Tembang Arab vs Tembang Sunda
Istri saya mendapatkan tugas untuk mengajar bahasa Sunda di sekolah tempatnya mengajar. Mendengar kabar tersebut, saya hanya bisa tergelak karena saya sangat tahu betapa istri saya sangat payah dalam urusan ngomong bahasa Sunda. Beruntungnya buku teks Basa Sunda yang dipakai disajikan dalam format bilingual sehingga setidaknya dia bisa meraba-raba apa yang dimaksud.
"Makanya, mulai besok biasain pake bahasa Sunda," ujarku dengan senyum lebar.
"Nanti sebelum aku ngajar, Abang ngajarin aku dulu, ya," pintanya kemudian.
"Gampang," jawabku sembari meraih buku teks 'Piwulang Basa Sunda' yang sengaja dia bawa untuk dipelajari di rumah.
Iseng, saya pun membolak-balik halaman buku hingga perhatian saya terhenti pada lirik Pupuh Sinom yang mengajarkan tentang budi pekerti.
Saya jadi teringat masa belasan tahun silam. Dimana saya masih duduk di bangku kelas 4 SD dan menjadi perwakilan sekolah dalam Pasanggiri (Lomba) Haleuang Pupuh. Saya pun bernyanyi.
Tiba-tiba istriku berkomentar. "Nyanyi mulu! Kalo di sekolah, nggak bakalan diijinin guru ngajarin nyanyi."
Aku mengangguk. Maklum. Itu kan sekolah Islam yang sangat ketat dalam urusan beginian. "Lha, ini kan namanya Pupuh. Yang namanya Pupuh harus dinyanyiin. Liriknya juga bagus. Mengajarkan anak didik tentang budi pekerti."
"Nyanyi kan dilarang."
"Itu di sekolah kamu suka nasyidan nggak? Kenapa nasyid anak berbahasa arab nggak dilarang? Padahal kan sama-sama nyanyi? Liriknya juga sama, mengajarkan budi pekerti. Bedanya nasyid pake bahasa arab. Kalo ini tembang Sunda."
Istri saya mikir. "Iya juga ya."
"Yang menjadi masalahnya kan bukan nyanyi, tapi musik. Selama nggak ada musik nggak ada yang salah. Jadi kamu nanti harus bisa ngajarin Pupuh ke anak-anak," pintaku.
Begitulah. Terkadang kita merasa bahwa semua yang berbau arab itu baik. Buktinya, ibu-ibu pengajian begitu bersemangat nyanyi-nyanyi 'Wahdana, Magadir, Nurul Aini dan lagu-lagu lainnya.' Mereka pikir itu lagu religi. Padahal liriknya tentang rayuan cinta picisan yang di negeri asalnya (jazirah arab) biasa dinyanyikan di club-club malam.
Ok. Cukup sekian. Saya tiba-tiba ingin berdendang Pupuh Mijil, Pupuh favorite saya yang bercerita tentang seorang anak durhaka yang menyesal tersebab mengingkari kedua orangtua yang miskin.
Aduh gusti...Anu Maha suci
Sim Abdi rumaos...
Pangna abdi...duh dugi kakesrek.....
Rek ka sepuh, parantos ngusir
Takabur sareng dir....Tega nundung sepuh
No comments:
Post a Comment