Nur terbangun dengan rasa perih dan ngilu yang menjalar di
sekujur tubuhnya. Ia merasa kesulitan menggerakan lutut kirinya. Rupanya
lututnya terkilir setelah terjatuh kemarin, dan sekarang membengkak cukup
parah. Matanya juga membengkak karena pukulan tante viola. Pergelangan kedua
tangannya juga ngilu luar biasa. Nur meringis dan terisak-isak. Ia beristighfar
dan kembali mengucapkan doa perlindungan dengan perlahan.
Nur mengedarkan pandangannya.ruangan itu bukan ruangan yang
kemarin dimana ia disekap. Ruangan ini lebih sempit dengan bau pesing yang
menyengat indra penciuman. Bahkan, beberapa ekor tikus dengan leluasa mondar
mandir disekitarnya dengan suara mencericit. Nur menahan nafas. Ruangan yang
remang-remang tanpa cahaya matahari itu benar-benar membuatnya semakin pusing.
Di pojok ruangan ada bak mandi dengan keran di atasnya.
Sementara di pinggirnya sebuah wastafel yang berkarat. Temboknya retak-retak
dan hampir diselimuti lumut. Bekas kamar mandi, pikir nur. Ia melangkah kea rah
bak dan memutar kran. Macet. Kran itu tak mengeluarkan air selain
tetesan-tetesan air yang lambat. Nur mengedarkan pandangannya dan mendapati
sebuah gelas plastic yang hitam. Meaihnya dan menampung air itu dengan gelas
plastic kotor.
Nur melangkah kea rah pintu dan berusaha membukanya. Tapi
pintu itu terkunci dari luar. Nur tak dapat menggesernya atau bahkan
mendobraknya. Daun pintu itu terbuat dari kayu jati sehingga sangat kuat untuk
ia dobrak.
Nur memanjat bak dan menatap keluar dari ventilasi. Matanya
memicing. Dilihatnya bangunan-bangunan rumah yang berjajar di bawah. Itu
berarti ia berada di lantai atas sebuah bangunan. Paling tidak lantai tiga. Di
bawah sana membentang gang lebar yang memisahkan blok-blok perumahan. Nur juga
bisa melihat orang-orang yang lalu lalang di gang tersebut.
Nur menghela nafas dan bersyukur. Setidaknya ia tidak jauh
dari perumahan. Dan kesempatan meminta pertolongan membuatnya sedikit lega.
Tiba-tiba nur mendengar langkah kaki mendekatinya. Nur
buru-buru turun dari atas bak kamar mandi dan pura-pura meringkuk di pojok
ruangan yang lembab dan basah.
Pintu terbuka dan muncul pendi dengan membawa bungkusan.
Kemudian melemparkannya ke tengah-tengah ruangan. Setelah itu pintu ditutup
kembali. Suara gemerincing kunci meyakinkan nur bahwa ia tak bisa keluar dari
pintu taersebut.
Nur menatap bungkusan di hadapannya. Hampir saja seekor
tikus besar menggondol bungkusan itu jika nur tidak sigap meraihnya. Nur merasa
lapar setelah ia bangun dari pingsannya. Ia segera membuka bungkusan dan
mendapati nasi bungkus dengan lauk sepotong ikan asin. Ia menyantapnya dengan
lahap. Tapi nur merasa kehausan. Om pendi tak memberinya air sama sekali. Nur
melangkah kea rah kran dan melihat gelas plastic yang tadi ia simpan di bawah
tetesan keran. Baru terisi seperempatnya. Nur meraih gelas tersebut dan meneguk
isinya walau dengan rasa mual. Belum pernah ia minum sejorok itu kecuali pada
saat ini. Bagaimana jika gelas itu pernah dikencingi tikus? Bagaimana jika
gelas itu mengandung racun atau bakteri yang membuatnya mati? Ah, nur tak
terlalu memusingkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ia berpikir, yang penting
ia tak haus lagi dan mendapatkan tenaga baru untuk bisa kabur dari ruangan itu.
Nur teringat kepada ninon, yadi, dan ustadzah aminah. Ninon
mungkin sudah berkumpul dan tertawa bahagia dengan keluarganya.
Ah ninon, kau sungguh beruntung. Aku menyesal
tidak mengikuti saranmu untuk ikut ke kampong halamanmu. Tapi, aku tidak
seharusnya menyesal. Jika aku mengikutimu, aku tidak pernah berkesempatan
bertemu dengan ustadzah aminah dan akan
terus jauh dari allah.
Nur membayangkan dan mengira-ngira bahwa ustadzah aminah
mengontak yadi setelah penculikan dirinya. Mereka berdua panic dan khawatir,
kemudian berusaha mencari nur dengan menyebar foto-foto dirinya yang ditempel di
semua tempat. Di tiang listrik, gardu, warung-warung, tembok, pohon, pinggir
jalan….dan…ah, nur terlalu mendramatisir keadaan.
Harusnya aku berpikir
bagaimana aku keluar dari sini. Bukan memikirkan orang-orang diluar sana, gerutu
nur kepada dirinya.
****
Rasa sakit di lututnya masih terasa nyut-nyutan. Nur merasa
da yang tidak beres dengan lututnya. Walau pun dengan rasa sakit yang terus
mendera, nur taetap memkirikan jalan untuk keluar hingga akhirnya ia puny aide
jitu. Tiba-tiba saja nur merasa ada jalan untuk bias keluar dari ruangan sempit
itu ketika melihat jendela ventilasi yang lumayan lebar.
Nur segera meraih bungusan kertas nasi bekas ia makan.
Tangan kirinya merogoh saku baju panjangnya dan menemukan pulpen hitam.
Biasanya ia selalu membawa pulpen itu untuk mencatat belanjaan. Hanya benda itu
yang masih tersisa di bajunya. Ada pun uang dan handphone sudah raib dari
kemarin. Nur segera menulis dengan huruf capital yang besar di atas kertas
bungkus nasi.
AKU BUTUH PERTOLONGAN! PANGGIL POLISI.
AKU DISEKAP DI LANTAI TIGA GEDUNG PINGGIR JALAN INI. DI KAMAR MANDI!
Setalah selesai menulis, nur mengambil kantong kresek yang
tergeletak di pojok ruangan. Mengisinya dengan sampah-sampah plastic dan
potongan kain yang banyak berserakan di dalam ruangan kamar mandi bekas
tersebut. Kemudian mengikatnya. Kertas itu ia ikat di bagian luar hingga tanpak
jelas.
Nur berjinjit dan naik ke atas bak mandi. Tangan kanannya
berpegangan ke tembok, sementara tangan kirinya menggenggam kantong kresek yang
sudah ia tempeli kertas. Nur mengintip ventilasi untuk memastikan bahwa apa
yang ia akan lakukan tidak sia-sia. Benar, tepat di bawah gedung dimana ia
disekap, membentang gang yang dilalui orang-orang. Nur yakin, jika ia
melemparkan kantong kresek itu dari ventilasi jendela kamar mandi, tidak
menutup kemungkinan, aka nada orang yang mengambil kantong kresek itu karena
penasaran. Lagi pula, nur mengikatkan tulisan itu di luar kantong sehingga bisa
terbaca dengan jelas.
“Bismillahi rahmaan nirrahiim…”bisik nur. Ia memasrahkan dirinya
kepada allah dengan ikhtiar yang ia bisa. Dalam hatinya ia berdoa agar ada
orang yang tertarik untuk mengambil kantong kresek tersebut. Tangan kirinya
terangkat dan perpegangan pada kisi-kisi besi yang sudah berkarat. Tangan
kanannya menjinjing kantong kresek ke atas ventilasi. Menjejalkannya hingga
menyembul keluar dan mendorongnya hingga terjatuh ke bawah. Pluung…
****
Sore masih memancarkan cahaya jingga matahari ketika
sekelompok remaja tengah berjalan di gang bejek yang memisahkan komplek perumahan
dengan gedung bekas pabrik di perkampungan kumuh itu. Tiba-tiba salahseorang
dari mereka tanpak berhenti dan menatap sesuatu yang tergeletak di tanah basah.
“wei! Ayo ton, kok kamu malah berhenti. Kita nggak boleh
melewatkan pertandingan sore ini.”tegur salahseorang dari mereka sembari
menatap temannya.
Remaja tanggung yang dipanggil tono itu member isyarat untuk
mendekatinya.”lihat! apa ini? Kamu bisa membacanya kan?”tanyanya sembari
menunjuk bungkusan pelatik hitam yang tergeletak dengan tulisan yang menempel
di kertas bungkus nasi. Kertas itu terikat kuat di kantong plastic hitam
tersebut. Tiga temannya mendekatinya dan mengamati kantong kresek hitam
tersebut.
“apa ini?” ujar seseorang dari mereka dengan mengamati
huruf-huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Mereka hamper tidak bisa
membacanya karena tulisan tinta itu luntur oleh air hujan tadi siang. Tapi
akhirnya mereka bisa membacanya walau harus mengejanya dengan teliti.
AKU BUTUH PERTOLONGAN! PANGGIL POLISI.
AKU DISEKAP DI LANTAI TIGA GEDUNG PINGGIR JALAN INI. DI KAMAR MANDI!
Mereka saling bersitatap satu sama lain. Kemudian kembali
terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“ah! Ngapain sih ngurusin kantong kresek sialan ini. Ayo,
kita harus segera berangkat sebelum pertandingan badminton dimulai.”seru salah
seorang dari mereka. Ia yang paling besar diantara ketiga temannya. Tampaknya
ia pemimpin dari mereka.
“jangan begitu dong ari. Kita nggak boleh egois dan
mementingkan diri sendiri, sementara da orang lain yang butuh bantuan kita.
Sudah jelas kan, ada seseorang yang disekap di gedung ini.”timpal seseorang
dari mereka sembari menengadah ke gedung yang berdiri di samping mereka.”aku
yakin, pasti gedung bekas pabrik eskrim ini yang dimaksud.”
Yang dipanggil ari hanya mendengus kesal.’siapa tahu ini
sebuah jebakan. Kita jangan mudah percaya.”
“lagi pula, siapa yang akan mengurusnya kalau bukan polisi.
Kita hanya melaporkan ke kantor polisi saja. Atau mungkin mengantarkan pak
polisi sampai lokasi sini. Sudah. Habis itu habis perkara. Kita tinggal tunggu
kabar saja.”terang yang bernama tono kepada rekan-rekannya. Semuanya mengangguk
dan sepakat untuk segera menuju kantor polisi. Hanya yang bernama ari yang
menggerutu dan menatap teman-temannya dengan tatapan kesal.”jadi kita akan
membatalkan pertandingan kita di babak semi final hanya gara-gara urusan sialan
ini?”
“jaga mulutmu ri. Kita akan mementingkan sebuah pertandingan
disbanding menolong seseorang yang disekap? Mana nuranimu ar?”sindir seseorang
dari mereka.”aku akan menghubungi panitia dan meminta untuk menunda
pertandingan. Mudah-mudahan pertandingan bisa diundur hingga minggu depan.”
“biar aku yang menelpon panitia.”ujar tono sembari membari
mengeluarkan telpon genggam dari saku jaketnya dan menunggu beberapa saat
lamanya. Setelah itu ia berhasil berbicara dengan seseorang di seberang sana.
“bagaimana?”
Tono menggeleng lemah.”pertandingan tidak bisa diundurkan.
Jika kita tidak ikut pertandingan lai ini, berarti kita didiskualifikasi dari
pertandingan secara keseluruhan.”
“APA?!”seru ari dengan mimic terkejut.”kita tidak usah mengurus kasus yang belum jelas ini.”
“APA?!”seru ari dengan mimic terkejut.”kita tidak usah mengurus kasus yang belum jelas ini.”
Ketiga temannya kembali bersitatap dan kembali menimbang-nimbang
keputusan yang telah mereka ambil.
Tono mengangkat tangannya dan member isyarat untuk
merapat.”begini saja. Kalian bertiga berangkat duluan ke GOR. Sementara aku
sendiri akan berangkat ke kantor polisi. Bagaimana?”
Ari menatap tono denganmuka menegang.”tidak bisa. Kita
harus__”
“disana dani sudah menunggu. Jadi untuk babak pertama aku
bisa digantikan sama dani.”potong tono. Ia mengangkat kantong kresek itu dan
mencopot tulisannya dan memasukannya ke dalam saku.”aku mau berangkat sekarang
juga.”ujarnya sembari berlari dari hadapan teman-temannya.
***
Tono duduk di kursi yang disediakan oleh seorang polisi yang
bernama hartono. Ia bisa mengetahuinya dari papan nama di atas saku depan
seragamnya.
“ada yang bisa saya bantu dek?”tanyanya dengan ramah.
Tono mengangguk dan segera mengeluarkan kertas yang tadi ia
temukan di gang dan mengangsurkannya ke arah letkol hartono. “saya menemukan
tulisan ini di gang dekat gedung bekas pabrik eskrim pak.”
Polisi itu mengerutkan keningnya dan membaca kertas yang sudah
pudar dan robek itu.”kamu menemukannya di pinggir gang?”tanyanya sembari
menatap tono dengan rasa ingin tahu.
Tono mengangguk.”iya. mungkin orang yang disekap itu
melemparkannya dari ventilasi atau jendela ruangan di lantai tiga.”
Polisi itu mengangguk dan berdiri.”tunggu sebentar.”ujarnya
dan berlalu dari hadapan tono. Tono melihatnya menghampiri teman-temannya
sesame polisi dan memperlihatkan kertas tersebut., kemudian berunding selama
beberap menit dan pak inspektur hartono kembali menemui tono.
“kami akan berangkat ke lokasi sekarang juga. Kamu mungkin
harus ikut untuk menunjukan lokasi gedung tersebut.
Tono terdiam beberapa saat lamanya. Tadinya ia bermaksud
untuk segera menyusul teman-temannya dan memasrahkan perkara ini kepada pihak
polisi. Tono yakin, pertandingan sudah dimulai di babak pertama dan
teman-temannya akan menantikan kehadirannya di babak selanjutnya.
“bagaimana tono?”Tanya pak polisi dengan menatapnya dengan
tatapan tajam.
Tono menghela nafas.”baiklah.”
“kamu kelihatannya keberatan?”Tanya letkol hartono dengan nada menyelidiki.
tono tersenyum kecut.”tadinya saya ingin segera pergi. Teman-teman saya menunggu saya untuk mengikuti pertandingan badminton di GOR. Tapi…saya kita saya lebih baik ikut bapak-bapak.”
tono tersenyum kecut.”tadinya saya ingin segera pergi. Teman-teman saya menunggu saya untuk mengikuti pertandingan badminton di GOR. Tapi…saya kita saya lebih baik ikut bapak-bapak.”
‘memang harus begitu. Kita harus rela mengorbankan urusan
sendiri untuk kemaslahatan bersama.”kata Letkol hartono sembari tersenyum
lebar.
Akhirnya tono ikut ke mobil patroli polisi menuju lokasi.
Walau pun pikirannya tidak tenang dan teringat dengan pertandinan yang ia
tinggalkan.
Bagaimana jika
teman-teman marah? bagaimana jika mereka kalah dan teman-temanku marah dan
menayalahkanku habis-habisan? Lagi pula, tidak ada pemain yang meragukan
ketrampilanku dalam bermain.
“jalannya kemana setelah jalan arteri ini.belok kanan atau terus
lurus?” Tanya letkol hartono dari depan kemudi.
bagaimana jika ini
hanya perbuatan iseng orang-orang yang goblok? Orang itu hanya ingin ngerjain
orang –orang lewat? Dan bagaimana jika polisi menganggap aku telah
mempermainkan mereka? Ah masa bodoh, toh aku telah jujur dan niatku hanya
berbuat baik.
“woi! Kamu denger tidak?!” seru salah seorang polisi sembari
menepuk pundak tono.
“eh i-iya! Iya! Saya denger!”jawab tono gelagapan.”belok
kanan.”
Mobil patrol itu berbelok ke kanan dan menyusuri jalan beraspal
yang sempit.
“setelah ini ada belokan kea rah selatan dan di ujungnya ada
gedung tua tiga tingkat. Gedung itu yang saya maksud.”terang tono sembari
menunjuk ke arah depan.
Polisi itu mengangguk dan mempercepat laju mobilnya.
Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di depan gedung. Lima polisi turun
dari belakang mobil dan segera menuju kea rah gedung.
“boleh saya ikut!”seru tono. Salah seorang dari mereka
melaimbaikan tangannya dan tono pun turun dan berlari untuk bergabung dengan
mereka.
Gedung itu tampak angker. Semak-semak belukar dan tanaman
merambat memenuhi halaman depan dan bagian terasnya. Temboknya sudah
retak-retak dan berwarna kusam. Sebagian besar tembok itu menghitam dan
berlumut.
“ini bekas pabrik eskrim yang kebakaran sepuluh tahun yang
lalu.”terang tono. Ia berjalan sejajar dengan letkol hartono. Yang diajak
bicara hanya mengangguk dan mengamati keadaan sekitar.
Mereka masuk ke dalam ruangan dan bau apek serta merta
menyerbu indera penciuman mereka. Ada tangga memutar di ujung ruangan. Mereka
segera menyusuri tangga tersebut hingga sampai ke lantai dua.
“di tulisan itu menyebutkan orang itu disekap di lantai
tiga.”ujar letkol hartono yang lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Matanya
yang tajam menyapu seluruh ruangan. Tapi ia tak menemukan tangga di sana.”mana
tangganya?”
“di sini pak!”seru seseorang sembari menunjuk ke ruangan
sempit. Letkol hartono menghampiri bawahannya tersebut. Didapatinya ruangan
sempit dengan tangga yang terbuat dari kayu menuju ka atas. “ini tangganya?”
“iya.”
Dengan hati-hati ia meniti anak tangga. Khawatir kayu tangga
itu sudah lapuk. Alih-alih ingin menyelamatkan orang malah diri sendiri yang
celaka. Tangga itu cukup tinggi. Ada kira-kira delapan belas anak tangga dengan
jarak selebar empat puluh centi meter di setiap anak tangganya.
“hati-hati pak!”seru tono sembari menengadah.
Letkol hartono tidak menyahut dan beberapa detik kemudian
kakinya yang lebar sudah menjejak di lantai paling atas.”ayo naik. Tangganya
cukup kuat kok.”
Satu persatu mereka meniti tangga menuju lantai atas.
No comments:
Post a Comment