25 Nov 2020

BERTENGKAR DENGAN KAKAK TIRI

 Siapa sih yang suka sama saudara tiri? Hampir semua orang pasti tidak pernah menyukai saudara tiri, atau paling tidak memiliki hubungan yang biasa-biasa saja dan tak pernah memiliki keakraban yang sempurna. Tidak seperti saudara kandung yang memiliki ikatan yang kuat karena pernah berbagi kenyamanan dan kehangatan di rahim seorang ibu. 

 

Seringkali, saudara sekandung meski beda bapak akan memiliki ikatan yang kuat dibanding saudara sebapak yang beda ibu. Betul kan?

 

Tapi, sepanjang perjalanan hidup saya yang memiliki saudara beda ibu alias saudara sebapak sebanyak lima orang, saya tidak pernah mengalami hubungan yang kaku, penuh pertengkaran atau semisalnya. Kami fine-fine saja dan saling menghormati satu sama lain. 

 

Karena emak saya selalu mengajarkan untuk mencintai saudara-saudara tiri saya layaknya mereka saudara kandung saya. Pun, emak tidak pernah menganggap mereka sebagai anak tiri. Emak selalu menganggap anak-anak istri tertua bapak sebagai anaknya sendiri. 

 

Semasa SD dulu, saya dititipin di rumah istri tertua bapak oleh istri muda bapak (baca: emak saya), karena emak dan bapak harus merantau ke daerah Ciamis. Selama dua tahun lamanya saya hidup di rumah ibu tiri dan saudara tiri saya. Dan saya tidak menjadi seorang anak terdzalimi layaknya kisah bawang merah bawang putih. Saya makan seperti kakak-kakak saya makan. saya juga diberi  uang jajan yang sama seperti yang kakak saya terima dari ibu tiri. 

 

Sebaliknya, dua kakak tiri saya pernah ikut emak ke Ciamis dan tinggal disana selama dua tahun lamanya. Udah kayak tuker-tukeran anak ya. 

 

Sebenarnya agak kurang sreg saya menyebut ibu tiri atau saudara tiri. Biasanya saya menyebut ibu tiri dengan sebutan ‘emak Euceu’ karena memang mereka adalah ibu dari ‘Euceu’ sebapak. Euceu adalah panggilan untuk saudara perempuan dalam bahasa Sunda. 

 

Suatu hari, teman saya datang ke rumah untuk bermain gundu. Kemudian dia tanya ke saya, “Itu siapa sih?” sembari menunjuk kakak tiri saya yang sedang asyik memetik daun singkong di ladang.

 

“Oh, itu kakak tiri saya,”

 

Emak saya yang sedang duduk di ruang tamu mendengar apa yang saya katakan. Setelah teman bermain saya pulang, emak duduk di samping saya dan berkata, “Masa sih Euceu kamu dibilang kakak tiri.”

 

“Lho, emang kakak tiri kan mak?”

 

“Saudara tiri itu sebutan untuk saudara sebapak dari istri yang sudah bercerai. Sementara emak dan emak Euceu kan masih istri bapak. Jadi nggak pantas menyebut mereka dengan sebutan saudara tiri, apalagi ibu tiri.”

 

Aku hanya melongo. Apa bedanya. Tapi maksud emak baik. Mungkin emak ingin mengajarkanku bahwa kami tetaplah saudara, terlepas kami lahir dari rahim yang berbeda. Tapi setidaknya kami bersumber dari benih yang sama.

 

Masih ada satu kisah lagi.

 

Hari itu hujan turun dengan lebatnya. Dari pagi menjelang siang, air hujan bak ditumpahkan dari langit. Karena hujan yang intens, otomatis balong (baca: empang) milik emak airnya meluap dan salurannya jebol. Alhasil, ikan-ikan mujair dan emas milik kami pun keluar dari kolam dan berkeliaran di saluran-saluran ladang milik istri tertua bapak. 

 

Tak berapa lama, kakak perempuan saya datang dan mulai memunguti ikan-ikan tersebut, kemudian melemparkannya ke kolam milik ibunya sendiri. Saya melihat apa yang dilakukan kakak tiri saya lewat jendela rumah dengan hati yang panas. 

 

Tak peduli dengan hujan yang masih merintik, saya turun dari palupuh dan berteriak kepada kakak perempuan saya. “Heh, itu ikan Husni! Jangan diambil!”

 

“Sama aja! Ini kan ikan diternak sama bapak! Emangnya bapak cuman milik kamu!”

 

“Tapi kan bapak nanam ikannya di kolam aku!”

 

Akhirnya kami bertengkar di bawah rintik hujan yang mulai mereda. Kami pun saling menghina.

 

Sore harinya, emak memarahi saya. “Hanya gara-gara ikan kalian bertengkar? Ikan bisa dicari dan dibeli, tapi hubungan persaudaraan tidak bisa dibeli lagi!”

 

Saat itu juga emak berkunjung ke rumah emak tiri saya dan menyuruh saya untuk meminta maaf kepada kakak tiri saya. Meski hati saya sungkan, saya tetap melakukannya.

 

Justru emak tiri saya tidak tahu tentang tingkah anaknya yang memindahkan bibit ikan kami ke kolam milik mereka. Dia hanya geleng-geleng kepala.

 

“Lho, jadi Euceu tadi mindahin ikan milik kamu ke kolam emak?”

 

“Iya!” jawabku sembari menuding Euceu yang cemberut.

 

Akhirnya Euceu dimarahi oleh emak tiri saya. Tapi emak saya mengikhlaskannya dan meminta emak Euceu untuk tidak memperpanjang urusan. “Cuman ikan kok. Kecuali kalau ikannya terbuat dari emas. Baru saya protes.”

 

Emak Euceu hanya tertawa mendengar seloroh emak. Ah, terimakasih Tuhan, kau telah menganugerahkan saya ibu kandung dan ibu tiri yang sangat bijak.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment