Dua hari lamanya aku harus melawan ego dan
perasaan gengsi yang menguasai hatiku. Bagaimana mungkin aku akan kembali dalam
kehidupan lelaki itu setelah apa yang terjadi antara aku dan dirinya? Tapi aku
sudah menimbang bahwa inilah yang terbaik untuk diriku, Rakeesh dan untuk Amjat
anakku. Lebih dari semua itu, aku tidak tahan menanggung kerinduan yang semakin
memuncak. Besarnya kekecewaan yang bersemayam di dadaku sebanding dengan rasa
rindu dan iba yang selalu menekan perasaan. Apalagi setelah mendengar kabar
bahwa Rakeesh mengalami kebutaan. Kornea matanya rusak karena pukulan para
preman sialan itu.
“Apakah Nyonya akan turun disini?” sopir Bajaj
itu membuyarkan lamunanku.
Aku tergeragap, “Ya. disini.” Kemudian aku
menyorongkan ongkos dan segera turun. Bajaj itu langsung pergi. Aku menghela
napas dan mencoba menenangkan hati dan pikiranku. Aku menatap sekitar dan
menemukan nostalgia masa lalu disini. Pohon akasia dan beringin yang rindang
itu mengingatkanku bahwa aku dan Rakeesh pernah duduk berdua di bawahnya
sembari melempar lelucon satu sama lain. Kemudian aku melihat bangunan
bertingkat dua dan bercat putih itu. Mataku menelusuri putaran tangga menuju
pintu lantai dua dimana Rakeesh tinggal.
Lihatlah, bahkan dengan melihat bangunan dimana lelaki itu tinggal
hatiku sudah berdebar-debar. Lalu bagaimana aku akan menemuinya.
Aku melangkah menuju rumpun tanaman melati dan
memetik dua bunganya, membauinya dan kenangan lain muncul di benakku. Aku masih
ingat ketika Rakeesh menyelipkan beberapa bunga itu di jalinan rambutku dan
mengatakan bahwa aku cantik dengan rangkaian bunga melati itu.
“Kamu seperti bidadari.” Ujarnya dengan senyum
miringnya yang khas. Saat itu aku tersipu dan berjanji bahwa aku tak akan
pernah melupakan Rakeesh.
“Hai,
Bibi Karina.” Seru seseorang dari arah sampingku. Dan aku melihat Zakir dan
adiknya Ismail tengah menatapku dengan senyuman kecil mereka. “Aku sudah lama
tidak melihatmu, Bibi.” Lanjut Zakir antusias.
“Ya. dan sekarang kalian sudah melihatku kan?
Bagaimana kabar kalian.”
“Baik bibi.”
“Apakah Paman Rakeesh ada di atas sana?”
“Ada bibi. Tadi aku melihatnya menaiki tangga.
Sejak kemarin paman Rakeesh memintaku untuk menuntunnya ke masjid.”
Aku tercenung. Mendengar pria itu mengunjungi
masjid membuat hatiku sakit. Karena itulah aku meninggalkannya. Ia telah
mengkhianati kepercayaan leluhurnya, dan itu artinya dia telah mengkhianati
diriku sebagai istrinya. Ayahku memintaku untuk menjauh dari kehidupan Rakeesh
dan aku mencoba untuk memahaminya. Tapi hingga saat ini aku tidak menerima
kenyataan bahwa aku harus meninggalkan lelaki itu.
“Sepertinya dia belum terbiasa menggunakan
tongkat ketika menuruni tangga. Dua hari yang lalu dia sempat tersandung ketika
menuruni tangga ini.” Terang Zakir sembari menunjuk tangga yang dimaksud.
“Oke. Bibi akan menengoknya.” Pungkasku dan
meninggalkan Zakir dan adiknya. aku menaiki anak tangga dengan hati yang
berdebar. Aku melihat pintu rumah itu tidak terkunci, bahkan terbuka
seperempatnya. Meskipun aku pernah tinggal
di rumah ini dan pernah menjadi bagian darinya, aku tidak ingin masuk tanpa
permisi. Kehidupan telah berubah setelah perceraianku dengan Rakeesh. Tangan
kananku menekan bel dengan gemetar.
“Masuklah. Pintu tidak aku kunci. Zakir,
apakah itu kau?” tanya Rakeesh dari dalam rumah.
Aku menghela napas panjang dan mencomot
sepatuku di pintu, menginjakan kakiku di karpet berwarna cokelat dan menutup
kembali pintu. Hidungku menangkap aroma lavender dan telapak kakiku merasakan
kehangatan karpet yang menutupi lantai. Ah, semuanya tidak berubah, hanya
Rakeesh yang berubah dan membuatku lari darinya.
Lihatlah Rakesh yang tengah duduk di atas
kursi sembari. Televisi 21 inci yang terletak di atas lemari dia nyalakan
dengan volume sedang, menyiarkan berita terkini tentang ketegangan yang terjadi
di Kashmir.
Tatapan matanya kosong. Kedua bola matanya
yang kelabu hanya menatap dinding di depannya. Sementara tangannya bertumpu
pada meja.
“Zakir.” Dia kembali memanggil nama bocah
tetangga yang tadi bermain di halaman ketika mendengar langkah kakiku.
Mataku berkaca-kaca dan aku berdiri satu meter
di hadapannya. Menekuri wajahnya dan tak melewatkannya seinci pun dari setiap
garis di wajahnya. Jambang dan janggutnya lebih lebat dari yang terakhir aku
lihat. Dia belum bercukur paling tidak selama sebulan lamanya.
“Bagaimana kabarmu, Rakeesh?”
Wajahnya memperlihatkan ekspresi terkejut, dia
menoleh ke arah dimana aku berdiri tepat di ujung mejanya. Tatapan matanya yang
kelabu jelas tidak bisa melihatku. Tatapannya menerawang dan menelengkan
kepalanya. “Karina?”
Dia berdiri dari kursinya dan hanya diam
mematung. Entah apa yang ada di benaknya, dan aku pun tidak tahu apa yang harus
aku lakukan disini.
“Kau mau kopi, Karina?” tanyanya dengan nada
kaku. Kemudian dia melangkah dengan kedua tangannya yang terangkat untuk meraba
benda-benda yang ada disekitarnya. Aku tidak tahu apakah dia sudah mengenal
setiap inci dari rumahnya? Apakah dia sering tersandung? Apakah dia bisa
memasak sendiri?
“Kau bisa memasak sendiri?” tanyaku pensaran.
“Ya. jika aku tidak bisa, tidak mungkin aku
hidup dan mengobrol denganmu. Yang diambil hanya kedua mataku, anggota tubuhku
yang lain masih berfungsi, Karina.”
Aku menghela napas panjang dan membuangnya
dengan perlahan. Ada kegetiran yang tiba-tiba masuk ke dalam hatiku dan menekan
segenap perasaanku. “Biar aku yang buatkan kopi, Rakeesh.”
“Oke. “dia kembali duduk di atas kursinya.
“Tapi pastikan kopiku tidak terlalu manis, Karina.”
“Aku sudah tahu. Tanpa kau memberitahunya pun
aku sudah tahu dan tidak mungkin salah. Kau pikir aku ini siapa?”
Rakesh tertawa kecil, mendengus dan
menggelengkan kepalanya.
“Apa tujuanmu datang kesini?” tanyanya lebih
lanjut. Sementara aku mulai membuka tutup toples yang berisi kopi, mengambil
gula dari toples yang lain, dan menjerang air di atas kompor gas. “Apakah kau
tidak suka aku datang kesini, huh?”
“Maksudku...kenapa kau datang sekarang.”
Aku tercenung dan menghela napas panjang. Aku
tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Rakeesh sudah pasti merasakan kegetiran
yang sama dengan perpisahan ini. “Papa tidak mengizinkanku untuk menghubungimu
lagi. Bahkan sekarang pun dia tidak tahu aku ada disini. Andai dia tahu,
mungkin dia akan memarahiku habis-habisan.”
“Itu artinya kau datang kesini sama dengan
mencari masalah besar, Karina.”
“Kurang lebih begitu.” Timpalku. Air sudah
panas dan aku mengangkatnya. Mengambil dua cangkir putih bertuliskan ‘her’ dan
‘him’. Cangkir kami berdua yang menjadi wakil dari jiwa kami yang saling
melengkapi satu sama lain. Lihatlah, bahkan sebuah cangkir pun selalu
berhubungan dengan kenangan kami berdua.
“Kau tidak perlu lagi datang kesini.” Ujarnya
pelan.
Aku menghentikan gerakan tangan kananku yang
mengaduk kopi di cangkir ‘him’ untuknya. Aku menoleh kepadanya dengan tatapan
yang terluka. “Kenapa?”
“Kita sudah berbeda, Karina. Aku tidak ingin
mengambil resiko untuk diriku sendiri, dan aku tidak ingin kau melampui resiko
dengan melawan keluargamu.”
Aku mendengus kesal. Kesal karena Rakeesh
seakan tidak senang dengan kedatanganku. Tiba-tiba saja hatiku diliputi amarah.
“Karena aku wanita hindu dan kau menjadi seorang muslim sialan? Kau pikir
semudah itu melupakan masa lalu? Kau pikir aku bisa melupakanmu?” aku mulai
terisak dan semuanya menjadi kacau.
“Karina, aku tidak bermaksud menyinggungmu.
Tapi_”
“Tapi apa?”
“Oke, lupakan. Aku tidak ingin bertengkar atau
berdebat dalam keadaan seperti ini.”
Aku mencoba menetralkan hatiku dan kembali
mengaduk kopi yang terhenti sesaat. Menambahkan sesendok teh gula ke dalam
cangkir Rakeesh, menambahkan tiga sendok gula ke dalam cangkirku sendiri dan
membawanya ke atas meja. “Aku juga tidak ingin berdebat denganmu. Aku tidak
ingin kita saling membenci atau_” aku kembali terisak.
“Hai, Karina. Lupakan pertanyaan konyolku. Aku
senang kau ada disini.” Ujarnya. Dia mengulurkan tangannya, mencari pergelangan
tanganku di atas meja dan dia tidak menemukan tanganku jika aku tidak meraih
tangannya dan menggenggamnya. “Aku tahu semua ini sulit.”
Kami saling berpegangan tangan. Beberapa detik
kemudian telapak tangannya yang kukuh melepas telapak tanganku. “Kopi ini akan
segera dingin jika kita larut dalam nostalgia dan saling berpengangan seperti
ini.” Selorohnya.
Aku tertawa kecil dan mulai menghirup kopiku
dan dia juga menghirup kopinya dengan perlahan.
“Kau selalu pintar membuat kopi, Karina.”
“Terimakasih.” Aku mengapresiasi pujiannya. “Dengar,
aku datang kesini bukan hanya ingin mengajakmu minum kopi berdua. Aku memiliki
kabar gembira.”
“Apa itu?”
“Novel ketigaku akan segera diterbitkan.”
“Wah, selamat Karina. Aku ikut bahagia.
Sayangnya sekarang mataku sudah tidak bisa melihat lagi. Aku tidak bisa membaca
lagi. Novel perdanamu saja membuat aku ketagihan membaca fiksi. Padahal kau
tahu aku paling tidak suka fiksi. Tapi membaca cerita yang kau tulis, itu
sebuah pengecualian.”
“Kau tidak bisa melihat, tapi aku bisa membacakannya
untukmu, Rakeesh.”
“Oh, tentu.”
“Coba tebak apa yang aku tulis di novel ketiga
ini, Rakeesh?”
“Drama keluarga?”
“Ya, tepat. Karena memang itu spesialisasiku.
Tapi cerita yang satu ini bukan sekedar fiksi Rakeesh. Ini diangkat dari kisah
nyata. Based on true story.”
“Hmm, ini bisa menjadi daya tarik tersendiri,
Karina. Kau tahu orang-orang biasanya suka dengan kisah yang diambil dari
kejadian nyata. Jika boleh tahu, kisah siapa yang kau ambil dan menjalinnya
menjadi sebuah buku?”
“Kisah kita berdua.” Jelasku singkat dan aku
bisa menangkap ekspresi terkejut di wajah Rakeesh.
“Bagaimana bisa?”
“Tentu saja bisa. Terlalu banyak kenangan
manis, nostalgia, dan kebahagiaan yang tidak mungkin aku lupakan bersamamu.”
Air mata kembali berlompatan dari pelupuk mataku. “Terlalu banyak hal yang
pantas untuk aku kenang, dan kenangan itu harus aku simpan. Kau tahu, buku
ketiga ini aku persembahkan khusus untukmu.”
Aku melihat mata kelabu Rakeesh mulai berair
dan dia terisak. Aku tahu betul betapa lelaki ini tidak pernah menangis dan dia
akan malu jika menangis. Dia menyeka matanya dengan gerakan kasar dan
menggelengkan kepalanya.
“Kau tahu bagaimana endingnya?”
“Endingnya adalah adegan yang sedang kita
lakukan saat ini. Menghirup kopi bersama-sama di suatu senja.”
Rakesh tertawa dan dia tampak bahagia.
“Tapi itu sepertinya bukan ending yang pas,
Rakeesh. Kita berpisah. Sebagaimana adanya begitu. Kita berpisah karena
perbedaan, karena aku telah menjadi seorang muslim dan ayahmu memaksamu untuk
meninggalkanku. Bukankah faktanya begitu?”
“Ya, aku menuliskan detail ini. Tapi endingnya
bukan disitu.”
Rakeesh menggeleng tak mengerti. “Endingnya jelas disana, Karina. Kita
berpisah.”
“Ya, tapi kupikir kita masih memiliki waktu
dan masa depan. dan kita belum merancangnya. Dibuku itu aku berusaha merancang
masa depan kita. Kau tahu apa yang aku tulis? Aku menulis bahwa kedua tokoh itu
mencoba memperbaiki keadaan. Tidak ada kebencian diantara mereka, dan mereka
kembali saling menyayangi satu sama lain dalam kehidupan yang normal.”
Rakeesh tercenung beberapa saat. Kemudian dia
meregangkan tubuhnya dan menumpu kepalanya dengan kedua tangannya yang
disilangkan, “Bagaimana jika kau mengubah endingnya, Karina.”
“Maksudmu? Apa yang harus aku ubah?”
“Kau kembali menjadi istriku. Kita kembali
hidup seperti pasangan normal pada umumnya, memiliki anak dan kehidupan yang
bahagia. Tapi kau mengikuti jejakku. Menjadi seorang muslim.”
Aku ternganga. “Kau pikir semudah itu? Jelas
buku itu tidak akan pernah laku. Tidak ada penerbit yang mau menerbitkannya.
Kecuali jika aku terbitkan di luar negara india. Yang benar saja Rakeesh.
Bahkan lebih dari itu, aku jamin orang tuaku akan mengusirku. Aku tidak lagi
menjadi anggota keluarga besarku, aku tidak memiliki warisan, dan aku terbuang
dari kehidupanku yang dulu. Aku tidak mungkin_”
“Itulah yang aku alami sekarang. Aku terbuang.
Tapi aku memiliki kehidupan baru dan lingkungan yang baru. Dan, masih memiliki
dirimu yang masih peduli. Dan jika itu terjadi kepada dirimu, kau masih
memiliki kehidupan, setidaknya bersamaku disini.” Rakeesh mengulurkan tangannya
dan kembali menggenggam tanganku dengan erat. “Itu pun jika kau masih mencintai
diriku dengan kedua penglihatan yang sudah hilang. Jika kau tidak keberatan
bersanding dengan lelaki yang buta dan yang tidak_”
Aku segera membekam mulutnya dengan telapak
tanganku. “Jangan kau ulangi kata-kata itu, Rakeesh.” Bisikku pelan. “Bagaimana
pun keadaanmu, kau tetap lelakiku. Kau ingin tahu apa yang sekarang mengganggu
benakku? Aku tidak peduli dengan kekhawatiranku. Yang aku pedulikan adalah aku
bisa selalu bersamamu, meski dengan itu aku harus mengkhianati dewa Visnu.”
“Tidak ada Dewa, Karina. Yang ada Tuhan yang
menciptakan kita dan_”
Rakeesh tidak bisa menghindar ketika aku merengkuhnya
dan menangis di dadanya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment