Seminggu berselang, pemuda itu sudah kembali muncul di bar.
Ninon melihat sejak kakinya menginjak lanti bar. Pemuda itu menatapnya dan
tersenyum lebar. Kepalanya sudah tak diperban lagi. Jalannya juga tak pincang.
Itu berarti dia sudah sembuh total.
“hai ninon. Apa kabar?”tanyanya sumringah dan mengulurkan
tangannya yang putih kekar.
Ninon tersenyum.”baik, gimana, kamu sudah bosan ya tinggal
di rumah sakit.”
“mana aku bosan, setiap hari saya selalu disuapin suster
cantik. Kalau boleh memilih, lebih baik saya hidup disana selamanya.”ujarnya
diselingi seringai lebar.
“kalau begitu kenapa kamu keluar dengan cepat? Bilang saja
kepada dokter kalau kamu masih merasakan sakit.”timpal ninon sekenanya.
Pemuda itu menatap ninon dengan tajam,”karena aku kangen
sama kamu ninon. Kamu lebih cantik dari suster itu.”
Glek! Ninon terperangah. Dasar laki-laki gombal.”sorry ya.
Aku bukan tipe perempuan yang candu sanjungan. Silakan saja kamu menyanjungku
habis-habisan. Toh itu nggak ada pengaruh apa-apa.”
Pemuda itu menghela nafas.”taka pa, aku Cuma mengatakan hal
yang sebenarnya.”
Ninon tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya pada deretan
botol bir di atas meja bartender. Kemudian dengan gesit mengelap meja yang
belum sempat ia bersihkan karena kedatangan pemuda itu.
“boleh saya ngobrol?”tanyanya kemudian.
Ninon menghentikan gerakan tangannya dan menatap tajam.”aku
harus melayani para pengunjung bar. Jadi nanti saja kalau memang ada waktu.”dan
ninon yakin, ia tak bakalan punya waktu untuk melayani si pemuda brengsek itu.
Ia harus segera pulang setelah bar itu tutup nanti. Lagi pula tak mungkin
pemuda itu menungguinya.
Pemuda itu mengangguk pelan. Tangannya meraih sebotol
bintang dan beranjak pergi dari meja bartender. Ia melangkah ke meja yang biasa
ia duduki. Pojok ruangan dekat akuarium besar.
Ninon menatap kepergiannya dengan tatapan aneh. Ia yakin,
walaupun tampilan pemuda itu urakan, tapi dari gaya berpakaiannya ninon tahu
bahwa ia pemuda kaya. Tak ada kecacatan yang Nampak dari pemuda itu. Wajahnya
berparas indo yang nino yakin, setiap wanita akan menyukainya. Dalam hati ia
mengakui bahwa ia menyukai ketampanannya.
****
Ninon hanya menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir,
pemuda itu masih asyik merokok di mejanya. Entah ia menikmati suasana bar itu
atau memang menungguinya. Ia berharap pemuda itu tak lagi menyesap ganja dan
teller di depan matanya. Ninon segera membereskan botol-botol kosong dan
beranjak ke meja pemuda tersebut.
“hai.”sapa ninon pendek.
Pemuda itu tersenyum.”sini, temani aku duduk.”ujarnya.
Ninon yakin, untuk saat ini, pemuda itu tidak sedang
menyesap narkoba. Hanya ia terlihat agak mabuk.”terimakasih. tapi aku harus
pulang sekarang juga. Dan bar akan tutup.”
Pemuda itu melihat arlojinya.”oh ya, aku hampir lupa waktu.
Kalau begitu, mari saya antar pulang.
Ninon tersenyum senang. Ia mengangguk dalam-dalam.”ayo!”
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya dan mengenggam
tangan ninon.
Ninon menepis tangannya.”jangan sampai kamu melakukan hal
serupa seperti minggu yang lalu.”
“itu nggak mungkin terjadi. Saat itu aku lagi mabuk. Maaf.”
“lalu apa maumu?”Tanya ninon. Kecurigaan kembali menyeruak
dari dadanya.
“tak bisakah kau bersikap sopan seperti sikapmu pada om-om
yang kau layani setiap malam ninon? Kenapa? Kau tak suka tangan saya
menggenggam tanganmu sementara setiap saat laki-laki paruh baya itu menjamahmu?
Oh, aku tahu. Kau butuh uang.”
Wajah ninon memerah. Rasa malu dan jengkel bercampur jadi
satu. Ia tak menyangka, pemuda itu telah memperhatikan setipa gerak geriknya
sepanjang malam itu.
“lalu apa urusanmu.”kata ninon pelan. Walau pun ia mengakui
bahwa dirinya tak lebih dari wanita yang kotor. Tapi setidaknya dia punya harga
diri ketika harus mendengar kata-kata menyudutkan yang dilontarkan pemuda itu.
Ninon menepis tangan pemuda itu dan berjalan hendak keluar.
Pemuda itu sadar akan kesalahannya. Ia membuntuti ninon dan
meraih ponsel yang masih tergeletak di atas meja.”ninon, maafkan saya.”
Ninon tak mempedulikan ucapannya. Ia mengambil kunci bar
dari atas meja.”aku akan mengunci bar. Jadi, silakan keluar sekarang
juga!”serunya tak senang.
Pemuda itu hanya menghela nafas dan beranjak keluar. Ia
menunggu ninon yang sedang mengunci pintu dan jendela-jendela bar. Ketika
dilihatnya ninon keluar ia segera menghampirinya.”ayo kita pulang.”
Ninon terdiam.
“lupakan kata-kataku barusan. Mungkin aku masih agak mabuk
sehingga tak bisa mengontrol kata-kataku.”ujarnya dengan nada penuh penyesalan.
Ia berjalan menuju tempat parker dan menghidupkan mesin mobilnya. Kemudian
memutarnya dan meluncur menuju depan pintu bar dimana ninon berdiri.
“ayo!”serunya sembari membukakan pintu depan. Ninon
melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam mobil jazz putih itu.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis dan mulai menyetir dengan
pelan.”kau belum menanyakan namaku ninon.”
“memang itu perlu?”ujar ninon dengan sengit. Ia masih merasa
marah terhadap pemuda tak tahu diri itu.
Pemuda itu kembali tersenyum. Entah kenapa ia selalu
tersenyum sebelum melontarkan kata-katanya.”kenapa kau selalu seperti itu
ninon? Apakah saya terlalu menjengkelkan?”
Ninon menjawab ya dalam hati. Ia masih merasa gensi untuk
bisa mersikap akrab semenjak pemuda itu bersikap kurang seminggu yang lalu.
Walaupun ia tahu, pemuda itu tak bermaksud bersikap kurang ajar dengan semua
itu.
“oke, tampaknya kau harus sedikit narsis di depanmu. Namaku
fernandes. Jujur, aku menyukaimu ninon. Aku merasa terharu untuk pertama
kalinya, ketika kau membawaku ke rumah sakit. Dari situlah, aku merasa kau
bukanlah gadis biasa. Kau gadis yang punya empati dan jiwa social yang tinggi.”
Tak terasa air mata ninon merembes dari kedua kelopak
matanya. Ia tak lagi peduli dengan pengakuaannya bahwa ia kebal dengan
sanjungan lelaki. Dan untuk sekarang ini, ia mengakui bahwa fernandes bukanlah
lelaki biasa. Ia bukan seperti om-om yang –dengan terpaksa- selalu ia layani.
“ninon, jujur saja. Aku berharap bisa mencintaimu sepenuh
hati. Tapi bagaimana bisa jika aku selalu melihatmu berganti lelaki setiap
malam? Aku tahu kau butuh uang. Tapi bisakah kau menuruti keinginanku?”
“apa?”Tanya ninon dengan suara serak. Bagaimana pun juga ia
sudah terbius dengan kata-kata yang terlontar dari mulut fernandes. Ninon
yakin, fernandes adalah lelaki sempurna yang pernah ia temui dalam hidupnya.
“kau harus berjanji bahwa kau akan berhenti melakukan semua
itu. Kau hanya menjadi pelayan bar dengan mengantar pesanan dan minuman saja.
Aku ingin kau tak__”
Ninon menatap fernandes tajam.”kau kita itu mudh fernandes.
aku juga butuh uang.”
Fernandes menghela nafas panjang.”kau tidak percaya bahwa
tuhan itu member rezeki dalam berbagai cara. Tanpa harus mengorbankan
kehormatanmu kau juga bisa mendapatkan kasih sayang tuhan ninon. Aku siap
menjadi perantara tuhan sebagai penolongmu.”
Air mata kembali merembes dari kedua kelopak mata ninon. Ia
kini paham arah pembicaraan pemuda itu.
“sebenarnya bukan masalah uang atau rezeki fernandes. tapi
aku takut sama tante viola.”
“ninon, aku akan mengganti uang itu, sebesar penghasilanmu
setiap bulan. Kau bisa menyerahkannya kepada tantemu yang kurang ajar itu.
Asalkan kau berhenti dari pekerjaan hinamu itu.”ujar fernandes meyakinkan.
Tangannya kirinya terulur dan menggenggam tangan kanan ninon. Sementara tangan
kanannya memegang setir mobil. “aku tak akan pernah rela jika ada yang kembali
menjamah tubuhmu.”
Ninon terdiam dan merasakan gejolak di hatinya.
No comments:
Post a Comment