Jika kita memikirkan tentang keberkahan, maka tentu kita membayangkan tentang limpahan anugerah dari Allah subhanahu wata'ala, sehingga kita merasa cukup dengan segala karunia-Nya.
Banyak diantara kita yang menginginkan keberkahan dari Allah,
tapi justru kita seringkali melakukan perbuatan atau perkataan yang menyebabkan
keberkahan Allah menjauh dari kehidupan kita.
Berkaitan hakikat keberkahan, marilah kita simak sebuah kisah
menarik dan inspiratif dari seorang ulama salaf bernama Syaqiq al-Balkhi
rahimahullah
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syeikh al-Imam Syaqiq
al-Balkhi membeli buah semangka untuk istrinya. Tentu saja sang istri merasa
gembira dengan pemberian suaminya itu. Tapi ketika disantap, semangka itu tidak
semanis yang dibayangkan. Semangka itu terasa hambar.
Maka sang istri pun marah dan menggerutu.
Syaikh Imam Syaqiq menanggapi kemarahan istrinya dengan
tenang. Setelah beliau selesai menyimak gerutuan istrinya, beliau berkata,
“Kepada siapakah engkau marah wahai istriku? Apakah kau marah
kepada pedagang buah semangka? Atau engkau marah kepada aku sebagai pembelinya?
Atau engkau marah kepada petani yang menanamnya? Atau engkau marah kepada yang
menciptakan buah semangka ini?”
Rentetan pertanyaan Syaikh Syaqiq membuat istrinya terdiam
Sembari tersenyum, Syaikh Syaqiq al-Balkhi melanjutkan
kata-katanya,
“Pedagang semangka itu tidak akan menjual sesuatu yang tidak
baik karena ia tidak ingin kehilangan pelanggannya dan membuat pembelinya
kecewa. Aku sebagai seorang pembeli pun pasti ingin membeli sesuatu yang baik.
Begitu juga seorang petani semangka, tentu saja dia tidak ingin hasil panen
tanamannya buruk, maka dia merawat tanamannya agar bisa menghasilkan buah yang
terbaik.”
Si istri masih terdiam dan mencoba mencerna kata-kata
suaminya.
Syaikh Syaqiq masih melanjutkan nasihatnya,
“Maka istrimu, sasaran kemarahanmu bukan kepada pedagang buah
semangka, bukan juga kepada aku sebagai pembelinya atau kepada petani yang
menanamnya. Sasaran kemarahanmu yang tersisa adalah kepada Yang Menciptakan
buah semangka itu.”
Pertanyaan Syeikh al-Imam Syaqiq menembus ke dalam hati
sanubari istrinya. Terlihat butiran air mata menetes perlahan di kedua pelupuk
matanya.
Syeikh al-Imam Syaqiq al-Balkhi pun melanjutkan ucapannya,
"Bertaqwalah wahai istriku, Terimalah apa yang sudah
menjadi Ketetapan Allah. Agar Allah memberikan keberkahan pada kita.
Mendengar nasehat suaminya, sang istri pun sadar dan
menundukan kepalanya. Menangis dan mengakui kesalahannya. Serta rihdo dengan
apa yang telah ditetapkan Allah subhanahu wata'ala. Ridho dengan buah semangka
hambar yang dia makan saat itu.
Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran yang berharga.
Pertama, hendaknya kita selalu rela dengan apa yang telah
menimpa kita. Kita sadari bahwa semua itu tak lepas dari rencana Allah.
Pelajaran yang kedua, ketika kita Mengeluh berarti kita
mengeluh kepada Allah subhanahu wata'ala dan menggugat keputusan dan takdir
Allah. Cobalah kita bayangkan, pernahkah kita berani menggugat keputusan bos
besar di kantor kita?
Pelajaran yang ketiga, setiap keluhan yang terucap dan hati
yang tidak menerima dengan ikhlas ketentuan Allah, akan menjauhkan rahmat dan
keberkahan Allah subhanahu wata'ala dari kehidupan kita. Oleh karena itu, supaya hidup kita diliputi
keberkahan, kita harus menerima setiap yang Allah subhanahu wata'ala gariskan.
No comments:
Post a Comment