29 Mar 2015

Bisik-Bisik Tetangga

Sudah dua minggu lamanya Nurjanah dan Khalid suaminya pindah ke Perum Mutiara. Suaminya mengajaknya pindah ke Perum itu dengan alasan letaknya dekat Dari tempat kerja. Selain itu, juga dekat dengan majlis taklim Al-Khoiriyah. Majlis taklim kajian salaf teman-teman suaminya. Tapi, kerpindahan itu tak menumbuhkan harapan-harapan kebahagiaan. Yang ada hanyalah rasa sempit dan tertekan yang dirasakan Nurjanah. Diam-diam, nurjanah menyimpan rasa sesal dihatinya. Kenapa ia harus mau menuruti kemauan suaminya jika harus begini.
Pasalnya, tetangga-tetangga nurjannah sering menggunjingkan dia dan suaminya. Ia bisa mengethaui hal itu langsung oleh kedua pendengarannya sendiri. Bukan sebab perantara porang lain, alapagi kabar burung yang tak jelas juntrungnya.
Seperti hari kemarin. Nurjanah beranjak dari pembaringannya ketika didengarnya suara tukang sayur yang menawarkan dagangannya. Akhir-akhir ini, nurjanah selalu merasa mual dan meriang sehingga lebih banyak menghabiskan waktunya di atas dipan. Ia akan merasa pusing jika harus berjalan dan melakukan segala aktifitas lainnya. Alhamdulillah, itu adalah kondisi alamiah wanita hamil. Tiga hari yang lalu ia memeriksakannya ke bidan deti, dan mengatakan bahwa ia positif hamil.”sudah tiga bulan bu.”ujar bidan deti dengan senyum merekah. Nurjanah hanya tersenyum dan melantunkan tasbih dan hamdalah.
Nurjanah keluar dengan menahan pening. Sebenarnya ia hanya ingin membeli wortel saja. Aneh memang, biasanya wanita kebanyakan ketika hamil ngidam makanan yang pedas atau masam. Tapi nurjanah malah ngidam wortel. Entah kenapa, seleranya makannya terbit setiap melihat warna orange cerah. Salahsatunya adalah wortel.
“wortelnya sekilo bang.”ujar nurjanah. Ia kemudian mengedarkan pandangannya kea rah ibu-ibu yang berkerumun di tempat yang sama. Tetangganya. Kemudian memberikan seulas senyum. Tapi para ibu-ibu itu hanya menatapnya dan saling pandang satu sama lain. Nurjanah merasa jengah dengan kondisi yang ia alami. Ibu-ibu tetangganya seakan merasa aneh dengan kehadiran keluarganya. Ah, masa bodoh. Kenapa aku harus memikirkan mereka. Yang penting aku tidak melakukan hal-hal yang merugikan mereka, begitu piker nurjanah.
“ini bu.”ujar tukang sayur sembari mengangsurkan sekresek wortel. Nurjanah memberikan uang beberapa lembar uang ribuan dan berlalu dari tempat itu. Ia belum menutup pintu depan rumahnya ketika gunjingan-gunjingan itu hinggap di telinganya.
“dasar sok alim. Mungkin dia nggak pernah bertetangga.”
“eh, tahu nggak. Ada desas desus katanya suaminya anggota jaringan teroris”
“kok kamu tahu san?”
“ceritanya, suamiku datang untuk mendata penghuni baru. Eh, suamiku nggak sengaja melihat bendera ISIS di ruang tamunya.”
“lagian bisanya juga istri-istri teroris pake jilbab mukena kan?”
“bukan mukena kali jeng. Tapi emang jilbabnya kegedean.”
“masa sih?”
“wah, bahaya itu.”
“pantes suaminya nggak pernah bisa sosialisasi. Bawaannya diem mulu. Ya, nggak beda kayak istrinya sih.”
Diam-diam nurjanahmenutup pintunya. Air bening berhamburan dari kedua kelopak matanya. Dia hanya bisa mengurut dadanya dan berusaha untuk bertahan dari gejolak yang semakin bergemuruh di hatinya.
Sedemikian parahkah diriku. Mereka menganggapku dan suamiku tak bisa bersosialisasi. Tak bisakah mereka berbaik sangka? Kelu nurjanah dalam hati.
Memang nurjanah bukanlah tipe wanita yang gampang bergaul dan mudah bersosialisasi. Sejak kecil ia tumbuh sebagai perempuan pemalu. Mungkin ia mewarisi sifat ayahnya. Karena sejauh yang ia tahu, ibunya sangat pandai beramah tamah dan berbasa-basi dengan tetangga. Entah kenapa, nurjanah merasa tersiksa dengan apa yang didengarnya barusan. Bukan masalah tuduhan mereka yang menganggapnya sebagai istri teroris. Tapi lebih pada sangkaan mereka yang menganggapnya demikian hanya karena sikapnya yang tertutup.
Suami nurjanah juga tak jauh beda. Lelaki dengan jenggot tebal dan wajah teduh itu tak pernah banyak cakap. Ia bicara seperlunya. Dan inilah pangkal dari kep[edihan itu, suaminya juga seorang yang pendiam dan tak pandai bergaul dengan masyarakat sekitar. Kecuali dengan sesama jamaah pengajiannya.
Nurjanah menghela nafas panjang dan berlalu dari ruang tamu. Ia sudah tak sabar untuk memamah wortel yang barusaja ia beli.
****
“bang, aku sudah nggak tahan lagi tinggal disini. Kalau bisa bulan depan kita pindah dari sini.”keluh nur saat suaminya datang dari tempat kerja.
suaminya mengerutkan kening. Kedua alis tebalnya hamper bertautan.’ada apa sih nur. Kamu kok nggak seperti biasanya?”
“bang, nur udah bosen denger gunjingan tetangga sama kita. Nyebut kita teroris lah, nggak bisa ramah tamah lah,_”
“nur!”ujar Khalid dengan tatapannya yang meneduhkan.”sabar. bukankah kita dituntut untuk sabar ketika menghadapi segala persoalan kehidupan. Ini tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dialami rasulullah dan para sahabatnya.”
Nurjanah terdiam.
“lagi pula, kalau kita pindah kan tanggung. Abang udah bayar sewa rumah untuk dua tahun ke depan. Berdoa saja, mudah-mudahan para tetangga kita berubah dan bisa memahami kita.”
“kita harus merubah sikap kita bang.”
Khalid menatap wajah istrinya dengan lembut.”ya, kita harus pandai bergaul seperti yang mereka inginkan. Seperti yang abang bilang tadi. Berdoalah. Berdoalah untuk kemudahan kita dan kemudahan mereka.”
Nurjanah menghela nafas dan menganggukan kepalanya pelan. Kemudian mengangsurkan the manis ke hadapan suaminya.
****
Sudah dua hari ini nurjanah tidak merasakan mual-mual seperti biasanya. Ia kembali beraktifitas seperti biasanya. Hari ini ada kegiatan kerja bakti RT 04 dan 05. Ada pemasangan paping block sepanjang jalan teratai. Tadi pagi suaminya meminta nurjanah untuk ikut menyiapkan makanan untuk para kaum bapak bersama ibu-ibu yang selama ini kurang akrab dengan keluarganya.
“ini kesempatan kita untuk bisa menjalin hubungan lebih dekat dengan para tetangga kita nur. Insya allah abang juga libur kerja. Kemarin udah ijin sama pak manager.”
Nur mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba hatinya berdebar-debar dan merasa was-was.
“mudah-mudahan setelah ini mereka akan berubah sikap terhadap kita.”pungkas Khalid dan menyeruput the yang biasa disediakan istrinya setiap pagi
Agak siang, nurjanah pun berbaur dengan ibu-ibu. Sebagian besar masih bersikap sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka menatapnya curiga. Seakan-akan nurjanah adalah makhluk asing yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Nurjanah tak ambil pusing. Ia mengantarkan teko dan termos ke meja untuk para pekerja. Bahkan gelasnya pun sengaja ia bawa dari rumahnya. Padahal bu RT juga menyediakan gelas-gelasnya untuk para pekerja. Untungnya, bu RW dan Bu RT 05 sangat perhatian dan tidak menatap nurjanah dengan tatapan menghakimi. Dan nurjanah merasa, Allah telah menjawab doanya semalam. Nurjanah bisa lebih tenang dan tak merasa tertekan. Ia tak lagi merasa terintimidasi oleh tatapan para tetangganya. Lagi pula ia hanya membuang-buang energy secara percuma dengan memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan.
Pun suaminya Khalid. Ia tampak begitu giat bekerja. Tanpaknya ia tak ada masalah sama sekali. Bedanya, Khalid tak bisa bercanda sepertibapak-bapak kebanyakan. Ia hanya menjadi pendengar setia dan tersenyum bila memang candaan itu mampu membuatnya tersenyum.
Sorenya, nurjanah kembali mengeluh. Ia merasa bahwa sikap para tetangganya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Bagaimana pun juga, ia masih merasa terkucilkan dan tak bisa merasa tenang ketika harus bersama-sama dengan ibu-ibu tetangga.
Lagi-lagi Khalid menasihatinya dengan atatapan yang teduh dan mampu meluluhkan hati istrinya.”lama-lama mereka juga pasti berubah nur. Hanya masalah waktu saja.”

Sore itu akan diadakan pengajian di mushola RT. Para ibu-ibu komplek tampak sudah brkumpul di pelataran mushola. Tak ketinggalan juga nurjanah. Ia kini mengikuti pengajian komplek setelah digunjingkan selalu menghadiri pengajian eklusif. Padahal, sudah sejak dua minggu yang lalu ia ingin mengikuti pengajian ibu-ibu kompleks. Tapi karena sikap ibu-ibu itu yang membuatnya merasa enggan untuk berbaur dengan mereka. Tapi untuk sekarang, nurjanah lebih menuruti nasihat suaminya dari pada egonya sendiri. Mudah-mudahan saja apa yang dikatakan suaminya benar. Ibu-ibu tetangganya akan sadar dalam waktu yang dekat.
Para ibu komplek mulai berdatangan. Kemudian bercengkrama dan saling menanyai kabar sembari  Menunggu ibu ustadzah yang masih sedang di perjalanan. Tak menunggu lama, bu ustadzah datang. Ibu-ibu segera masuk ke dalam mushola.
Ibu ustadzah itu bernama hajah khodijah. Ia mengitarkan pandangannya ke seluruh jamaah dan menyapa dengan senyum khasnya,”bagaimana kabarnya ibu-ibu?”
Para jamaah menjawab serempak. Kemudian ustadzah melanjutkan.”pada kesempatan ini, insya allah kita akan membahas mengenai larangan berprasangka dan menggunjing saudara seiman.”
Jamaah terdiam dan mulai menyimak apa yang diucapkan ibu hajah khodijah.
“jamaah ibu-ibu yang dirahmati allah, rasulullah sudah melarang kita untuk berperasangka. Bahkan secara tegas, allah melarangnya di dalam al-quran. Kenapa kita dilarang berprasangka? Dikhawatirkan apa yang kita sangkakan tidak sesuai dengan kenyataan.”
“boleh kita curiga atau waspada. Tapi jangan sampai kecurigaan kita mendorong kepada hal-hal yang kurang bijaksana. Hanya dengan melihat atau mendengar secara sekilas, kita sudah berani menyimpulkan. Padahal tidak sedikit orang yang terkecoh oleh penampilan luar.”
Ibu-ibu yang hadit terdiam. Semua merasa tertohok oleh kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut ustadzah. Seumpama anak panah yang melesat dari busur dan menancap tepat di hati mereka. Sementara nurjanah hanya melantunkan tasbih dalam hatinya yang mulai lapang.
“coba ibu-ibu bayangkan. Bagaimana jika seandainya orang yang kita curigai dan gunjingkan itu tidak sesuai dengan apa yang kita sangkakan terhadapnya. Kemudian orang itu tahu, bahwa kita mencurigainya atau bahkan menggunjingkannya. Sudah pasti ia merasa sakit hati dan merana. Sakitnya tuh disini…”
Gerrr! Ibu-ibu tertawa mendengar  kata-kata terakhir ustadzah yang memang diambil dari lagu yang sedang booming. Tapi tak sedikit diantara mereka yang tertawa dengan hambar. Dibalik tawa mereka, ada gemuruh yang bergejolak di hati mereka masing-masing. Panah kata-kata ustadzah tadi masih nyata membekas. Nurjanah kembali melantunkan tasbih dan tahmid di hatinya. Ia yakin, allah telah merancanakan hal ini. Allah yang mendengar doa-doanya selama ini. Semoga saja ibu-ibu komplek bisa sadar dan bersikap sebagaimana mestinya, ujarnya dalam hati.

Tak terasa, pengajian pun usai dan para ibu-ibu beranjak dengan menyimpan sesal di dada.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment