karina. Kau tahu orang-orang biasanya suka dengan kisah yang diambil dari kejadian nyata. Jika boleh tahu, kisah siapa yang kau ambil dan menjalinnya menjadi sebuah buku?”

“Kisah kita berdua.” Jelasku singkat dan aku bisa menangkap ekspresi terkejut di wajah Rakeesh.
“Bagaimana bisa?”

“Tentu saja bisa. Terlalu banyak kenangan manis, nostalgia, dan kebahagiaan yang tidak mungkin aku lupakan bersamamu.” Air mata kembali berlompatan dari pelupuk mataku. “Terlalu banyak hal yang pantas untuk aku kenang, dan kenangan itu harus aku simpan. Kau tahu, buku ketiga ini aku persembahkan khusus untukmu.”

Aku melihat mata kelabu Rakeesh mulai berair dan dia terisak. Aku tahu betul betapa lelaki ini tidak pernah menangis dan dia akan malu jika menangis. Dia menyeka matanya dengan gerakan kasar dan menggelengkan kepalanya.

“Kau tahu bagaimana endingnya?”

“Endingnya adalah adegan yang sedang kita lakukan saat ini. Menghirup kopi bersama-sama di suatu senja.”

Rakesh tertawa dan dia tampak bahagia.

“Tapi itu sepertinya bukan ending yang pas, Rakeesh. Kita berpisah. Sebagaimana adanya begitu. Kita berpisah karena perbedaan, karena aku telah menjadi seorang muslim dan ayahmu memaksamu untuk meninggalkanku. Bukankah faktanya begitu?”

“Ya, aku menuliskan detail ini. Tapi endingnya bukan disitu.”

Rakeesh menggeleng tak mengerti.  “Endingnya jelas disana, Karina. Kita berpisah.”

“Ya, tapi kupikir kita masih memiliki waktu dan masa depan. dan kita belum merancangnya. Dibuku itu aku berusaha merancang masa depan kita. Kau tahu apa yang aku tulis? Aku menulis bahwa kedua tokoh itu mencoba memperbaiki keadaan. Tidak ada kebencian diantara mereka, dan mereka kembali saling menyayangi satu sama lain dalam kehidupan yang normal.”

Rakeesh tercenung beberapa saat. Kemudian dia meregangkan tubuhnya dan menumpu kepalanya dengan kedua tangannya yang disilangkan, “Bagaimana jika kau mengubah endingnya, Karina.”
“Maksudmu? Apa yang harus aku ubah?”

“Kau kembali menjadi istriku. Kita kembali hidup seperti pasangan normal pada umumnya, memiliki anak dan kehidupan yang bahagia. Tapi kau mengikuti jejakku. Menjadi seorang muslim.”

Aku ternganga. “Kau pikir semudah itu? Jelas buku itu tidak akan pernah laku. Tidak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Kecuali jika aku terbitkan di luar negara india. Yang benar saja Rakeesh. Bahkan lebih dari itu, aku jamin orang tuaku akan mengusirku. Aku tidak lagi menjadi anggota keluarga besarku, aku tidak memiliki warisan, dan aku terbuang dari kehidupanku yang dulu. Aku tidak mungkin_”

“Itulah yang aku alami sekarang. Aku terbuang. Tapi aku memiliki kehidupan baru dan lingkungan yang baru. Dan, masih memiliki dirimu yang masih peduli. Dan jika itu terjadi kepada dirimu, kau masih memiliki kehidupan, setidaknya bersamaku disini.” Rakeesh mengulurkan tangannya dan kembali menggenggam tanganku dengan erat. “Itu pun jika kau masih mencintai diriku dengan kedua penglihatan yang sudah hilang. Jika kau tidak keberatan bersanding dengan lelaki yang buta dan yang tidak_”

Aku segera membekam mulutnya dengan telapak tanganku. “Jangan kau ulangi kata-kata itu, Rakeesh.” Bisikku pelan. “Bagaimana pun keadaanmu, kau tetap lelakiku. Kau ingin tahu apa yang sekarang mengganggu benakku? Aku tidak peduli dengan kekhawatiranku. Yang aku pedulikan adalah aku bisa selalu bersamamu, meski dengan itu aku harus mengkhianati dewa Visnu.”
“Tidak ada Dewa, Karina. Yang ada Tuhan yang menciptakan kita dan_”

Rakeesh tidak bisa menghindar ketika aku merengkuhnya dan menangis di dadanya.
TAMAT
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment