EKA POV
Dari jendela kafe ini aku bisa bebas memandang aktifitas di luar sana. Jendela kafe yang lebar dengan kaca bening itu menjadi pelarian kenangan dan nostalgia yang berkelindan di kepalaku. Dulu, kafe ini menjadi tempat aku dan Adam menghabiskan akhir pekan kami sembari berceloteh riang gembira.
Seperti biasa, waktu itu kami selalu datang di senja hari menjelang malam. Adam memesan capucino, sementara aku memesan matcha kental yang menghangatkan tenggorokan. Kami saling menatap satu sama lain, saling menggenggam tangan dan mengobrol dengan hangat.
“Kau tahu, kebahagiaan bagiku sangatlah sederhana. Cukup dengan melihat matamu saja membuat aku bahagia,” gombal Adam dengan senyum miringnya.
Aku mencubit lengannya dengan gemas. “Gombal banget sih!”
Adam terkekeh. Kemesraan kami terinterupsi oleh kedatangan seorang pramuniaga yang membawakan satu cangkir cappuccino yang menguarkan aroma kopi yang hangat dan secangkir matcha yang berwarna hijau pudar.
“Terimakasih,” timpal kami berbarengan. Kami saling menatap satu sama lain dan tertawa berbarengan. Pelayan itu pergi sehingga kami bisa melanjutkan obrolan kami.
“Kau tahu tidak, apa persamaan antara cappuccino dengan dirimu?” tanya Adam masih dengan senyum miringnya.
“Aku tidak tahu,” balasku dengan cepat. Entah kenapa, gombalan-gombalan itu selalu aku nikmati dan aku menganggapnya sebagai bukti dari ketulusan rasa cinta Adam kepadaku.
“Cappucino itu menghangatkan lidah dan lambungku. Sementara kamu menghangatkan hatiku,” balasnya.
Kali ini aku tidak mencubit lengannya. Masa iya aku harus selalu mencubit lengannya setiap kali gombalan itu dia lontarkan? Bisa-bisa kulit lengan Adam membiru gara-gara aku sering mencubitnya dengan gemas.
“Oke, sekarang giliranku untuk melontarkan joke,” timpalku.
“Memangnya kau bisa?” tanya Adam menyangsikanku. Semua orang tahu bahwa aku tipe orang yang payah dalam urusan joke dan gombal menggombal.
“Tentu saja!”
“Apa bedanya kamu dengan pengemis di luar sana?” tanyaku sembari mengarahkan telunjukku ke luar jendela. Adam mengikuti arah telunjukku dan matanya tertumbuk kepada seorang pengemis yang terduduk di trotoar dengan gelas sturbuck kosong yang dia letakan di sampingnya. Aku berani bersumpah, gelas plastic itu dia pungut dari tong sampah di starbuck yang berseberangan dengan kafe dimana kami berada.
“Kenapa harus pengemis?” tanya Adam setengah protes.
“Jawab saja!” seruku dengan desakan. Tak lupa seringai lebar.
“Karena pengemis itu mengemis pemberian receh dari orang-orang yang lewat. Sementara aku mengemis cintamu,” jawab Adam mencoba menebak pertanyaanku.
Aku sedikit terlongo karena Adam bisa menjawab gombalanku dengan telak. Tapi aku harus mengelak. “Kamu salah!”
“Dari ekspresi wajahmu aku tahu bahwa jawabanku tepat,” timpal Adam.
“Lalu bagaimana tepatnya?” pancing Adam
Aku terdiam beberapa saat untuk memutar otak. Tapi aku menyerah dan mengangkat bahuku. Setelah itu Adam tertawa dan mengejekku. Kami berbicara, saling memberi komentar, bertanya tentang pekerjaan, berkomentar tentang pengunjung lain, tentang orang yang melintas di luar kafe dan semua hal yang bisa kami bicarakan hingga tanpa terasa minuman kami telah habis. Kami pun keluar dan tak lupa aku meyimpan beberapa uang receh di gelas plastik starbuck milik si pengemis tua di luar kafe. Saat itu Diam-diam aku merasa bersalah karena telah membuat dirinya sebagai bentuk sebuah perumpamaan.
Aku menghela napas panjang. Kejadian itu telah berlalu setahun setengah yang lalu. Tapi aku merasa baru kemarin kami berdua datang kesini dan saling menatap penuh cinta. Sementara Adam selalu melingkarkan tangannya yang besar di bahuku.
Kini, aku duduk di kursi yang sama, masih dengan segelas matcha. Tapi tanpa kehadiran Adam dan cappuccino kesukaannya.
Sudah tiga kali aku datang kesini hanya untuk mengenang semua hal yang pernah terjadi antara diriku dan Adam. Aku tahu terkadang kenangan itu terasa begitu menyakitkan. Tapi justru rasa sakit karena rindu itu terasa nikmat. Ah, betapa bodoh jika kita mempertanyakan tentang gejala cinta. Terkadang orang menderita tapi juga menikmati penderitaan tersebut. Aku telah membuktikannya.
***
POV ADAM
Semua telah hilang dari kehidupanku. Tidak hanya semua harta dan properti bisnisku. Bahkan cinta juga hilang dari kehidupanku. Eka juga telah hilang dari hidupku. Hanya saja, dia masih tetap bersemayam di hatiku. Untuk alasan itulah aku selalu memandangi kafe itu dari tempat diriku duduk dan menunggu orang-orang baik hati mengangsurkan uang recehan di gelas plastik starbuck yang aku pungut dari tong sampah di depan kafe kopi modern tersebut.
Aku biasanya hanya perlu duduk di pinggir trotoar tersebut dan satu atau dua orang pejalan kaki biasanya memberikanku beberapa koin yang bisa aku gunakan untuk membeli makan malam. Bagiku, tidak ada sarapan atau roti untuk makan siang tidak jadi soal. Yang penting aku bisa makan malam sehingga aku bisa tidur dengan nyenyak. Lagi pula, tidak ada orang yang bisa tidur nyenyak dengan perut yang keroncongan. Tidak peduli mereka orang kaya atau orang miskin, atau bahkan gelandangan seperti diriku. Orang kaya tidak perlu berpikir tentang waktu makan yang mana yang harus mereka korbankan, karena mereka bisa makan tiga kali dalam sehari. Sementara aku, aku harus berpikir, apakah aku memilih makan di pagi hari atau malam hari? Jika aku memilih sarapan, maka aku bisa berjalan dengan energy baru, tapi malam nanti besar kemungkinan aku tak punya uang untuk makan. sebaliknya, jika aku menyimpan uang untuk makan malam dan mengorbankan waktu sarapan, aku akan merasa lemas sepanjang hari.
Ah, lupakan tentang urusan perut. Akhir-akhir ini mataku selalu tertumbuk pada kafe itu. Kafe yang telah meninggalkan banyak kenangan antara aku dan Eka. Aku mencintai wanita itu, bahkan hingga diriku dalam kondisi kurus kering dan berpakaian compang camping seperti saat ini.
Apa? Kau memintaku untuk datang ke rumah orangtua Eka? Mau ditaruh dimana mukaku? Aku pernah membayangkan bahwa aku datang ke rumah mertuaku untuk bertemu dengan Eka dan meminta maaf kepadanya.
Tapi aku mencoba mengusir keinginan itu di hatiku. Bisa kubayangkan bagaimana reaksi Eka melihatku dalam kondisi lusuh seperti sekarang ini. Mungkin dia akan mengusirku dan pura-pura tak mengenaliku atau menyangkal pengakuanku.
“Aku mantan suamimu,” ujarku. Seandainya aku benar-benar datang.
“Bukan! Bukan! Kau bukan suamiku. Pergi sana! Jangan kau kotori terasku!” seru Eka. Dalam imajinasiku.
Tidak! Eka tidak pernah mengusir pengemis. Hatinya sangat lembut selembut sutra. Mungkin dia akan memberikan uang receh atau makanan. Tapi dia akan menyangkal pengakuanku. Mungkin dia tahu bahwa aku memang Adam, dan dia marah besar dan mengusirku. Dia masih marah. Aku tahu itu.
Aku menghela napas panjang. sampai kapan aku masih terus memikirkan itu? Lebih baik sekarang aku memiliki kesempatan untuk bernostalgia.
Dengan segurat senyuman tipis yang bertengger di bibirku, aku melangkahkan kaki ke arah kafe di seberang jalan dengan hati yang berdegup kencang. Aku merindui Eka dan masa lalu kami. Andai waktu bisa diputar ulang. Andai mesin waktu itu benar-benar ada di dunia nyata, sungguh aku sangat ingin membelinya. Tapi jika pun itu ada, memangnya aku bisa membelinya?
Nah, sekarang aku sudah berdiri di depan kafe itu. Tangan ringkihku merogoh jeans belel lusuhku. Dan aku menemukan lima koin di dalamnya. Hm, cukup untuk memesan satu cangkir cappuccino. Sekedar untuk mengenang rasa bahagia di masa lalu.
Aku mulai melangkahkan kaki ke pintu kafe. Tapi tiba-tiba mata pramuniaga menatapku dengan tatapan yang tajam. Seperti tatapan seekor anjing penjaga yang melihat orang asing datang di halaman rumah tuannya.
Pramuniaga itu datang sebelum aku benar-benar menyapukan pandanganku ke meja di sudut kafe yang biasa aku dan Eka pesan.
Pramuniaga itu mengangsurkan satu koin ke arahku.
“Aku datang bukan untuk mengemis,” ujarku dengan penekanan karena tersinggung. Lagi pula, jika aku mengemis, kenapa aku harus datang ke kafenya. Jika memikirkan tentang peruntungan, jelas duduk di pinggir trotoar lebih menjanjikan karena aku bertemu dengan ratusan orang pejalan kaki. Meski kebanyakan mereka tidak peduli dengan keberadaanku. Seakan-akan aku hanyalah seonggok kotoran atau selembar daun kering yang jatuh dari dahan-dahan pohon di pinggir jalan.
Pramuniaga itu tidak peduli, dia mengibaskan tangan lentiknya. “Untuk apa kamu kemari? Pergi sana!”
Pada detik itulah mataku menyapu pojok kafe dimana aku pernah merajut kisah bersama Eka. Aku ingin melihatnya sebelum pramuniaga itu benar-benar mengusirku dengan paksa.
Tapi ada seorang perempuan yang duduk di sana.
“ADAM!” perempuan itu memanggil namaku.
EKA POV
Aku mendengar seseorang berteriak dari arah depan. aku melihat seorang pramuniaga mengibaskan tangannya di hadapan seorang pengemis yang berdiri di pintu masuk. Tunggu! Aku sepertinya sangat familiar dengan wajah si pengemis.
Adam?
Tidak! Ini pasti mimpi!
Tidak! Itu hanya pengemis biasa yang wajahnya kebetulan mirip dengan Adam.
Tapi? Tahi lalat di atas bibirnya sangat identik.
“Adam!”
Pengemis itu terkesiap dan menatapku dengan mata terbelalak. Sejurus kemudian lelaki mirip Adam –atau memang dia Adam- berlari menjauh dari kafe.
“Adam!”
Aku bangkit dari kursiku dan melangkah dengan tergesa, berharap tidak kehilangan jejaknya. aku berlari ke luar dari kafe dengan tatapan aneh dan heran dari para pengunjung kafe dan pramuniaga.
Aku berlari ke arah kanan jalan. Aku yakin bahwa Adam tadi berbelok ke sana. Sialan! Betapa banyak orang berlalu lalang. Aku terus berlari menyusuri trotoar dan berharap bisa bertemu dengan Adam. Aku terengah-engah. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru jalan. Menatap dan memindai orang yang berlalu lalang.
“Adam!”
Adam. Adam. Dan Adam. Nama itu menari-nari di kepalaku.
Aku menangis di pinggir trotoar dengan tatapan penuh ingin tahu dari orang-orang yang lewat di sepanjang trotoar.
Seorang wanita tua datang mendekatiku dan menepuk pundakku dengan lembut. “Apakah kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk pelan.
Wanita tua itu pun berlalu.

No comments:
Post a Comment