29 Nov 2020

LOVE DISASTER: RUMAH INI SUDAH DISITA


 EKA POV

Sudah sebulan lamanya aku tinggal di rumah mama setelah pertengkaran hebat dengan Adam. Aku tahu bahwa rasa cinta yang ada diantara kami tidak lagi seperti dulu. Semua tiba-tiba saja berubah seiring dengan waktu yang berlalu. 

 

Aku tahu bahwa cinta itu mulai terkikis ketika Adam sering pulang larut malam dengan alasan bisnis dan kesibukan yang luar biasa. Tapi aku selalu menuduhnya telah selingkuh dengan wanita simpanan yang entah sejak kapan terjadi. Itu baru satu hal.

 

Hal lainnya semakin membuat rasa cinta terkikis. Adam mulai mengurangi jatah belanjaku dan membatasi kartu kreditku. Aku protes dan mempertanyakan alasannya. 

 

“Bisnisku sedang seret. Nanti jika sudah normal, aku akan tambah uang belanja itu untukmu,” begitulah Adam beralasan. Tapi aku tidak pernah percaya.

 

Jika Adam sudah pulang ke rumah, dia tidak pernah lagi mencumbuku atau menyapaku dengan mesra. Dia mencukupkan diri dengan memberikan kecupan singkat di dahi, setelah itu dia tenggelam dengan beberapa batang rokok dan kopi di balkon sembari mencangkung. 

 

Aku selalu bertanya, “Apakah kau punya masalah?”

 

“Tidurlah! Kau tidak perlu ikut campur urusan hidupku.” Dia selalu menjawab dengan kalimat menjengkelkan tersebut. Jelas aku sangat marah. Merasa diabaikan, terbuang dan tak berguna. Saat itu, dugaanku benar adanya bahwa di hatinya telah ada wanita lain.

 

Aku kembali menghela napas panjang. hatiku mengakui bahwa berpisah dengan Adam bukanlah opsi yang baik dan relevan dengan kondisiku saat ini. Aku tidak akan pernah bisa berpisah dengannya. Semakin hari, kerinduanku terhadap Adam semakin membuncah.

 

Aku tidak pernah menyesal ketika memutuskan pulang ke rumah mama dan mengatakan dengan jujur kepadanya bahwa aku bertengkar dengan Adam. Setidaknya, dengan perpisahan sementara ini aku tahu bahwa aku masih mencintai dan merindukan Adam. Andai aku tidak pulang ke rumah mama, mungkin aku tidak pernah menyadari hal ini.

 

Hari ini aku harus kembali pulang ke rumah kami, itu tekadku.

 

Pagi ini, aku mulai memasukan baju-bajuku dari lemari di kamar ke dalam koper. Kemudian mulai mandi dan merapikan diri sendiri. 

 

Demi melihat tingkahku, mama tahu bahwa aku akan kembali pulang ke rumah. “Kamu mau kembali?”

 

Aku mengangguk pelan.

 

“Pulanglah! Mama sudah berkali-kali bilang kepadamu bahwa pertengkaran di dalam kehidupan rumah tangga itu normal dan terkadang bisa mendewasakan hidupmu sendiri. Kamu dan Adam harus bersikap dewasa dalam mengelola konflik yang terjadi antara kalian berdua,” nasihat mama kepadaku. Entah yang keberapa kali. Yang jelas, dia sudah sering menasihatiku tentang hal ini sejak aku pulang. Tapi entah kenapa, kali ini nasihatnya terdengar merdu. Mungkin ini karena pengaruh rasa rinduku kepada Adam.

 

***

 

Sopir taksi itu mengeluarkan koper dari bagasinya dan aku menerimanya. Kemudian menyeret koper tersebut sepanjang jalan menuju komplek. Tapi, tiba-tiba langkahku tertegun demi melihat satu pemandangan yang membuat aku terheran-heran.

 

Aku melihat lima lelaki tinggi besar tengah mengangkut barang-barang dari rumahku. Ada lemari, kursi, sofa, tempat tidur dan tetek bengek lainnya. Semuanya dikeluarkan dan terlihat berantakan. Halamanku penuh dengan barang.

 

Apakah Adam berniat pindah dan menjual rumah kami? Pemikiran itu membuatku terkesiap untuk beberapa saat lamanya. Itu tidak mungkin terjadi. Adam pernah bilang kepadaku bahwa rumah itu adalah mimpi kami bersama. Rumah itu menyimpan kenangan antara kami berdua dan kami membangunnya dari nol. Rumah itu telah menjadi saksi kisah cintaku dengan Adam.

 

Aku mulai merasa kesal karena Adam telah seenaknya menjual rumah itu tampa sepengetahuanku atau tampa berembuk denganku. 

 

‘Lihatlah, Eka. Dengan tindakan konyol Adam yang menjual rumah tanpa sepengetahuanmu menjadi bukti bahwa dia memang lelaki bajingan.’

 

‘Kau masih ingin kembali kepadanya?’

 

‘Ini benar-benar sudah keterlaluan, Eka!’

 

Suara-suara amarah itu berletupan di hatiku. Aku berlari menuju jalan rumahku. Tak mempedulikan rasa sakit di telapak tanganku karena menyeret koperku. 

 

“Hai, apa yang kalian lakukan?” seruku dengan napas terengah. Aku memandang satu persatu kelima lelaki kekar yang bertubuh bak petarung gulat tersebut. Aku tidak takut kepada mereka, karena ini rumahku, bukan?

 

Mereka semua berhenti dari kegiatan angkut mengangkut dan menatapku dengan tatapan penuh tanya.

 

Salah seorang diantara mereka yang memiliki kepala botak dan kulit gelap bertanya, “Siapa kamu?”

 

“Aku Eka! Aku pemilik rumah ini. Berani-beraninya kalian masuk ke rumahku dan mengeluarkan barang-barangku dari rumahku! Kenapa kalian lakukan ini?”

 

“Rumah ini milik Tuan Adam!” timpal salahseorang diantara mereka yang memiliki suara yang cempreng. Suara cemprengnya tidak relevan dengan tubuh tinggi besarnya. Sepertinya dia harus mengoperasi pita suaranya sehingga antara suara dan badan harus singkron.

 

“Adam itu suamiku!” balasku dengan cepat. Benar dugaanku. Adam telah melakukan satu hal paling fatal. Dia menjual rumah tanpa meminta persetujuanku.

 

“Itu tidak jadi soal,” balas si botak dan bersiap-siap mengangkut ranjang. “Semua benda di rumah ini akan kami lelang sebelum rumah ini kami jual di pasaran.”

 

What? Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku berani bersumpah akan mencegah ini semua terjadi. 

 

“Apa? Apakah Adam menjual rumah ini?”

 

“Bukan menjual. Tapi kami menyita rumah ini. Adam telah berhutang banyak dan tidak mampu membayar utang-utangnya plus bunga tahunan.” terang salahseorang diantara mereka yang sedari tadi aku melihatnya hanya diam mengawasi teman-temannya. Aku berani bersumpah dia adalah bosnya. Dia menurunkan kacamata hitamnya, mengelapnya dan mengenakannya kembali. “Adam telah mungkir selama berbulan-bulan. Jalan akhir yang kami ambil adalah dengan menyita rumah ini. Sebagaimana kesepakatan di awal, jaminan dari utang-utang itu adalah rumah dan mobil pazeronya.” 

 

Aku terkesiap untuk yang kedua kalinya. Lututku tiba-tiba lemas. Aku berharap ini hanya mimpi dan aku akan bangun dengan baik-baik saja. Tapi aku tahu ini bukan mimpi. Aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari di pagi ini, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hatiku yang kembali kelam. Aku juga merasakan gigitan semut hitam yang tiba-tiba merayap di kaki kiriku. Semut itu seakan-akan mengingatkanku bahwa kejadian ini nyata. Bukan mimpi. 

 

“Dimana dia sekarang?” tanyaku kemudian.

 

“Siapa?” tanya si kacamata hitam.

 

“Adam.”

 

“Aku tidak tahu dan itu bukan urusanku. Urusanku hanyalah membereskan rumah ini secepatnya sebelum benar-benar layak untuk dijual. Bukankah kau bilang kau istrinya, harusnya kau lebih tahu dimana dia sekarang.”

 

 Jawaban yang telak. 

 

Aku meraih ponselku dan mencoba menghubungi nomor Adam. Pertama, aku harus membuka blokir di nomor tersebut dan menelponnya. Jujur saja, sejak kepulanganku ke rumah mama, aku telah memblokir nomornya sehingga kami putus hubungan.

 

Satu kali tekan, nomor itu aku hubungi dengan dada berdebar. Aku harus menunggu hingga nada sambung ketiga hingga suara operator wanita bergaung. ‘Mohon maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.’

 

“Shit!”

 

Aku pun melangkahkan kakiku dengan gontai. Menyeret kembali koperku yang penuh dengan pakaian sekaligus harapan. Kembali ke tepi jalan untuk memesan uber. Untuk yang terakhir kalinya aku menengok ke belakang dan melihat rumah kenangan itu.

 

Tak berapa lama, sebuah mobil uber yang kupesan berhenti di depanku. Aku pun masuk ke dalam, mendorong koperku tanpa perlu meminta sang sopir menyimpan koper tersebut itu di belakang. 

 

Sepanjang perjalanan itu aku terus menangis tanpa mempedulikan lirikan penasaran si sopir dari kaca spion depan.

Bersambung.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment