Saya mengalami ‘kegilaan’ membaca sejak zaman kelas tiga SD
silam. Tapi saya semakin kesengsem dengan buku ketika nyantri di sebuah pondok
pesantren di daerah Ciamis selatan. (sekarang sudah dimekarkan menjadi
kabupaten Pangandaran).
Waktu itu, kegiatan membaca dan menulis adalah pelarian saya
dari rutinitas pesantren yang terkadang membosankan. Di waktu-waktu luang saya
menenggelamkan diri saya pada novel-novel ‘selundupan’ dan illegal yang dibawa
oleh para santri dari rumah mereka atau membelinya dari toko buku ketika izin
keluar komplek pesantren.
Kenapa saya katakana novel illegal berada di pesantren? Karena
di pesantren, bacaan-bacaan fiksi semacam novel, komik, majalah dan koran
dilarang. Tak ada buku lain selain kitab kuning berbahasa arab dan kitab-kitab
pelajaran.
Sesaleh-salehnya kami sebagai santri, kami terkadang merasa
dahaga dengan bahan bacaan lain selain kitab hafalan. Oleh karena itu,
terkadang saya mencegat motor tukang koran untuk membeli edisi minggu koran
Republika dan Pikiran Rakyat. Saya memilih edisi minggu karena saya bisa
menikmati rubric-rubrik special weekend semacam sajak, cerpen dan leisure. Terkadang
saya juga membeli majalah sastra lokal semacam mangle dan majalah-majalah
islam.
Dan tentu saja kami juga bisa membaca novel-novel populer
yang beredar dari tangan ke tangan di bawah kolong meja kelas atau dari bawah
sarung dan gulungan kitab di tengah proses belajar mengajar. Kami tak ingin
para ustadz tahu bahwa kami membaca novel. Pada akhirnya, pada titik dimana
kenakalan anak-anak remaja semacam saya mendapatkan tempatnya, saya nekad
membawa novel ke ruang kelas dan membacanya di tengah-tengah proses belajar
berlangsung. Itu saya lakukan saking merasa gundah dan penarasan dengan
lanjutan cerita berikutnya.
Ceritanya, saya biasa menghabiskan waktu luang di kobong
(kamar asrama) dengan membaca novel pinjaman. Hingga mau tak mau saya harus
menjeda cerita di tengah konflik yang sedang meninggi karena ada jadwal
belajar. Saya mencoba mencari tempat duduk paling belakang dan paling pojok
sehingga jauh dari jangkauan dan pantauan ustadz. Saya membuka kitab Sulamun
Taufik dan membuka novel di atasnya. Kemudian di tengah sayup-sayup suara
ustadz, saya semakin tenggelam dengan kisah yang sempat terhenti. Lebih parah
lagi, ada teman saya yang membaca majalah dan tabloid remaja pop di atas kitab.
Ya ampun, saya harap ini tidak dicontoh oleh generasi selanjutnya. Bagi saya,
ini contoh kenakalan santri yang konyol. Bahkan saya berani mengatakan
kenakalan literasi yang menyimpang.
Toh saya pada akhirnya tahu bahwa ada pesantren yang peduli
dengan hasrat literasi santrinya. Banyak pesantren yang mewadahi dunia literasi
santri dengan mendatangkan para sastrawan untuk mengenalkan kecintaan pada
literasi; membaca dan menulis.
Game Online... GabunG : ke F4n583771nG Pendaftaran Free ^o^
ReplyDelete