Sudah dua minggu lamanya Nurjanah
dan Khalid suaminya pindah ke Perum Mutiara. Suaminya mengajaknya pindah ke
Perum itu dengan alasan letaknya dekat Dari tempat kerja. Selain itu, juga
dekat dengan majlis taklim Al-Khoiriyah. Majlis taklim kajian salaf teman-teman
suaminya. Tapi, kerpindahan itu tak menumbuhkan harapan-harapan kebahagiaan.
Yang ada hanyalah rasa sempit dan tertekan yang dirasakan Nurjanah. Diam-diam,
nurjanah menyimpan rasa sesal dihatinya. Kenapa ia harus mau menuruti kemauan
suaminya jika harus begini.
Pasalnya, tetangga-tetangga
nurjannah sering menggunjingkan dia dan suaminya. Ia bisa mengethaui hal itu
langsung oleh kedua pendengarannya sendiri. Bukan sebab perantara porang lain,
alapagi kabar burung yang tak jelas juntrungnya.
Seperti hari kemarin. Nurjanah
beranjak dari pembaringannya ketika didengarnya suara tukang sayur yang
menawarkan dagangannya. Akhir-akhir ini, nurjanah selalu merasa mual dan
meriang sehingga lebih banyak menghabiskan waktunya di atas dipan. Ia akan
merasa pusing jika harus berjalan dan melakukan segala aktifitas lainnya.
Alhamdulillah, itu adalah kondisi alamiah wanita hamil. Tiga hari yang lalu ia
memeriksakannya ke bidan deti, dan mengatakan bahwa ia positif hamil.”sudah
tiga bulan bu.”ujar bidan deti dengan senyum merekah. Nurjanah hanya tersenyum
dan melantunkan tasbih dan hamdalah.
Nurjanah keluar dengan menahan
pening. Sebenarnya ia hanya ingin membeli wortel saja. Aneh memang, biasanya
wanita kebanyakan ketika hamil ngidam makanan yang pedas atau masam. Tapi
nurjanah malah ngidam wortel. Entah kenapa, seleranya makannya terbit setiap
melihat warna orange cerah. Salahsatunya adalah wortel.
“wortelnya sekilo bang.”ujar
nurjanah. Ia kemudian mengedarkan pandangannya kea rah ibu-ibu yang berkerumun
di tempat yang sama. Tetangganya. Kemudian memberikan seulas senyum. Tapi para
ibu-ibu itu hanya menatapnya dan saling pandang satu sama lain. Nurjanah merasa
jengah dengan kondisi yang ia alami. Ibu-ibu tetangganya seakan merasa aneh
dengan kehadiran keluarganya. Ah, masa bodoh. Kenapa aku harus memikirkan
mereka. Yang penting aku tidak melakukan hal-hal yang merugikan mereka, begitu
piker nurjanah.
“ini bu.”ujar tukang sayur sembari
mengangsurkan sekresek wortel. Nurjanah memberikan uang beberapa lembar uang
ribuan dan berlalu dari tempat itu. Ia belum menutup pintu depan rumahnya
ketika gunjingan-gunjingan itu hinggap di telinganya.
“dasar sok alim. Mungkin dia nggak
pernah bertetangga.”
“eh, tahu nggak. Ada desas desus
katanya suaminya anggota jaringan teroris”
“kok kamu tahu san?”
“ceritanya, suamiku datang untuk
mendata penghuni baru. Eh, suamiku nggak sengaja melihat bendera ISIS di ruang
tamunya.”
“lagian bisanya juga istri-istri
teroris pake jilbab mukena kan?”
“bukan mukena kali jeng. Tapi emang
jilbabnya kegedean.”
“masa sih?”
“wah, bahaya itu.”
“pantes suaminya nggak pernah bisa
sosialisasi. Bawaannya diem mulu. Ya, nggak beda kayak istrinya sih.”
Diam-diam nurjanahmenutup pintunya.
Air bening berhamburan dari kedua kelopak matanya. Dia hanya bisa mengurut
dadanya dan berusaha untuk bertahan dari gejolak yang semakin bergemuruh di
hatinya.
Sedemikian parahkah diriku. Mereka
menganggapku dan suamiku tak bisa bersosialisasi. Tak bisakah mereka berbaik
sangka? Kelu nurjanah dalam hati.
Memang nurjanah bukanlah tipe
wanita yang gampang bergaul dan mudah bersosialisasi. Sejak kecil ia tumbuh
sebagai perempuan pemalu. Mungkin ia mewarisi sifat ayahnya. Karena sejauh yang
ia tahu, ibunya sangat pandai beramah tamah dan berbasa-basi dengan tetangga.
Entah kenapa, nurjanah merasa tersiksa dengan apa yang didengarnya barusan.
Bukan masalah tuduhan mereka yang menganggapnya sebagai istri teroris. Tapi
lebih pada sangkaan mereka yang menganggapnya demikian hanya karena sikapnya
yang tertutup.
Suami nurjanah juga tak jauh beda.
Lelaki dengan jenggot tebal dan wajah teduh itu tak pernah banyak cakap. Ia
bicara seperlunya. Dan inilah pangkal dari kep[edihan itu, suaminya juga
seorang yang pendiam dan tak pandai bergaul dengan masyarakat sekitar. Kecuali dengan
sesama jamaah pengajiannya.
Nurjanah menghela nafas panjang dan
berlalu dari ruang tamu. Ia sudah tak sabar untuk memamah wortel yang barusaja
ia beli.
****
“bang, aku sudah nggak tahan lagi
tinggal disini. Kalau bisa bulan depan kita pindah dari sini.”keluh nur saat
suaminya datang dari tempat kerja.
suaminya mengerutkan kening. Kedua alis tebalnya hamper bertautan.’ada apa sih nur. Kamu kok nggak seperti biasanya?”
suaminya mengerutkan kening. Kedua alis tebalnya hamper bertautan.’ada apa sih nur. Kamu kok nggak seperti biasanya?”
“bang, nur udah bosen denger
gunjingan tetangga sama kita. Nyebut kita teroris lah, nggak bisa ramah tamah
lah,_”
“nur!”ujar Khalid dengan tatapannya
yang meneduhkan.”sabar. bukankah kita dituntut untuk sabar ketika menghadapi
segala persoalan kehidupan. Ini tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang
dialami rasulullah dan para sahabatnya.”
Nurjanah terdiam.
“lagi pula, kalau kita pindah kan
tanggung. Abang udah bayar sewa rumah untuk dua tahun ke depan. Berdoa saja,
mudah-mudahan para tetangga kita berubah dan bisa memahami kita.”
“kita harus merubah sikap kita
bang.”
Khalid menatap wajah istrinya
dengan lembut.”ya, kita harus pandai bergaul seperti yang mereka inginkan.
Seperti yang abang bilang tadi. Berdoalah. Berdoalah untuk kemudahan kita dan
kemudahan mereka.”
Nurjanah menghela nafas dan
menganggukan kepalanya pelan. Kemudian mengangsurkan the manis ke hadapan
suaminya.
****
Sudah dua hari ini nurjanah tidak
merasakan mual-mual seperti biasanya. Ia kembali beraktifitas seperti biasanya.
Hari ini ada kegiatan kerja bakti RT 04 dan 05. Ada pemasangan paping block sepanjang jalan teratai.
Tadi pagi suaminya meminta nurjanah untuk ikut menyiapkan makanan untuk para
kaum bapak bersama ibu-ibu yang selama ini kurang akrab dengan keluarganya.
“ini kesempatan kita untuk bisa
menjalin hubungan lebih dekat dengan para tetangga kita nur. Insya allah abang
juga libur kerja. Kemarin udah ijin sama pak manager.”
Nur mengangguk. Entah kenapa
tiba-tiba hatinya berdebar-debar dan merasa was-was.
“mudah-mudahan setelah ini mereka
akan berubah sikap terhadap kita.”pungkas Khalid dan menyeruput the yang biasa
disediakan istrinya setiap pagi
Agak siang, nurjanah pun berbaur
dengan ibu-ibu. Sebagian besar masih bersikap sama seperti hari-hari
sebelumnya. Mereka menatapnya curiga. Seakan-akan nurjanah adalah makhluk asing
yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Nurjanah tak ambil pusing. Ia
mengantarkan teko dan termos ke meja untuk para pekerja. Bahkan gelasnya pun
sengaja ia bawa dari rumahnya. Padahal bu RT juga menyediakan gelas-gelasnya
untuk para pekerja. Untungnya, bu RW dan Bu RT 05 sangat perhatian dan tidak
menatap nurjanah dengan tatapan menghakimi. Dan nurjanah merasa, Allah telah
menjawab doanya semalam. Nurjanah bisa lebih tenang dan tak merasa tertekan. Ia
tak lagi merasa terintimidasi oleh tatapan para tetangganya. Lagi pula ia hanya
membuang-buang energy secara percuma dengan memikirkan hal-hal yang tidak
seharusnya ia pikirkan.
Pun suaminya Khalid. Ia tampak
begitu giat bekerja. Tanpaknya ia tak ada masalah sama sekali. Bedanya, Khalid
tak bisa bercanda sepertibapak-bapak kebanyakan. Ia hanya menjadi pendengar
setia dan tersenyum bila memang candaan itu mampu membuatnya tersenyum.
Sorenya, nurjanah kembali mengeluh.
Ia merasa bahwa sikap para tetangganya tak jauh berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Bagaimana pun juga, ia masih merasa terkucilkan dan tak bisa merasa
tenang ketika harus bersama-sama dengan ibu-ibu tetangga.
Lagi-lagi Khalid menasihatinya
dengan atatapan yang teduh dan mampu meluluhkan hati istrinya.”lama-lama mereka
juga pasti berubah nur. Hanya masalah waktu saja.”
Sore itu akan diadakan pengajian di
mushola RT. Para ibu-ibu komplek tampak sudah brkumpul di pelataran mushola.
Tak ketinggalan juga nurjanah. Ia kini mengikuti pengajian komplek setelah
digunjingkan selalu menghadiri pengajian eklusif. Padahal, sudah sejak dua
minggu yang lalu ia ingin mengikuti pengajian ibu-ibu kompleks. Tapi karena
sikap ibu-ibu itu yang membuatnya merasa enggan untuk berbaur dengan mereka.
Tapi untuk sekarang, nurjanah lebih menuruti nasihat suaminya dari pada egonya
sendiri. Mudah-mudahan saja apa yang dikatakan suaminya benar. Ibu-ibu
tetangganya akan sadar dalam waktu yang dekat.
Para ibu komplek mulai berdatangan.
Kemudian bercengkrama dan saling menanyai kabar sembari Menunggu ibu ustadzah yang masih sedang di
perjalanan. Tak menunggu lama, bu ustadzah datang. Ibu-ibu segera masuk ke
dalam mushola.
Ibu ustadzah itu bernama hajah
khodijah. Ia mengitarkan pandangannya ke seluruh jamaah dan menyapa dengan
senyum khasnya,”bagaimana kabarnya ibu-ibu?”
Para jamaah menjawab serempak.
Kemudian ustadzah melanjutkan.”pada kesempatan ini, insya allah kita akan
membahas mengenai larangan berprasangka dan menggunjing saudara seiman.”
Jamaah terdiam dan mulai menyimak
apa yang diucapkan ibu hajah khodijah.
“jamaah ibu-ibu yang dirahmati
allah, rasulullah sudah melarang kita untuk berperasangka. Bahkan secara tegas,
allah melarangnya di dalam al-quran. Kenapa kita dilarang berprasangka?
Dikhawatirkan apa yang kita sangkakan tidak sesuai dengan kenyataan.”
“boleh kita curiga atau waspada.
Tapi jangan sampai kecurigaan kita mendorong kepada hal-hal yang kurang
bijaksana. Hanya dengan melihat atau mendengar secara sekilas, kita sudah
berani menyimpulkan. Padahal tidak sedikit orang yang terkecoh oleh penampilan
luar.”
Ibu-ibu yang hadit terdiam. Semua
merasa tertohok oleh kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut ustadzah.
Seumpama anak panah yang melesat dari busur dan menancap tepat di hati mereka.
Sementara nurjanah hanya melantunkan tasbih dalam hatinya yang mulai lapang.
“coba ibu-ibu bayangkan. Bagaimana
jika seandainya orang yang kita curigai dan gunjingkan itu tidak sesuai dengan
apa yang kita sangkakan terhadapnya. Kemudian orang itu tahu, bahwa kita
mencurigainya atau bahkan menggunjingkannya. Sudah pasti ia merasa sakit hati
dan merana. Sakitnya tuh disini…”
Gerrr! Ibu-ibu tertawa mendengar kata-kata terakhir ustadzah yang memang
diambil dari lagu yang sedang booming. Tapi tak sedikit diantara mereka yang
tertawa dengan hambar. Dibalik tawa mereka, ada gemuruh yang bergejolak di hati
mereka masing-masing. Panah kata-kata ustadzah tadi masih nyata membekas.
Nurjanah kembali melantunkan tasbih dan tahmid di hatinya. Ia yakin, allah
telah merancanakan hal ini. Allah yang mendengar doa-doanya selama ini. Semoga
saja ibu-ibu komplek bisa sadar dan bersikap sebagaimana mestinya, ujarnya
dalam hati.
Tak terasa, pengajian pun usai dan
para ibu-ibu beranjak dengan menyimpan sesal di dada.
No comments:
Post a Comment