Ada pepatah yang mengatakan tangan di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Artinya, lebih mulia memberi daripada menjadi seorang penerima. Meski tidak ada yang salah ketika kita menerima pemberian dari orang lain. Tapi memberi itu jauh lebih mulia jika kita hendak memilih. Sayangnya, banyak orang yang lebih memiliki mental peminta-minta dibanding mental seorang pemberi.
Ada kisah menarik terkait hal
ini.
Dikisahkan seorang yang zuhud
bernama Al-Balkhi mempunyai sahabat karib yang sama-sama zuhud bernama Ibrahim
bin Adhom. Al-Balkhi sering memanggil
Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishaq.
Pada suatu hari, Al-Balkhi
berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan
ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama Al-Balkhi meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi.
Ibrahim bin Adhom menjadi heran,
mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang
dituju sangat jauh tempatnya.
Ibrahim bin Adham yang saat itu
berada di Masjid langsung bertanya kepada Al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai
Al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat ?"
"Dalam perjalanan",
jawab Al-Balkhi, "Aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan
untuk segera membatalkan perjalanan".
"Keanehan apa yang kamu
maksud ?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang
beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab Al-Balkhi
menceritakan, "Aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku
pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana burung ini bisa bertahan
hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak
bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak lama kemudian",
lanjut Al-Balkhi, "Ada seekor burung lain yang dengan susah payah
menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus
memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan
makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".
"Lantas apa hubungannya
dengan kepulanganmu ?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud
kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
"Maka aku pun
berkesimpulan", jawab Al-Balkhi seraya bergumam, "Bahwa Sang Pemberi
Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang, buta
dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah juga akan mencukupkan rizkiku
sekali pun aku tidak bekerja. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk segera
pulang saat itu juga".
Mendengar penuturan sahabatnya
itu, Ibrahim bin Adham berkata, "Wahai Al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau
memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa kamu mensejajarkan dirimu dengan
seekor burung pincang? Daripada meniru seekor burung pincang, tirulah burung
yang memberi makan temannya yang pincang dan buta. Burung itu bekerja untuk
hidupnya dan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu mencari makan.apakah kamu
tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah
?"
Al-Balkhi pun langsung menyadari
kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari
kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit. Lalu berangkatlah
ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini kita bisa
mengambil hikmah bahwa menjadi pemberi itu lebih membahagiakan dan lebih mulia
dibanding menjadi penerima.
Kita jadi teringat sabda
Rasulullah tercinta yang artinya, “Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik
bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri.
Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud -'alaihis salam- makan dari hasil jerih
payahnya sendiri"
No comments:
Post a Comment