14 Apr 2015

NURANI YANG KEMBALI >>PART 18

Nur terbangun dengan rasa perih dan ngilu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia merasa kesulitan menggerakan lutut kirinya. Rupanya lututnya terkilir setelah terjatuh kemarin, dan sekarang membengkak cukup parah. Matanya juga membengkak karena pukulan tante viola. Pergelangan kedua tangannya juga ngilu luar biasa. Nur meringis dan terisak-isak. Ia beristighfar dan kembali mengucapkan doa perlindungan dengan perlahan.
Nur mengedarkan pandangannya.ruangan itu bukan ruangan yang kemarin dimana ia disekap. Ruangan ini lebih sempit dengan bau pesing yang menyengat indra penciuman. Bahkan, beberapa ekor tikus dengan leluasa mondar mandir disekitarnya dengan suara mencericit. Nur menahan nafas. Ruangan yang remang-remang tanpa cahaya matahari itu benar-benar membuatnya semakin pusing.
Di pojok ruangan ada bak mandi dengan keran di atasnya. Sementara di pinggirnya sebuah wastafel yang berkarat. Temboknya retak-retak dan hampir diselimuti lumut. Bekas kamar mandi, pikir nur. Ia melangkah kea rah bak dan memutar kran. Macet. Kran itu tak mengeluarkan air selain tetesan-tetesan air yang lambat. Nur mengedarkan pandangannya dan mendapati sebuah gelas plastic yang hitam. Meaihnya dan menampung air itu dengan gelas plastic kotor.
Nur melangkah kea rah pintu dan berusaha membukanya. Tapi pintu itu terkunci dari luar. Nur tak dapat menggesernya atau bahkan mendobraknya. Daun pintu itu terbuat dari kayu jati sehingga sangat kuat untuk ia dobrak.
Nur memanjat bak dan menatap keluar dari ventilasi. Matanya memicing. Dilihatnya bangunan-bangunan rumah yang berjajar di bawah. Itu berarti ia berada di lantai atas sebuah bangunan. Paling tidak lantai tiga. Di bawah sana membentang gang lebar yang memisahkan blok-blok perumahan. Nur juga bisa melihat orang-orang yang lalu lalang di gang tersebut.
Nur menghela nafas dan bersyukur. Setidaknya ia tidak jauh dari perumahan. Dan kesempatan meminta pertolongan membuatnya sedikit lega.
Tiba-tiba nur mendengar langkah kaki mendekatinya. Nur buru-buru turun dari atas bak kamar mandi dan pura-pura meringkuk di pojok ruangan yang lembab dan basah.
Pintu terbuka dan muncul pendi dengan membawa bungkusan. Kemudian melemparkannya ke tengah-tengah ruangan. Setelah itu pintu ditutup kembali. Suara gemerincing kunci meyakinkan nur bahwa ia tak bisa keluar dari pintu taersebut.
Nur menatap bungkusan di hadapannya. Hampir saja seekor tikus besar menggondol bungkusan itu jika nur tidak sigap meraihnya. Nur merasa lapar setelah ia bangun dari pingsannya. Ia segera membuka bungkusan dan mendapati nasi bungkus dengan lauk sepotong ikan asin. Ia menyantapnya dengan lahap. Tapi nur merasa kehausan. Om pendi tak memberinya air sama sekali. Nur melangkah kea rah kran dan melihat gelas plastic yang tadi ia simpan di bawah tetesan keran. Baru terisi seperempatnya. Nur meraih gelas tersebut dan meneguk isinya walau dengan rasa mual. Belum pernah ia minum sejorok itu kecuali pada saat ini. Bagaimana jika gelas itu pernah dikencingi tikus? Bagaimana jika gelas itu mengandung racun atau bakteri yang membuatnya mati? Ah, nur tak terlalu memusingkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ia berpikir, yang penting ia tak haus lagi dan mendapatkan tenaga baru untuk bisa kabur dari ruangan itu.
Nur teringat kepada ninon, yadi, dan ustadzah aminah. Ninon mungkin sudah berkumpul dan tertawa bahagia dengan keluarganya.
 Ah ninon, kau sungguh beruntung. Aku menyesal tidak mengikuti saranmu untuk ikut ke kampong halamanmu. Tapi, aku tidak seharusnya menyesal. Jika aku mengikutimu, aku tidak pernah berkesempatan bertemu dengan ustadzah aminah dan  akan terus jauh dari allah.
Nur membayangkan dan mengira-ngira bahwa ustadzah aminah mengontak yadi setelah penculikan dirinya. Mereka berdua panic dan khawatir, kemudian berusaha mencari nur dengan menyebar foto-foto dirinya yang ditempel di semua tempat. Di tiang listrik, gardu, warung-warung, tembok, pohon, pinggir jalan….dan…ah, nur terlalu mendramatisir keadaan.
Harusnya aku berpikir bagaimana aku keluar dari sini. Bukan memikirkan orang-orang diluar sana, gerutu nur kepada dirinya.
****
Rasa sakit di lututnya masih terasa nyut-nyutan. Nur merasa da yang tidak beres dengan lututnya. Walau pun dengan rasa sakit yang terus mendera, nur taetap memkirikan jalan untuk keluar hingga akhirnya ia puny aide jitu. Tiba-tiba saja nur merasa ada jalan untuk bias keluar dari ruangan sempit itu ketika melihat jendela ventilasi yang lumayan lebar.
Nur segera meraih bungusan kertas nasi bekas ia makan. Tangan kirinya merogoh saku baju panjangnya dan menemukan pulpen hitam. Biasanya ia selalu membawa pulpen itu untuk mencatat belanjaan. Hanya benda itu yang masih tersisa di bajunya. Ada pun uang dan handphone sudah raib dari kemarin. Nur segera menulis dengan huruf capital yang besar di atas kertas bungkus nasi.
AKU BUTUH PERTOLONGAN! PANGGIL POLISI. AKU DISEKAP DI LANTAI TIGA GEDUNG PINGGIR JALAN INI. DI KAMAR MANDI!
Setalah selesai menulis, nur mengambil kantong kresek yang tergeletak di pojok ruangan. Mengisinya dengan sampah-sampah plastic dan potongan kain yang banyak berserakan di dalam ruangan kamar mandi bekas tersebut. Kemudian mengikatnya. Kertas itu ia ikat di bagian luar hingga tanpak jelas.
Nur berjinjit dan naik ke atas bak mandi. Tangan kanannya berpegangan ke tembok, sementara tangan kirinya menggenggam kantong kresek yang sudah ia tempeli kertas. Nur mengintip ventilasi untuk memastikan bahwa apa yang ia akan lakukan tidak sia-sia. Benar, tepat di bawah gedung dimana ia disekap, membentang gang yang dilalui orang-orang. Nur yakin, jika ia melemparkan kantong kresek itu dari ventilasi jendela kamar mandi, tidak menutup kemungkinan, aka nada orang yang mengambil kantong kresek itu karena penasaran. Lagi pula, nur mengikatkan tulisan itu di luar kantong sehingga bisa terbaca dengan jelas.
“Bismillahi rahmaan nirrahiim…”bisik nur. Ia memasrahkan dirinya kepada allah dengan ikhtiar yang ia bisa. Dalam hatinya ia berdoa agar ada orang yang tertarik untuk mengambil kantong kresek tersebut. Tangan kirinya terangkat dan perpegangan pada kisi-kisi besi yang sudah berkarat. Tangan kanannya menjinjing kantong kresek ke atas ventilasi. Menjejalkannya hingga menyembul keluar dan mendorongnya hingga terjatuh ke bawah. Pluung…
****
Sore masih memancarkan cahaya jingga matahari ketika sekelompok remaja tengah berjalan di gang bejek yang memisahkan komplek perumahan dengan gedung bekas pabrik di perkampungan kumuh itu. Tiba-tiba salahseorang dari mereka tanpak berhenti dan menatap sesuatu yang tergeletak di tanah basah.
“wei! Ayo ton, kok kamu malah berhenti. Kita nggak boleh melewatkan pertandingan sore ini.”tegur salahseorang dari mereka sembari menatap temannya.
Remaja tanggung yang dipanggil tono itu member isyarat untuk mendekatinya.”lihat! apa ini? Kamu bisa membacanya kan?”tanyanya sembari menunjuk bungkusan pelatik hitam yang tergeletak dengan tulisan yang menempel di kertas bungkus nasi. Kertas itu terikat kuat di kantong plastic hitam tersebut. Tiga temannya mendekatinya dan mengamati kantong kresek hitam tersebut.
“apa ini?” ujar seseorang dari mereka dengan mengamati huruf-huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Mereka hamper tidak bisa membacanya karena tulisan tinta itu luntur oleh air hujan tadi siang. Tapi akhirnya mereka bisa membacanya walau harus mengejanya dengan teliti.
AKU BUTUH PERTOLONGAN! PANGGIL POLISI. AKU DISEKAP DI LANTAI TIGA GEDUNG PINGGIR JALAN INI. DI KAMAR MANDI!
Mereka saling bersitatap satu sama lain. Kemudian kembali terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“ah! Ngapain sih ngurusin kantong kresek sialan ini. Ayo, kita harus segera berangkat sebelum pertandingan badminton dimulai.”seru salah seorang dari mereka. Ia yang paling besar diantara ketiga temannya. Tampaknya ia pemimpin dari mereka.
“jangan begitu dong ari. Kita nggak boleh egois dan mementingkan diri sendiri, sementara da orang lain yang butuh bantuan kita. Sudah jelas kan, ada seseorang yang disekap di gedung ini.”timpal seseorang dari mereka sembari menengadah ke gedung yang berdiri di samping mereka.”aku yakin, pasti gedung bekas pabrik eskrim ini yang dimaksud.”
Yang dipanggil ari hanya mendengus kesal.’siapa tahu ini sebuah jebakan. Kita jangan mudah percaya.”
“lagi pula, siapa yang akan mengurusnya kalau bukan polisi. Kita hanya melaporkan ke kantor polisi saja. Atau mungkin mengantarkan pak polisi sampai lokasi sini. Sudah. Habis itu habis perkara. Kita tinggal tunggu kabar saja.”terang yang bernama tono kepada rekan-rekannya. Semuanya mengangguk dan sepakat untuk segera menuju kantor polisi. Hanya yang bernama ari yang menggerutu dan menatap teman-temannya dengan tatapan kesal.”jadi kita akan membatalkan pertandingan kita di babak semi final hanya gara-gara urusan sialan ini?”
“jaga mulutmu ri. Kita akan mementingkan sebuah pertandingan disbanding menolong seseorang yang disekap? Mana nuranimu ar?”sindir seseorang dari mereka.”aku akan menghubungi panitia dan meminta untuk menunda pertandingan. Mudah-mudahan pertandingan bisa diundur hingga minggu depan.”
“biar aku yang menelpon panitia.”ujar tono sembari membari mengeluarkan telpon genggam dari saku jaketnya dan menunggu beberapa saat lamanya. Setelah itu ia berhasil berbicara dengan seseorang di seberang sana.
“bagaimana?”
Tono menggeleng lemah.”pertandingan tidak bisa diundurkan. Jika kita tidak ikut pertandingan lai ini, berarti kita didiskualifikasi dari pertandingan secara keseluruhan.”
“APA?!”seru ari dengan mimic terkejut.”kita tidak usah mengurus kasus yang belum jelas ini.”
Ketiga temannya kembali bersitatap dan kembali menimbang-nimbang keputusan yang telah mereka ambil.
Tono mengangkat tangannya dan member isyarat untuk merapat.”begini saja. Kalian bertiga berangkat duluan ke GOR. Sementara aku sendiri akan berangkat ke kantor polisi. Bagaimana?”
Ari menatap tono denganmuka menegang.”tidak bisa. Kita harus__”
“disana dani sudah menunggu. Jadi untuk babak pertama aku bisa digantikan sama dani.”potong tono. Ia mengangkat kantong kresek itu dan mencopot tulisannya dan memasukannya ke dalam saku.”aku mau berangkat sekarang juga.”ujarnya sembari berlari dari hadapan teman-temannya.
***
Tono duduk di kursi yang disediakan oleh seorang polisi yang bernama hartono. Ia bisa mengetahuinya dari papan nama di atas saku depan seragamnya.
“ada yang bisa saya bantu dek?”tanyanya dengan  ramah.
Tono mengangguk dan segera mengeluarkan kertas yang tadi ia temukan di gang dan mengangsurkannya ke arah letkol hartono. “saya menemukan tulisan ini di gang dekat gedung bekas pabrik eskrim pak.”
Polisi itu mengerutkan keningnya dan membaca kertas yang sudah pudar dan robek itu.”kamu menemukannya di pinggir gang?”tanyanya sembari menatap tono dengan rasa ingin tahu.
Tono mengangguk.”iya. mungkin orang yang disekap itu melemparkannya dari ventilasi atau jendela ruangan di lantai tiga.”
Polisi itu mengangguk dan berdiri.”tunggu sebentar.”ujarnya dan berlalu dari hadapan tono. Tono melihatnya menghampiri teman-temannya sesame polisi dan memperlihatkan kertas tersebut., kemudian berunding selama beberap menit dan pak inspektur hartono kembali menemui tono.
“kami akan berangkat ke lokasi sekarang juga. Kamu mungkin harus ikut untuk menunjukan lokasi gedung tersebut.
Tono terdiam beberapa saat lamanya. Tadinya ia bermaksud untuk segera menyusul teman-temannya dan memasrahkan perkara ini kepada pihak polisi. Tono yakin, pertandingan sudah dimulai di babak pertama dan teman-temannya akan menantikan kehadirannya di babak selanjutnya.
“bagaimana tono?”Tanya pak polisi dengan menatapnya dengan tatapan tajam.
Tono menghela nafas.”baiklah.”
“kamu kelihatannya keberatan?”Tanya letkol  hartono dengan nada menyelidiki.
tono tersenyum kecut.”tadinya saya ingin segera pergi. Teman-teman saya menunggu saya untuk mengikuti pertandingan badminton di GOR. Tapi…saya kita saya lebih baik ikut bapak-bapak.”
‘memang harus begitu. Kita harus rela mengorbankan urusan sendiri untuk kemaslahatan bersama.”kata Letkol hartono sembari tersenyum lebar.
Akhirnya tono ikut ke mobil patroli polisi menuju lokasi. Walau pun pikirannya tidak tenang dan teringat dengan pertandinan yang ia tinggalkan.
Bagaimana jika teman-teman marah? bagaimana jika mereka kalah dan teman-temanku marah dan menayalahkanku habis-habisan? Lagi pula, tidak ada pemain yang meragukan ketrampilanku dalam bermain.
“jalannya kemana setelah jalan arteri ini.belok kanan atau terus lurus?” Tanya letkol hartono dari depan kemudi.
bagaimana jika ini hanya perbuatan iseng orang-orang yang goblok? Orang itu hanya ingin ngerjain orang –orang lewat? Dan bagaimana jika polisi menganggap aku telah mempermainkan mereka? Ah masa bodoh, toh aku telah jujur dan niatku hanya berbuat baik.
“woi! Kamu denger tidak?!” seru salah seorang polisi sembari menepuk pundak tono.
“eh i-iya! Iya! Saya denger!”jawab tono gelagapan.”belok kanan.”
Mobil patrol itu berbelok ke kanan dan menyusuri jalan beraspal yang sempit.
“setelah ini ada belokan kea rah selatan dan di ujungnya ada gedung tua tiga tingkat. Gedung itu yang saya maksud.”terang tono sembari menunjuk ke arah depan.
Polisi itu mengangguk dan mempercepat laju mobilnya. Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di depan gedung. Lima polisi turun dari belakang mobil dan segera menuju kea rah gedung.
“boleh saya ikut!”seru tono. Salah seorang dari mereka melaimbaikan tangannya dan tono pun turun dan berlari untuk bergabung dengan mereka.
Gedung itu tampak angker. Semak-semak belukar dan tanaman merambat memenuhi halaman depan dan bagian terasnya. Temboknya sudah retak-retak dan berwarna kusam. Sebagian besar tembok itu menghitam dan berlumut.
“ini bekas pabrik eskrim yang kebakaran sepuluh tahun yang lalu.”terang tono. Ia berjalan sejajar dengan letkol hartono. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan mengamati keadaan sekitar.
Mereka masuk ke dalam ruangan dan bau apek serta merta menyerbu indera penciuman mereka. Ada tangga memutar di ujung ruangan. Mereka segera menyusuri tangga tersebut hingga sampai ke lantai dua.
“di tulisan itu menyebutkan orang itu disekap di lantai tiga.”ujar letkol hartono yang lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan. Tapi ia tak menemukan tangga di sana.”mana tangganya?”
“di sini pak!”seru seseorang sembari menunjuk ke ruangan sempit. Letkol hartono menghampiri bawahannya tersebut. Didapatinya ruangan sempit dengan tangga yang terbuat dari kayu menuju ka atas. “ini tangganya?”
“iya.”
Dengan hati-hati ia meniti anak tangga. Khawatir kayu tangga itu sudah lapuk. Alih-alih ingin menyelamatkan orang malah diri sendiri yang celaka. Tangga itu cukup tinggi. Ada kira-kira delapan belas anak tangga dengan jarak selebar empat puluh centi meter di setiap anak tangganya.
“hati-hati pak!”seru tono sembari menengadah.
Letkol hartono tidak menyahut dan beberapa detik kemudian kakinya yang lebar sudah menjejak di lantai paling atas.”ayo naik. Tangganya cukup kuat kok.”
Satu persatu mereka meniti tangga menuju lantai atas.






Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment