Suatu hari, keluarga besar Ibnu Taimiyah melakukan acara rihlah, dan beliau diajak pergi bersama mereka. Waktu itu beliau masih kecil. Beliau menolak ikut serta dan ingin tetap di rumah.
Sepulang dari acara rihlah mereka mengatakan kepada Ibnu Taimiyah, ‘Kamu rugi karena kamu tidak ikut rihlah bersama kami.’
Beliau pun berkata, ‘Apa yang kalian dapatkan dari rihlah?’
Mereka pun menceritakan tentang pemandangan yang indah yang mereka saksikan.
‘Kemudian apa yang kalian bawa pulang?’ tanya Ibnu Taimiyah.
‘Ya…kenangan indah itu,’ jawab mereka.
Lantas beliau menjawab, ‘Adapun saya, sejak kalian pergi saya telah menyelesaikan membaca dan menghafal kitab ini, yaitu Raudhatun Nadhir karangan Imam ibnu Qudamah. Kitab yang disebutkan oleh beliau adalah kitab ushul Fiqih yang menjadi rujukan utama di jami’atul imam selama delapan semester.
Inilah yang membedakan tradisi ilmiah yang sangat tinggi yang dimiliki oleh ulama terdahulu. Banyak diantaranya yang tidak melewatkan waktu sedikit pun kecuali untuk menambah ilmu.
(Disadur dari buku ‘Karena Buku Senikmat Susu)
**
Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.
Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.
Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.
Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.
(Disadur dari hidayatullah.com)

No comments:
Post a Comment