Oleh Husni Mubarok
“Ros, ini tasnya,” ujar Emak sembari mengangsurkan tas sekolah Rosita. Kemarin tali tas Rosita putus, sehingga Emak harus menjahitnya semalam. Ini adalah ketigakalinya Emak menjahit tali tas Rosita.
“Terimakasih, Mak,” timpal Rosita dengan senyum lebar. Dia mengamati tasnya. Tidak ada yang kurang, meski warnanya sudah kusam. Ada dua bekas jahitan di tali sebelah kanan. Sekarang bertambah satu jahitan di sebelah kiri. Tapi jahitan itu tidak begitu terlihat kentara, karena Emak menjahitnya dengan warna benang yang sama.
“Maaf ya, Emak belum bisa membelikan tas baru untuk kamu, Ros. Emak janji, nanti kalau emak ada uang lebih, akan membelikanmu tas baru di Pasar Rebo.”
“Tidak usah, Mak. Jangan dipikirkan, tas ini masih layak, kok.” Rosita pun mendekap tas itu untuk meyakinkan Emak bahwa dia baik-baik saja. Tas itu dibelikan Bapak sebagai hadiah kenaikan kelas dua tahun yang lalu. waktu itu, Bapak membelikan tas dan krayon baru sebagai hadiah atas peringkat pertama yang berhasil Rosita raih di kelas tiga.
Tapi sekarang….Bapak sudah tidak bisa bekerja. Jangankan bekerja, melakukan aktifitas harian pun Bapak begitu menderita. Ya, Bapak harus terbaring di ranjang setelah jatuh dari pohon kelapa ketika menyadap air nira kelapa atau biasa disebut lahang oleh orang kampung.
Pekerjaan utama Bapak adalah menyadap nira kelapa. Ada empat pohon kepala milik sendiri yang Bapak sadap setiap hari. Caranya adalah dengan memotong bunga jantan kelapa, setelah itu menadahnya dengan tabung bambu dan membiarkannya selama semalam. Setiap pagi Bapak akan kembali memanjat kelapa dan mengambil lahang yang sudah terkumpul di dalam tabung bambu. Lahang itu kemudian akan dipanaskan di atas wajan hingga mengental dan berwarna merah. Setelah itu, Emak akan menumpahkan lahang yang sudah kental itu ke dalam adonan yang terbuat dari ruas bambu dan membiarkannya hingga mengeras. Lahang yang sudah mengeras itulah yang disebut gula kelapa atau gula merah. Sebagian orang menyebutnya gula jawa. Setelah jadi, Bapak biasanya akan menjual ke warung. Harganya tidak terlalu mahal, hanya dua ribu rupiah satu buahnya.
Tapi sejak seminggu yang lalu Bapak tidak bisa menyadap air lahang di atas kelapa. Semua berawal dari peristiwa naas yang menimpa Bapak. Seminggu yang lalu, Bapak jatuh terpeleset dari batang kelapa yang dia panjat. Padahal posisi bapak masih sangat tinggi, yakni di pucuk kelapa. Bapak jatuh berdebam ke tanah. Bapak bahkan tidak sadarkan diri.
Emak yang tengah menghaluskan biji jagung di dapur mendengar suara berdebam dari samping rumah. Perasaan Emak tak enak. Emak segera berlari ke arah kebun kelapa. Didapatinya Bapak sudah terkapar di tanah.
Hari itu juga, diantar Paman Sobirin, Emak membawa Bapak ke Puskesmas. Sayangnya, pihak Puskesmas angkat tangan. Mereka bilang, mereka tidak bisa menangani luka yang dialami Bapak.
“Bapak mengalami luka dalam,” ujar salah seorang petugas waktu itu. “Bapak harus dirujuk ke rumah sakit kota.”
Bapak mengeluh sakit perut. Bahkan tangannya lumpuh. Karena tidak punya uang untuk berobat ke rumah sakit, Bapak memaksa Emak untuk kembali pulang. Bapak bilang, nanti juga sembuh sendiri. Tapi sudah seminggu lamanya Bapak masih terbaring di ranjang.
Sehari-hari, Bapak hanya mengonsumsi obat-obat herbal yang dianjurkan oleh tukang urut kampung. Emak sendiri yang meraciknya untuk Bapak.
Rosita sudah bersimpuh di atas tikar pandan untuk sarapan. Di hadapannya tersedia nasi jagung dan ikan peda. Ditambah dengan satu mangkok kecil sambal cabai mentah. Akhir-akhir ini Emak harus mencampur nasi dengan jagung yang sudah dihaluskan dan diayak. Hal ini dilakukan untuk menghemat persediaan beras.
Bagi Rosita, makan dengan nasi campuran jagung sudah menjadi hal biasa. Terkadang, jika nasi sudah habis, mereka memakan singkong rebus atau singkong goreng. Itu pun jika minyak gorengnya masih ada.
“Nah, antarkan dulu sarapan buat Bapakmu, Ros.” Emak mengangsurkan piring berisi nasi jagung dan ikan peda ke Rosita. Rosita kemudian membawanya ke kamar Bapak.
Dilihatnya Bapak tengah terpejam di atas kasurnya yang sudah kumal. “Pak, sarapan dulu ya.”
Bapak membuka matanya dan menoleh ke arah Rosita. “Iya, Neng. Simpan saja piringnya di meja.”
“Rosita berangkat dulu ya, Pak.”
“Iya, Neng. Hati-hati di jalan. Belajar yang rajin ya.”
Rosita mencium tangan kanan Bapaknya, kemudian berlalu dari kamar. Setelah itu, dia menemui Emaknya yang tengah menjemur pakaian di depan rumah. Beberapa helai kain sudah tersampir di galah bambu. Rosita mencium tangan Emak.
“Assalamualaikum, Mak.”
“Waalaikum salam, di sekolah jangan nakal, ya Ros.”
“Rosita nggak pernah nakal kok, Mak,” jawab Rosita yang diiringi derai tawa Emaknya.
***
Pelajaran yang paling Rosita sukai adalah Bahasa. Entah itu Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau pelajaran Mulok Bahasa Sunda. Rosita menyukai bahasa karena dia suka membaca dan menulis. Hampir setiap hari dia akan menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan sekolah. Bagi Rosita, tidak ada pilihan lain untuk mengisi waktu istirahat selain ke perpustakaan. Mau main ke kantin, dia tidak punya uang jajan. Rosita jarang memiliki uang jajan. Setiap ada uang lebih, dia lebih suka untuk menabungnya di celengan bambu yang dia simpan di kolong tempat tidur. Mau main badmindon atau voly ball, dia tidak terlalu suka dua olahraga itu. Jadi, perpustakaan adalah pilihan yang tepat untuk Rosita.
Di perpustakaan sekolah itu dia akan tekun membaca buku. Jika ada buku yang menarik, dia akan meminjamnya dan membawanya pulang. Dalam seminggu, Rosita bisa menghabiskan tiga buah buku. Dia tidak pernah membeli buku bacaan. Dia selalu meminjamnya dari perpustakaan sekolah atau perpustakaan desa. Sesekali, dia juga membaca novel seri detektif yang dia pinjam dari teman sebangkunya, Astini.
Astini adalah anak Pak Rohadi, juragan kambing dan tengkulak kapulaga yang kaya raya. Meskipun dari keluarga yang berkecukupan, Astini tidak pernah tinggi hati. Dia selalu bersahabat dengan siapa saja, termasuk dengan Rosita.
Astini dan Rosita telah menjadi sahabat yang dekat sejak kelas 2 SD. Mereka tidak pernah berpisah. Selalu duduk semeja dan berdampingan. Maka tak heran jika diantara keduanya mengenal dengan baik satu sama lain.
Nah, Astini suka bilang Rosita itu jago dalam membuat cerita. Hal itu dia katakana setelah dia membaca dua cerpen karya Rosita yang ditulis tangan untuk tugas mengarang kelas 5.
“Cerita kamu bagus, Ros. Sama bagusnya seperti cerpen-cerpen yang aku baca di majalah anak-anak langgananku,” puji Astini dengan tulus.
“Ah, kamu bisa aja, As. Tentu saja karyaku tidak bisa disandingkan dengan cerpen yang ada di majalah,” sanggah Rosita.
“Aku serius kok, Ros. Aku punya ide!” seru Astini sembari menjentikan jari telunjuk dengan jempolnya.
“Ide? Maksudmu?”
“Kemarin kan aku mendapatkan informasi Lomba cerpen anak-anak yang diadakan oleh majalah Duniaku. Nah, bagaimana kalau karya kamu diikutsertakan.”
“Karyanya kan harus diketik, As. Aku tidak punya laptop atau computer untuk mengetik cerpen-cerpenku,” keluh Rosita.
“Jangan khawatir. Aku akan meminjami kamu Laptop. Aku punya laptop di rumah. Mulai besok kamu bisa main ke rumahku dan mengetik cerpen-cerpen kamu, Ros.”
“Ide yang bagus, As!” seru Rosita. dia tentu saja merasa senang.
“Hadiahnya juga lumayan besar lho. Tujuh juta untuk juara pertama, lima juta untuk juara kedua, dan tiga juta untuk juara ketiga. Juara harapan masing-masing satu juta.”
“Benarkah?” tanya Rosita sembari membelalakan mata. Astini mengangguk-angguk dengan senyum lebarnya.
Keesokan harinya setelah kabar yang membahagiakan itu, Rosita rutin mendatangi rumah Astini untuk mengetik cerpen-cerpennya. Beruntungnya, Astini siap membantunya. Tentunya Astini sudah mahir mengetik dibandingkan Rosita. setelah mengetik tiga cerpennya yang dianggap paling bagus, Rosita mengirimkan cerpen tersebut ke panitia Lomba. Tentu saja dengan memakai akun email milik Askarini, kakak perempuan Astini yang duduk di kelas 2 SMA. Karena mereka berdua belum punya email.
“Tunggu saja, pengumuman pemenang akan diumumkan satu bulan setelah ini,” jelas Astini sembari menghembuskan napas lega. Dia baru saja selesai mengirimkan tiga cerpen temannya itu.
“Diumumkan dimana, As?” tanya Rosita antusias.
“Di majalah Duniaku dan di website mereka. Nanti aku kabari. Aku kan langganan majalah itu juga.”
Sebulan berlalu. Hari yang dinantikan itu tiba. Rosita sampai berdebar-debar dibuatnya. Sejak pagi hari hatinya berdebar tak karuan. Tidak sabar untuk bertemu Astini di sekolah. Debar di hati Rosita semakin menjadi ketika dia melihat Astini sudah duduk di kursinya sembari melambaikan majalah ‘Duniaku’ di tangan kanannya.
“Kamu keluar sebagai Juara pertama!” seru Astini dengan teriakan yang cukup keras. Sampai-sampai teman-teman yang ada di dalam kelas menoleh ke arahnya.
Rosita ikut berteriak senang. Dia kemudian sujud syukur saat itu juga. Teman-teman sekelas yang keheranan melihat tingkah keduanya mendekat dan bertanya. Demi mengetahui kabar itu, mereka mengucapkan selamat kepada Rosita.
“Kalau bukan karena bantuan kamu, aku tidak mungkin ikut lomba ini, As,” ujar Rosita dengan mata yang berkaca-kaca. “Terimakasih ya.”
“Iya Ros. Sudah kewajiban kita untuk saling membantu satu sama lain, kan? Oh iya, nanti uang lombanya masuk ke rekening Mama aku. Kalau uang hadiahnya sudah masuk nanti aku kabarin.”
“Uang hadiahnya kita bagi dua saja ya, As. Separuh untuk kamu, separuh untuk aku. Karena kamu juga punya andil dalam lomba ini. kamu pinjamin aku laptop, ikut ngetik, bahkan mengirimkan cerpen itu pakai email kakakmu juga.”
“Nggak usah, Ros. Yang penting traktir aku jajan baso Pak Kumis saja, ya,” jawab Astini dengan tawa renyah. “Ingat, kamu kan pernah bilang ingin membawa Bapakmu ke rumah sakit. Nah, siapa tahu dengan uang hadiah itu kamu bisa mengobati Bapakmu, Ros.”
Rosita mengangguk dengan air mata berderai. Dia memeluk sahabatnya dan menangis haru di bahu Astini. “Sekali lagi, terimakasih, As.”
Sementara di dalam hatinya dia mengucapkan beribu-ribu syukur kepada Allah Subhanahu wata'ala yang telah memberi jalan kemudahan dan kejutan untuknya. Allah memberinya kreatifitas dalam menulis. Allah memberinya sahabat yang sangat peduli dan Allah memberinya kesempatan untuk berbakti kepada Emak dan Bapak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment