28 May 2018

Dunia Literasi Santri


Saya mengalami ‘kegilaan’ membaca sejak zaman kelas tiga SD silam. Tapi saya semakin kesengsem dengan buku ketika nyantri di sebuah pondok pesantren di daerah Ciamis selatan. (sekarang sudah dimekarkan menjadi kabupaten Pangandaran).

Waktu itu, kegiatan membaca dan menulis adalah pelarian saya dari rutinitas pesantren yang terkadang membosankan. Di waktu-waktu luang saya menenggelamkan diri saya pada novel-novel ‘selundupan’ dan illegal yang dibawa oleh para santri dari rumah mereka atau membelinya dari toko buku ketika izin keluar komplek pesantren.

Kenapa saya katakana novel illegal berada di pesantren? Karena di pesantren, bacaan-bacaan fiksi semacam novel, komik, majalah dan koran dilarang. Tak ada buku lain selain kitab kuning berbahasa arab dan kitab-kitab pelajaran.

Sesaleh-salehnya kami sebagai santri, kami terkadang merasa dahaga dengan bahan bacaan lain selain kitab hafalan. Oleh karena itu, terkadang saya mencegat motor tukang koran untuk membeli edisi minggu koran Republika dan Pikiran Rakyat. Saya memilih edisi minggu karena saya bisa menikmati rubric-rubrik special weekend semacam sajak, cerpen dan leisure. Terkadang saya juga membeli majalah sastra lokal semacam mangle dan majalah-majalah islam.

Dan tentu saja kami juga bisa membaca novel-novel populer yang beredar dari tangan ke tangan di bawah kolong meja kelas atau dari bawah sarung dan gulungan kitab di tengah proses belajar mengajar. Kami tak ingin para ustadz tahu bahwa kami membaca novel. Pada akhirnya, pada titik dimana kenakalan anak-anak remaja semacam saya mendapatkan tempatnya, saya nekad membawa novel ke ruang kelas dan membacanya di tengah-tengah proses belajar berlangsung. Itu saya lakukan saking merasa gundah dan penarasan dengan lanjutan cerita berikutnya.

Ceritanya, saya biasa menghabiskan waktu luang di kobong (kamar asrama) dengan membaca novel pinjaman. Hingga mau tak mau saya harus menjeda cerita di tengah konflik yang sedang meninggi karena ada jadwal belajar. Saya mencoba mencari tempat duduk paling belakang dan paling pojok sehingga jauh dari jangkauan dan pantauan ustadz. Saya membuka kitab Sulamun Taufik dan membuka novel di atasnya. Kemudian di tengah sayup-sayup suara ustadz, saya semakin tenggelam dengan kisah yang sempat terhenti. Lebih parah lagi, ada teman saya yang membaca majalah dan tabloid remaja pop di atas kitab. Ya ampun, saya harap ini tidak dicontoh oleh generasi selanjutnya. Bagi saya, ini contoh kenakalan santri yang konyol. Bahkan saya berani mengatakan kenakalan literasi yang menyimpang.

Toh saya pada akhirnya tahu bahwa ada pesantren yang peduli dengan hasrat literasi santrinya. Banyak pesantren yang mewadahi dunia literasi santri dengan mendatangkan para sastrawan untuk mengenalkan kecintaan pada literasi; membaca dan menulis.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

1 comment:

  1. Game Online... GabunG : ke F4n583771nG Pendaftaran Free ^o^

    ReplyDelete