Jika kita ingin menerima kebaikan dari orang lain, maka berilah
kebaikan yang sama. Bukan berarti kita memberi karena mengharap pamrih atau
balasan sejenis. Kita harus melakukannya dengan ikhlas. Tapi Allah subhanahu
wata'ala sudah berjanji dan janji-Nya pasti ditepati. Janji dari Allah
subhanahu wata'ala adalah kebaikan akan berbuah kebaikan.
Ada kisah ilustrasi menarik terkait hubungan timbal balik
antara kebaikan.
Ada seorang petani yang sehari-hari berjualan tepung gandum
hasil olahannya sendiri. Salah satu pelanggan yang selalu menggunakan tepung
buatannya adalah si penjual roti.
Suatu hari si penjual roti merasa penasaran apakah tepung
yang ia beli selama ini beratnya sudah tepat. Entah darimana datangnya rasa
ingin tahu tersebut, yang jelas ia betul-betul mau memastikan detik itu juga.
Ia khawatir si penjual gandum berbuat curang dan mengurangi takarannya.
Maka diambilnya tepung seberat satu kilo yang ia beli dari si
petani, dan ditimbanglah beratnya. Betapa terkejutnya ia, tepung itu hanya 800
gram! Itu berarti si penjual tepung telah berbuat curang, dia telah mengurangi
timbangan. Betapa marahnya si penjual roti.
Tanpa menunggu lama, sembari dikuasai rasa kesal, si penjual
roti segera berlari menuju kediaman si petani dan menuduhnya telah berbuat
tidak jujur. Sedangkan si petani sendiri justru merasa heran karena ia selalu
menimbang dengan takaran yang pas. Tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula
dikurang-kurangi.
Singkat cerita, kasus petani dan penjual roti ini dibawa ke
pengadilan. Kini keduanya berhadapan dengan hakim yang sedang bertanya tentang
kejadian tersebut.
"Tuan petani mengapa tepung gandum milikmu tidak tepat
takarannya? Apa kamu sudah menimbangnya?" tanya si hakim kepada si petani.
"Maaf Tuan hakim, saya sebenarnya tidak punya timbangan,"
jawab si petani gandung dengan polos.
Si hakim dan si penjual roti terperangah.
"Lalu bagaimana kamu mengetahui takaran tepungmu
ini?" tanya si hakim dengan mimik heran.
"Aku hanya menggunakan neraca sebagai alat ukur," tanya
si petani gandum.
"Bagaimana caramu menggunakannya?"
"Begini, setiap hari aku membeli roti dari si tukang
roti ini. Aku lihat di kemasan roti itu beratnya satu kilo gram. Maka roti
itulah yang aku gunakan sebagai patokan di sebelah kanan neraca, sedangkan di
sebelah kiri aku pakai untuk tepung. Jika keduanya telah seimbang, berarti
tepungku juga seberat satu kilo. Bukankah begitu Tuan hakim?"
Sampai sini pasti anda sudah paham alur kisah ini. Penjual
roti yang ikut mendengarkan penjelasan petani itu terkejut sekali. Akhirnya ia
mengakui bahwa ia memang mengurangi timbangan roti yang ia jual. Sang hakim pun
menutup kasus ini dan menyatakan si petani tidak bersalah.
Kisah ilustrasi ini mengandung pembelajaran bagi kita semua,
bahwa perbuatan tidak baik yang kita lakukan kepada orang lain, akibatnya hanya
akan kembali kepada diri kita sendiri.
Ketika kita berbuat hal buruk, baik itu perkataan ataupun
perbuatan, maka lambat laun, secara pasti keburukan itu akan kembali kepada
kita. Dan jika pun tidak di dunia, maka di akhirat kita akan memperoleh
balasannya yang berlipat-lipat.
Oleh karena itu perhatikanlah apa yang kita ucap dan apa yang
kita lakukan. Semoga dengan begitu kita berhati-hati. Dan tetaplah berbuat
kebaikan serta meminta kepada Allah subhanahu wata'ala untuk diistiqomahkan
dalam kebaikan.
=
Ikhlas Ketika Memberi
Di suatu pondok yang sederhana, hiduplah seorang guru tua
dengan istrinya. Sang guru sudah puluhan tahun mengajar di sebuah sekolah yang
tak terlalu jauh dari rumahnya. Guru ini sangat baik hati dan dihormati oleh
murid-muridnya.
Suatu hari, seorang mantan muridnya datang ke rumahnya. Ia
membawa seikat ubi yang diamanahkan oleh ayahnya sebagai oleh-oleh pada sang
guru. "Pak guru, saya membawa ubi. Hanya ini yang saya dan keluarga punya
untuk membalas kebaikan bapak," ujarnya.
Melihat muridnya yang lugu dan tulus, sang guru tersentuh.
"Kok repot-repot, Nak? Duduk di sini dulu ya. Kamu pasti capek jauh-jauh
dari desa bawa ubi. Bapak ke belakang dulu," ujar sang guru.
Pria paruh baya itu pun berjalan ke belakang dan menemui
istrinya. "Bu, kita punya apa? Ini muridku bawa ubi," kata pria itu.
Sang istri melihat ke dapurnya. Tidak ada apa-apa selain alat masak, bumbu
dapur dan air minum. "Punya apa kita, Pak? Wong kita cuma punya kambing
peliharaan bapak itu di belakang," jawab istrinya.
Guru itu pun mengangguk-angguk, "Oo.. Ya sudah ini
ubinya disimpan. Buatkan muridku minum ya, Bu. Kita kasih kambing saja,"
kata pria itu. Istrinya mengangguk dan membuatkan teh hangat untuk muridnya.
Sementara pria itu mengambil kambing peliharaannya.
"Ini, Nak. Bawa pulang, ya? Bilang terima kasih pada
bapakmu," kata pria itu. Muridnya terkejut, tapi ia sangat berterima kasih
pada gurunya yang memang baik hati itu. Tak lama, ia pun pulang dari pondok
gurunya.
Di jalan, murid ini bertemu dengan temannya. Teman tersebut
bertanya dari mana ia mendapat kambing. Murid yang lugu itupun menceritakan
bagaimana ia membawa ubi hingga dapat kambing. Mendengar cerita itu, murid yang
satu ini tergiur mendapat pemberian yang sama dari gurunya. Ia pun segera
pulang dan menceritakan kejadian itu pada ayahnya.
Sang ayah yang juga tergiur berkata, "Wah, mungkin
kalau kamu bawa kambing, nanti kamu akan diberi sapi, Nak." Begitu pikir
ayah dan anak ini. Kalau mereka memberi yang besar, maka mereka akan menerima
yang lebih besar lagi.
Maka, sore itu pergilah murid yang satu ini membawa kambing
ke rumah gurunya. Sang guru kaget, baru saja ia memberi kambing pada muridnya,
sekarang ia menerima kambing lain yang menggantikan kambingnya. Maka buru-buru
ia menemui istrinya, "Istriku, kita dapat kambing lagi. Alhamdulillah.
Kita cuma punya ubi, ya? Ya sudah berikan saja ubinya untuk muridku,"
ujarnya.
Maka sang guru keluar membawa 3 ikat ubi yang diberikan
murid pertamanya tadi. Melihat apa yang diberikan gurunya, murid kedua ini
terkejut. Antara agak kecewa dan harus tetap senyum di depan gurunya. Maka ia
pun pulang dengan membawa 3 ikat ubi, bukan sapi seperti yang dia harapkan.
Sahabat Husni-Magz, matematika manusia tidak bisa disamakan dengan
matematika Tuhan dalam kebaikan. Berbuat adalah baik bila disertai dengan
keikhlasan. Bila mengharapkan balasan dan ganjaran, belum ikhlas namanya.
Berbuat baik semata-mata karena Tuhan menyukai perbuatan baik itu. Dan lupakan
apa yang sudah kita perbuat, biar hati tenang dan biar Tuhan yang mengurus
selebihnya.
Semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment