Alkisah jaman dahulu kala ada seorang petani miskin yang
hidup dengan seorang puteranya. Mereka hanya memiliki seekor kuda kurus yang
sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa luasnya.
Pada suatu hari, kuda milik petani tersebut menghilang, lari
begitu saja dari kandang menuju hutan.
Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata:
“Wahai Pak Tani, sungguh malang nasibmu!”.
Petani miskin itu hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku
tidak tahu …”
Keesokan harinya, ternyata kuda petani tersebut kembali ke
kandangnya, dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang si petani yang
tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa.
Orang-orang dari kampung berbondong datang dan segera
mengerumuni “koleksi” kuda-kuda yang berharga mahal tersebut dengan kagum.
Pedagang-pedagang kuda segera menawar kuda-kuda tersebut dengan harga tinggi,
untuk dijinakkan dan dijual. Pak Tani pun menerima uang dalam jumlah banyak,
dan hanya menyisakan satu kuda liar untuk berkebun membantu kuda tuanya.
Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata:
“Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!”.
Si petani lagi-lagi menjawab, “Malang atau beruntung? Aku
tidak tahu …”
Keesokan harinya, anak petani dengan penuh semangat berusaha
menjinakan kuda baru nya. Namun, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, sehingga pemuda
itu jatuh dan patah kakinya.
Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata:
“Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!”.
Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku tidak
tahu …”
Pemuda itu pun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan kakinya yang patah.
Perlu waktu lama hingga tulangnya yang patah akan pulih kembali.
Keesokan harinya, datanglah Panglima Perang utusan Raja ke desa itu. Panglima
tersebut memerintahkan
seluruh pemuda supaya bergabung menjadi pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat
yang jauh. Seluruh pemuda pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak si petani pun tidak harus berperang
karena dia cacat. Sementara orang-orang di kampung berurai air mata melepas
putra-putra nya bertempur. Orang-orang berkata kepada si petani “Wahai Pak
tani, sungguh beruntung nasibmu!”.
Lagi-lagi si petani hanya menjawab, “Malang atau beruntung?
Aku tidak tahu …”
--
Sahabat, dari ilustrasi kitah di
atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa sebagai manusia kita memiliki
keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang telah menjadi skenario Sang
Maha Sutradara.
Apapun yang kita sebut hari ini sebagai kesialan, barangkali
di masa depan kita menyadarinya bahwa hal itu sebuah keberuntungan.
Maka orang-orang seperti petani dalam kisah ilustrasi di atas akan berhenti
menghakimi kejadian demi kejadian dalam kehidupan dengan label ‘beruntung’ atau ‘sial’ dan sebagainya.
Karena kita tidak memiliki hak untuk itu. Siapa kita? Sehingga kita berani
menghakimi kejadian yang kita tidak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti?
Seorang karyawan yang dipecat perusahaan nya, bisa jadi bukan
suatu “kesialan”, manakala ternyata status jobless nya telah memecut dan
membuka jalan bagi diri nya untuk menjadi boss besar di perusahaan lain.
Maka berhentilah mengeluh dan
menghakimi apa yang terjadi pada kehidupan kita hari ini. Apa pun itu yang kita
anggap kepahitan dan kesialan dalam kehidupan, Allahlah yang mengatur semuanya.
Dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Hadapilah badai kehidupan sebesar
apa pun itu, Allah tidak akan lupa dengan usaha dan ketawakalan kita. Kapal
hebat diciptakan bukan untuk dilabuhkan di dermaga saja. Tapi kapal hebat
diciptakan untuk belayar mengarungi samudera luas nan bergelombang. Jika kita
mendapat musibah, maka Allah menguji kekuatan kita. Kita harus yakin bahwa kita
kuat mengarungi semuanya, dan Allah tidak membiarkan kita.
No comments:
Post a Comment