Siang itu aku sedang sibuk dengan pekerjaanku ketika
Ihsan datang dengan tiba-tiba. Anak remaja itu selalu datang ke rumahku dan
menganggap rumahku layaknya rumah kedua. Dan tentunya aku yakin dia menganggap
diriku sebagai ibu kedua bagi dirinya.
Ihsan seperti biasa datang dengan sepeda
kesayangannya. Setiap hari libur sekolah dia akan datang untuk hanya sekedar
bermain atau meminjam buku-buku koleksiku. Anak ini seorang kutu buku juga.
Jadi aku senang ketika dia membaca buku-bukuku. Suamiku tak akan pernah membaca
buku-buku tersebut. Tapi kali ini dia datang untuk membantuku membuat kue dan
mempersiapkan berbagai hal berkaitan dengan penerimaan tamu. Besok pagi,
keluarga besarku akan datang dari Mesir. Khadija, ibu Ihsan bilang melalui
whatsapp bahwa dia menyuruh Ihsan untuk membantuku.
Rumah Khadija,
tidak terlalu jauh dari rumahku. Mungkin sekitar kurang lebih 3 kilo meter
jauhnya. Jadi kami selalu saling
berkunjung untuk melepaskan kerinduan satu sama lain.
Oh iya, aku lupa memperkenalkan siapa Khadija.
Sebenarnya aku kurang yakin apakah kau akan paham dengan ceritaku ini. Yang jelas, Khadija memiliki
banyak peran dalam kehidupanku. Dia terkadang menjadi kakak perempuanku,
terkadang dia menjadi ibu bagiku. Usiaku dan usianya terpaut 10 tahun. Dan
terkadang dia juga menjadi sahabat untukku. Dan tentunya, dia adalah istri
pertama dari suamiku.
Mungkin kau terkejut, tapi begitulah kenyataannya.
Bagiku, rasa kasih sayang yang kumiliki untuk Khadija sama dengan rasa sayangku
untuk orang tuaku dan untuk Abdullah, suami kami. Suamiku dan suami Khadija.
“Apa yang harus aku kerjakan, Mom?” tanya Ihsan
sembari menatapku yang tercenung sejenak. Aku tergeragap dan menyadari Ihsan
menatapku heran.
“Oh e..kau sudah makan.”
Ihsan tersenyum, “Tentu saja belum. Bukankah Mom
selalu menyediakan lauk untukku.” Jawabnya diiringi oleh derai tawa.
“Bagus, Mom sudah sediakan pizza di meja makan. Jadi
sekarang kau makan dulu. Setelah itu kau siapkan adonan untuk membuat roti dan bahan-bahan untuk menanak nasi biryani.”
Terangku.
Tannpa menunggu waktu lama, Ihsan pergi ke ruang
makan. Hmm..tanpaknya anak itu benar-benar lapar setelah mengayuh sepeda sejauh
3 kilo meter. Beruntung sekali sejauh jarak tersebut, hanya dataran yang
membentang.
Oh sepertinya aku juga harus menceritakan kepadamu
tentang Ihsan. Dia memanggilku Mom karena itu yang Khadija inginkan. Lagipula
aku menganggapnya anak sendiri, walau dia bukan lahir dari rahimku, tapi lahir
dari rahim Khadija.
“Jika kau punya anak, aku tentu orang pertama yang
senang dengan kelahirannya.” Ujar Khadija suatu hari sembari menyisir rambutku.
Dia layaknya kakak perempuanku yang selalu menghiburku di kala sedih. Saat itu
aku mengadukan kegelisahanku karena menginjak tahun ketiga pernikahanku dengan
Abdullah, Allah subhanahu wata'ala belum mengizinkan kami memiliki anak.
“Aku yakin suatu saat nanti kau akan melahirkan bayi
mungil.” Ujar Khadija lagi.
“Kau yang memberi nama. Biasanya kau selalu antusias
memberi nama bayi. Bukankah nama bayi Aber tetangga kita juga atas
rekomendasimu?” timpalku.
“Tentu saja. Jika suami kita mengizinkan.” Jawab nya
enteng.
“Lagi pula aku tidak terlalu risau,” ujarku kemudian,
mencoba menyembunyikan kesedihanku, “toh aku memiliki Ihsan. Anakmu anakku
juga.”
Khadija memelukku dengan mata berkaca-kaca. Baiklah,
aku akan katakan dengan jujur bahwa pernikahanku dengan Abdullah adalah
pernikahan yang paling membahagiakan. Bukan karena Abdullah adalah seorang
pemuda tampan yang kaya dan baik hati atau apalah, meski memang dia seorang lelaki
yang tanpan dan baik hati. Tapi lebih dari itu, aku bahagia karena aku menjadi
istri keduanya. Aku bahagia karena dia memiliki Khadija yang sekarang mengisi
kehidupanku kayaknya seorang kakak atau ibu untukku. Aku juga bahagia karena
aku memiliki Ihsan, anak kami, maksudku anak Abdullah dan Khadija. Setidaknya
sebelum janin mengisi rahimku, aku bisa merasakan menjadi seorang ibu. Ibu
untuk Ihsan.
Aku kembali
tersadar dari lamunanku ketika aku mendengar suara seseorang di dapur. Hmm,
Ihsan sekarang sudah sibuk dengan adonan rotinya. Jadi aku bisa menuntaskan
pekerjaanku mencuci baju-baju kotor. Baju Abdullah sudah menumpuk di pojok
ruangan dan menunggu tanganku untuk membersihkannya. Seminggu kemarin, Abdullah
pergi ke Toronto untuk memberikan pelatihan dan seminar tentang bisnisnya.
Jadi, wajar saja jika ketika dia pulang membawa baju kotor yang lumayan banyak.
Omong-omong, mengenai Abdullah, dia adalah suami yang
paling romantis yang pernah aku temukan. Pernah suatu malam –ketika itu jadwal
bermalam di rumahku- Abdullah mengajakku
pergi makan malam di restoran. Tentu saja aku senang. jadi aku segera
mempersiapkan diriku dan memakai baju terindah yang aku miliki. Ah, ini seperti
malam kencan pertama sepasang kekasih..
Tujuan kami waktu itu adalah restoran cina. Aku memang
suka masakan negeri tirai bambu. Tanpa menunggu lama, Abdullah memanggil
seorang pelayan dengan wajah oriental dan memesan dua porsi untuk kami. Saat
itu aku protes. Aku kira Khadija akan
datang menyusul dan makan bersama kami.
“Aku kira kau juga mengundang Khadija untuk makan
bersama kita.” Kataku dengan nada tak senang.
“Tidak, “jawab Abdullah, “bukankah malam ini jadwal
bermalam di rumahmu?”
“Tapi jadwal bermalam tak ada kaitannya dengan acara
makan malam di luar rumah. Seharusnya kau juga mengajak Khadija untuk makan
bersama kita.”
Abdullah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Aku
tak tahu apakah kata-kataku itu terdengar lucu ditelinganya. Yang jelas, aku
ingin dia adil dalam memperlakukan istri-istrinya. Karena itulah sumber kebahagiaan
kami. Apa? Kau menganggapku berlebihan? Tak masalah, karena kulihat Abdullah
juga merasa bersalah. Dia merogoh saku celananya untuk mengambil smartphonenya.
Kemudian menghubungi nomor Khadija. Aku bisa mendengar percakapan mereka.
‘Aku mengajakmu makan malam di restoran Nan-yang.’
‘Aku sudah makan barusan. Kau tahu malam ini Ihsan
memasak tumis cumi. Aku berani menjamin masakannya sungguh enak. Ini pertama
kalinya Ihsan memasak. Dia bilang, Aisya mengajarinya masak hari kemarin.
Kurasa kau harus mencicipi masakan Ihsan malam besok’
Aku tersenyum mendengar berondongan kata-kata yang
diucapkan Khadija dari seberang sana.
‘Jadi kau yakin tidak akan makan bersamaku?’
‘Tidak, aku sudah kenyang. Memangnya kau sendirian?
Kenapa tidak mengajak Aisyah?’
‘Ya, tentu saja aku bersama Aisya. Dia justru yang
memintaku untuk mengajak dirimu.’
‘Aisya memang perempuan yang aneh. Bilang padanya, dia
harus punya rasa cemburu terhadap dirimu. Dia selalu ingin melibatkanku dalam
moment romantis kalian.’
Abdullah menatapku dan beberapa detik kemudian derai
tawa kami pecah.
‘Oke, jadi selamat makan malam. Aku sudah ngantuk nih.
Selamat malam. Oh iya, aku lupa untuk mengatakan satu hal penting.’
‘Apa itu?’
‘Besok kau harus mengajakku makan malam di restoran
India. Karena malam ini kau makan malam diluar bersama Aisya. Bukankah kau
harus adil?’
Abdullah kembali tertawa,, ‘Menurutku kau tidak perlu
makan diluar jika hanya ingin makan masakan India. Toh Aisya pintar membuat
masakan khas India.’
‘Aha, itu ide bagus. Jadi katakan padanya dia harus
memasak untuk kita besok sore.’
Aku mencondongkan kepalaku dan mendekatkan bibirku ke
smartphone dalam genggaman Abdullah, ‘Oh maaf, aku bukan seorang pegawai
catering restoran.’
Dan kami bertiga hanyut dalam derai tawa. Setelah itu
Khadija mengucapkan selamat malam untuk kedua kalinya dan sambungan terputus.
Pesanan sudah datang. Pelayan itu menyajikan makanan
di atas meja dan berlalu.
“Jadi kau mengajari Ihsan memasak? Tapi dia kan bukan
perempuan?”
“Kenapa? Apakah memasak itu hanya urusan perempuan.
Lagi pula Ihsan pernah bilang dia ingin menjadi seorang cheef. Dia ingin
menjadi seorang master koki yang hebat.”
“Wow, jadi aku beruntung sekali memiliki istri
sepertimu.”
“Ya, kita juga beruntung memiliki Khadija.”
Nah, itu salah satu moment romantis yang tidak akan
pernah aku lupakan. Maka pantas saja jika dimataku Khadija adalah satu pion
penting dalam kebahagiaan rumah tangga kami. Khadija juga aku ajak untuk
menemui keluargaku. Dan keluargaku sangat senang bisa bertemu istri lain dari menantu
mereka.
“Anggap saja kami orang tuamu.” Ujar Baba saat itu.
Asal kau tahu, kedua orang tua Khadija sudah meninggal belasan tahun yang lalu
di tanah kelahiran mereka, Hebron. Khadija dan Abdullah adalah dua anak
palestina yang saling jatuh cinta dan mereka bertemu di perantauan mereka di
Quebec. Di sini juga aku bertemu dengan Abdullah dan kami saling jatuh cinta.
Hingga pada akhirnya inilah nasib kami. Cinta segitiga antara aku, Khadija dan
Abdullah. Dan kukira cinta kami tak serumit yang dibayangkan orang-orang. Aku
yakin bahwa poligami adalah keniscayaan bagi kehidupan rumah tangga kami. Bukan
untuk kebahagiaan Abdullah, tapi juga kebahagiaanku dan Khadija.
Khadija juga terkadang berubah menjadi sosok ibu atau
kakak perempuan bagiku. Ketika aku sakit, dia selalu menyisihkan waktunya
untukku. Pernah aku terjangkit penyakit typus ketika aku pertama kali pindah ke
Minsesotta. Saat itu Abdullah tidak sedang di rumah karena suatu acara.
Akhirnya sepanjang waktu Khadija membersamaiku. Mengerjakan semua urusan
domestik rumah tangga yang tidak bisa aku kerjakan. Membawaku ke dokter dan
menungguiku selama aku menjalani rawat inap. Aku tak akan melupakan moment itu.
Oleh karena itu, ketika teman-temanku berkunjung untuk menjengukku, mereka
menanyakan kepadaku, siapa wanita yang selalu menugguiku ketika aku sakit. Aku
bilang kepada mereka dia adalah kakak perempuanku.
Di kesempatan yang lain, temanku yang bertanya tentang
Khadija itu datang kepadaku dengan tatapan yang khawatir.
“Ada apa?” tanyaku tak kalah khawatir melihat mimiknya
yang terlihat gelisah.
“Aku melihat kakak perempuanmu jalan bareng dengan
suamimu Abdullah. Tidakkah kau khawatir mereka bermain api di belakangmu?
Sepertinya suamimu selingkuh dengan kakak perempuanmu.” Ujarnya tanpa pikir
panjang.
Aku tersenyum lebar dan menjelaskan hal yang
sebenarnya.
“Tapi kenapa kau berbohong kepadaku? Kenapa saat itu
kau bilang dia kakak perempuanmu?”
“Karena dia adalah bisa apa saja untuk diriku. Dia bia
menjadi kakak yang baik. Dia bisa menjadi ibu bahkan bisa menjadi teman
bagiku.”
Temanku itu hanya menganggukan kepala. Setelah itu dia
tak lagi membahasnya. Hanya saja dia pernah mengatakan bahwa dia tak habis
pikir bagaimana mungkin kehidupan cinta seperti keluargaku ada di dunia ini.
Ya, memang ada. Tapi mungkin langka.
Oh ya, hanya ingin berbagi kepadamu. Ada satu hal lagi
yang ingin aku sampaikan. Seandainya ada Khadija-Khadija lain di luar sana, aku
akan memaksa Abdullah untuk menikah dengan mereka sehingga genap semua
kebahagiaanku.
“Mom, aku sudah menuntaskan adonan rotinya. Apa lagi
yang harus aku kerjakan?”
Oh, Ihsan sudah menyelesaikan tugasnya. Jadi aku harus
segera membantunya dan tentu saja memberi tugas baru kepadanya. Sehingga
cita-citanya untuk menjadi koki handal bisa terwujud.
Jadi aku harus mengakhiri cerita ini. Aku yakin aku
merasa penarasan dengan semua kehidupan kami. Tapi sudahlah, semoga yang
sepenggal ini bisa memberimu cara pandang baru.
“Mom, tunggu apa lagi?!”
Ihsan sepertinya sudah tidak sabar lagi. Aku harus
segera menemuinya.


No comments:
Post a Comment